JAKARTA – Konstitusi sesungguhnya memberi arah yang sangat jelas dalam menata proses pengajuan calon presiden dan wakil presiden. Meski sudah ditata sangat jelas, Pasal 6 ayat (5) UUD 1945 menyebutkan tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden (pilpres) lebih lanjut diatur dalam undang-undang.
Tata cara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil presiden pada Pemilu 2019 sudah diatur dalam UU Pemilu yang disetujui DPR untuk diundangkan pada 21 Juni. Selain menyangkut pemilu legislatif dan pilpres yang digelar serentak, tidak banyak kejutan dalam UU Pemilu, termasuk soal ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold).
Sejak Pemilu 2004, pemerintah dan DPR selaku pembuat undang-undang sudah memperkenalkan presidential threshold. Maksudnya hanya partai atau gabungan partai yang memenuhi ambang batas itulah yang berhak mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Konstitusionalitas presidential threshold juga sudah diuji di Mahkamah Konstitusi (MK). Putusan MK pada 2009 menyebutkan bahwa presidential threshold tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Putusan MK itu bersifat final dan mengikat. Dalam konteks inilah, sangatlah tidak elok bila ada yang menyebut ambang batas calon presiden sebagai dagelan politik. Menurut MK, persyaratan ambang batas itu merupakan kebijakan hukum terbuka (open legal policy). Sebagai kebijakan hukum terbuka, otoritas ada di tangan pembuat undang-undang. Dengan demikian, persentase ambang batas pencalonan presiden bisa berubah sesuai dengan dinamika saat pembuatan undang-undang.
Buktinya, pada Pemilu 2004, pasangan calon hanya dapat diajukan partai atau gabungan partai yang mendapat suara minimal 15% dari jumlah kursi DPR atau 20% perolehan suara sah secara nasional dalam pemilu anggota DPR. Begitu pula dengan Pemilu 2009 dan Pemilu 2014, partai dapat mengajukan calon jika memperoleh minimal 20% kursi DPR atau 25% suara sah secara nasional.
Presidential threshold Pemilu 2019 sesungguhnya hanya mempertahankan persentase yang sudah berlaku dalam dua kali pemilu sebelumnya, yaitu Pemilu 2009 dan Pemilu 2014. Ketentuan itu bukan sengaja dikarang-karang. Bukan pula sebuah instrumen yang dibuat-buat untuk melanggengkan kekuasaan.
Apakah presidential threshold otomatis tidak konstitusional jika pemilu legislatif digelar serentak dengan pilpres? Ketentuan umum berlaku di sini, yakni ambang batas itu tetap konstitusional sampai ada putusan lain yang dikeluarkan MK. Karena itu, sepanjang belum ada putusan lain, ambang batas itu tetap dianggap konstitusional. Penghormatan atas putusan MK itu mencerminkan sikap kenegarawanan.
Jauh lebih elok, daripada berkoar-koar sampai urat leher putus, ajukan gugatan uji materi ke MK jika ada pihak yang tidak setuju dengan ketentuan ambang batas. MK diharapkan secepatnya mengambil putusan agar tidak mengganggu pelaksanaan tahapan pemilu yang disiapkan Komisi Pemilihan Umum.
Sambil menanti putusan MK, daripada mengeluarkan pernyataan tidak perlu yang memicu kegaduhan, lebih baik pasang kuda-kuda koalisi. Siapa tahu MK menolak uji materi UU Pemilu terkait dengan presidential threshold sehingga koalisi untuk mengusung presiden mulai terbaca.
Apa pun putusan MK soal ambang batas pencalonan presiden, Pemilu 2019 hendaknya menghasilkan pemerintahan yang efektif. Sebuah pemerintahan disebut efektif jika kebijakan presiden disokong mayoritas di parlemen, tapi pada saat bersamaan dikontrol oposisi.
Presidential threshold tinggi akan memperkuat sistem presidensial. Angka presidential threshold tinggi membuat partai atau gabungan partai tidak obral calon presiden. Jauh lebih penting lagi, angka presidential threshold yang tinggi bisa mencegah perilaku partai oportunis, partai yang mempertahankan kader mereka di kabinet tapi di Senayan jadi oposisi. (miol/jdz)