EU-UNDP Dukung Terciptanya Sistem Peradilan Anak yang Terintegrasi

by -130 views

Kupang, mediantt.com – EU-UNDP-SUSTAIN, proyek yang didanai Uni Eropa, Rabu (25/5), meluncurkan dukungannya terhadap sistem peradilan anak bekerjasama dengan Mahkamah Agung, yang dilakukan dengan melakukan advokasi kepada sejumlah pemangku kepentingan dan memberikan fasilitas pengadilan anak di Pengadilan Negeri Kupang.

Fasilitas ini diresmikan oleh Hakim Agung Sri Murwahyuni SH, MH dan Gubernur NTT Frans Lebu Raya. Disamping peresmian fasilitas pengadilan anak, juga dilakukan advokasi UU No. 11/2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (SPPA) bagi pemangku kepentingan setempat/lokal yang diselenggarakan secara serentak oleh proyek SUSTAIN di Hotel Sotis, Kupang. Acara ini dihadiri semua pemangku kepentingan terkait SPPA untuk mewujudkan kerjasama antar lembaga yang lebih kuat dan membuka jalan untuk sistem peradilan anak yang terintegrasi.

Para pemangku kepentingan serta institusi yang memegang peranan penting dalam sistem peradilan anak Indonesia antara lain, Mahkamah Agung, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Kepolisian Republik Indonesia, Komisi Nasional Perlindungan Anak, pemerintah daerah dan organisasi masyarakat sipil.

Institusi-institusi tersebut akan secara berkelanjutan terlibat dalam serangkaian diskusi di lima pengadilan lainnya,  diawali di Kupang lalu di Stabat, Sleman, Cibinong dan Manado, pada kurun waktu 2016.  Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi permasalahan penanganan tindak kejahatan anak dibawah umur untuk kemudian merumuskan rencana aksi yang dapat meningkatkan koordinasi dan kolaborasi antar lembaga, agar  semua pihak terkait memiliki wawasan dan paradigma yang sama dalam menjalankan prosedur investigasi, penuntutan, proses, termasuk advokasi sebelum dan sesudah pengadilan dalam sistem peradilan restoratif.

“Uni Eropa sangat menjunjung tinggi hak-hak anak dalam semua aspek kehidupan, termasuk dalam sistem peradilan. Hukum Indonesia tentang SPPA telah menunjukkan komitmen negara ini untuk melindungi hak-hak anak.  Kami sangat mendukung upaya pemerintah Indonesia untuk memberikan perlindungan kepada anak-anak yang berkonflik dengan hukum melalui pendekatan keadilan restoratif dan sertifikasi aparat penegak hukum,” ucap Kepala Kerjasama Delegasi Uni Eropa di Indonesia, Franck Viault.

Sementara itu, Kepala Penasehat Teknis dan Manajer Proyek EU-UNDP-SUSTAIN, Gilles Blanchi, menegaskan, pemberlakuan UU SPPA pada tahun 2012 merupakan kemajuan besar dalam sistem peradilan anak di Indonesia, dan EU-UNDP SUSTAIN bekerja bersama sama dengan MA sebagai mitra utama dalam implementasi SPPA. Kelompok Kerja Perempuan dan Anak MA RI selama ini merupakan think-tank dari implementasi UU ini di pengadilan. “EU-UNDP SUSTAIN memastikan bahwa dukungan ini diberikan di tempat-tempat yang paling membutuhkan, seperti terwujudnya jaringan di lima pengadilan yang telah ditunjuk menjadi percontohan,” ucap Gilles Blanchi.

Fasilitas pengadilan anak yang diresmikan di Pengadilan Negeri Kupang merupakan bagian dari dana bantuan Uni Eropa sebesar € 10 juta   untuk mendukung reformasi bidang peradilan di Indonesia, sehingga aparatus pengadilan dapat menyelenggarakan persidangan yang berkaitan dengan anak dibawah umur secara lebih baik. Contohnya, melalui telekonferensi dimana korban dan pelaku berada di ruangan yang berbeda guna melindungi ancaman psikologis terhadap anak.

Pentingnya Koordinasi

Beberapa masalah telah diidentifikasi sejak pemberlakuan UU SPPA, misalnya: koordinasi yang lemah antar institusi yang terlibat, perbedaan persepsi terhadap kebutuhan dan keberhasilan hukum restoratif dalam institusi-institusi tersebut dan kurangnya kerja sama dari kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Saat ini,  para pimpinan pengadilan cenderung memilih untuk mengikuti pedoman yang tertulis dalam hukum pidana dalam menyelesaikan perkara tindak kejahatan anak, walaupun sebenarnya ada pilihan untuk menyelesaikan secara damai. Selain itu, aparat penegak hukum juga memiliki persepsi yang berbeda terkait penanganan kriminal anak dibawah umur yang menciptakan penerapan regulasi yang tidak konsisten. Koordinasi antara departemen dan sektor hukum saat ini masih lemah, sehingga pertukaran data dan informasi turut terhambat. Permasalahan ini membahayakan posisi anak yang berhadapan dengan hukum (ABH), ketika mereka berhubungan dengan badan-badan penegak hukum di Indonesia. (*/che)

Foto : Peresmian ruang siding ramah anak di Pengadilan Negeri Klas 1 A Kupang, Rabu (25/5).