(Kidung buat Perempuan Lamalera)
Oleh: Yoseph Bruno Ulanaga Dasion SVD
1. Era tuen kukak tani ina
Ina ina mo hogo tobo
Mo gute ikan, mo tumit sia
Gawe lodo lango ina
Pana mai penetan
Reff.:
Puken wata titen take ina
Ina ina mo lodo pana
Puken kame ana moen ina
Ina ina mo gawe golen, gawe golen ile Labalekan
2. Reman tukan mehak hena ina
Ina mo pana laran susa
Nani lou, mo piger ina
Puken morip tite kae
Marin tabe aku ina.
3. Kame pia lewo malu mara ina
Teden moe maan nani lou
Pana balik ma(a)n sare-sare
Ake gelupak kame ina,
Mete kame aku tou
4. Morip moen susa, paya moen bela ina
mabe tuturo di take
Go tobo hukut jasa moen
Ina go pate karo aku
Sampe go mata kai loni ekan.
Tujuan dan Latar belakang penulisan lagu “Fule-penetan” (Barter tradisional di kaum Lamalera)
Sejak beberapa tahun terakhir, saya menekuni penulisan puisi dan lagu yang bernuasa desa kelahiran saya, Lamalera, entah itu dalam bahasa Indonesia maupun bahasa Lamalera.
Fokus penulisan saya adalah bagaimana melukiskan pesan-pesan kehidupan yang terbaca dari semua aktivitas kehidupan atau keseharian kaum saya.
Lamalera, orang-orangnya, dan kehidupan yang mereka geluti, bagi saya, selalu mengajarkan, apa artinya hidup secara elegan dan bajik.
Tujuan utama lagu “Fule-penetan” adalah untuk melantunkan kidung puji-pujian bagi semua kaum perempuan Lamalera, khususnya ibu-ibu rumah tangga, yang ulet dan tabah dalam mengurusi rumah tangga, serta piawai dan bijak dalam bisnis barter dengan para kerabat barternya, para petani.
Latarbelakang
Bisnis barter adalah salah satu poros utama (Life-line) dalam kehidupan orang-orang Lamalera, dan bagi saya kegiatan hidup ini justeru menjadi sebuah drama kehidupan yang mengekspose ketangguhan kaum perempuan Lamalera.
Secara khusus, kesimpulan tentang perempuan Lamalera ini saya buat berdasarkan pengalaman berikut ini.
Selama masa kecil tinggal di Lamalera, saya mengalami dua kali musim lapar. Pertama, pada tahun 1965, ketika saya berusia 3 tahun. Kedua, pada tahun 1974 ketika saya berusia 12 tahun.
Bagi orang-orang Lamalera yang menggantungkan kehidupannya pada laut, musim lapar adalah masa hidup yang sangat berat. Ikan boleh ditangkap, tetapi tidak dengan mudah bisa dibarter dengan bahan makanan, karena para petani pun tidak mau menjual hasil kebunnya pada musim lapar ini.
Saya bisa membayangkan bagaimana ibu saya dan juga ibu-ibu yang lain berusaha sekuat tenaga untuk memenangkan hati para petani agar bisa mendapatkan sedikit bahan makanan, toh akhirnya tidak mendapatkan apa-apa.
Kerap saya menyaksikan bagaimana ibu saya pulang tanpa jagung atau padi dan ubi yang baik. Dan sebagai gantinya, bakul-bakul junjungan mereka dipenuhi dengan ubi hutan beracun dan satu dua buah kelapa. Ubi-ubi ini harus diulang-rebus beberapa kali, sesudah itu dicampur kelapa parut dan dimakan.
Dalam keadaan sulit seperti ini, nyali kaum ibu untuk menghidupi anak-anaknya dapat dirasakan. Dari apa yang sedikit mereka peroleh, yang mereka dahulukan adalah anak-anak dan suami mereka.
Sesungguhnya yang paling perkasa di muka bumi ini adalah IBU.
Pengalaman tentang dua musim lapar ini tidak bisa saya lupakan, karena mereka telah mengajarkan kepada saya “rasa lapar”, dan bagaimana harus bisa bertahan hidup dalam kelaparan seperti kaum perempuan Lamalera.
Terpujilah kaum Perempuan Lamalera!