Dr Inche Sayuna
KUPANG, mediantt.com – Wacana tentang Pemilu hybrid yang bermula dari pernyataan salah satu hakim Mahkamah Konsitusi, mendapat tanggapan kritis dari Sekretaris Golkar NTT, Dr Inche DP Sayuna. Inche malah menegaskan bahwa apapun sistem Pemilu yang ditetapkan, Golkar tetap keluar sebagai pemenang, walau bukan nomor satu.
“Golkar memang tidak terpengaruh dengan sistem pemilu apapun, karena Partai Golkar sudah teruji dalam penerapan tiga sistem tersebut. Dan tetap kami (Golkar) dapat keluar sebagai pemenang walau bukan no satu dalam setiap pemilu dengan sistem yang berbeda,” kata Sekretaris DPD Partai Golkar NTT, Dr Inche DP Sayuna kepada pos-kupang.com, Selasa (11/5/2023).
Inche menyebut wacana tentang pemilu hybrid itu bermula dari pernyataan salah satu hakim Mahkamah Konsitusi, ketika melakukan sidang gugatan pemilu.
Apapun bentuk sistem pemilu, bagi Inche, punya sisi lebih dan kurangnya. Dititik ini, sangat tergantung dari daya dukung sistem di internal partai.
“Yang perlu kita pikirkan sekarang adalah MK segera membuat keputusan sehingga cukup waktu bagi penyelenggara pemilu untuk mempersiapkan teknis pelaksanaan pemilu dari sistem yang dipilih,” katanya.
Sebab, sangat tidak mudah menjalani pemilu jika ada perubahan sistem. Apalagi selama ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) justru cenderung mempersiapkan hal teknis dalam pemilu terbuka.
Menurut Waki Ketua DPRD NTT ini, dengan waktu yang sudah cukup terhimpit, wacana perubahan sistem pemilu itu sebaiknya dipraktekan pada pemilu 2029.
Inche lalu mendorong agar memberi ruang bagi DPR RI dan pemerintah dalam merumuskan undang-undang pemilu.
Dia menambahkan, Indonesia pernah mempraktekan tiga sistem pemilu yakni proposional terbuka, tertutup dan hybrid. Negara ini, seut dia, telah memahami masing-masing sistem.
Paling penting saat ini adalah adanya regulasi yang bisa menyempurnakan tiap sistem. Hal itu untuk menjawab harapan bangsa tentang sebuah sistem demokrasi yang modern.
Dia juga menjelaskan, pemberlakuan suatu ketentuan hukum yang tidak sama atas dua keadaan yang sama, ialah sama tidak adilnya dengan memberlakukan suatu ketentuan hukum yang sama atas dua keadaan yang tidak sama.
“Karena itu, hybrid sistem mengandung standar ganda sehingga dapat dinilai memberlakukan hukum yang berbeda terhadap keadaan yang sama sehingga bisa dinilai tidak adil,” tegas Inche. (fan/jdz)