Foto para Pasutri nikah massal
JAKARTA – Keluarga Besar Komunitas Perempuan Manggarai (KPM) didukung oleh Pusat Pastoral Keuskupan Agung Jakarta (PUSPAS KAJ) Wisma Samadi Klender dan Forum Komunikasi Masyarakat Flobamora (FKM Flobamora) memfasilitasi pernikahan massal tujuh pasangan suami-istri (Pasutri) Katolik diaspora NTT di Gedung Pusat Pastoral (Puspas) Samadi, Klender, Jakarta Timur, Minggu (22/11/2022).
Pasangan nikah massal tersebut adalah warga yang tinggal di seputaran Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek). Mereka adalah Fabianus Indrawan dan Lesta Neng Parung, Hubertus Aur dan Yustina Majabubun, Yosef Alifandri dan Maria Oda Elisan, Agustinus Ganti dan Maria Goreti Manur, Venansius Alfianus Kase dan Maria Dhiu Bate, Antonio Alfiano Saratoga dan Visna Rivantai serta Vicky Fernando Baptista dan Wihelmina Timbu.
Pemberkatan nikah massal secara Gereja Katolik tersebut dipimpin oleh Uskup Mgr Paulinus Yan Ola, MSF, bersama konselebran RD Yustinus Ardianto, RD Stafanus T Rahmat, RD Frederikus Maigahoaku Djelahu, RD P Herian Ulukyana dan RD Michael Rahankey.
Pemberkatan berjalan sangat meriah diiringi paduan suara dan tarian daerah asal Nusa Tenggara Timur, dihadiri perwakilan para pengurus Ikatan keluarga Besar (IKB) NTT se-Jabodetabek.
Sejumlah tokoh IKB dan perwakilan keluarga besar yang hadir memberi apresiasi dan ucapan syukur juga dukungan terhadap penyelenggaraan nikah massal tersebut. Sebab telah melakukan sebuah terobosan baru dalam membangun gereja yang hidup.
“Sebagai orangtua Flobamora Diaspora Jabodetabek, saya sangat mendukung penyelenggaraan pernikahan massal ini. Terima kasih kepada Komunitas Perempuan Manggarai (KPM) dan Forum Komunikasi Masyarakat Flobamora (FKM Flobamora), yang telah mendukung para pasutri dalam urusan administrasi gereja tanpa ada masalah,” kata Thobias Djaji, Perwakilan Tokoh NTT Diaspora.
Pasutri nikah massal ini menteskan air mata bahagia saat pemberkatan nikah dan juga saat bersalaman. Mereka mengaku bangga dengan kerja keras panitia penyelenggara dari KPM yang didukung oleh FKM Flobamora.
“Kami sangat berterima kasih dan bersyukur kepada Tuhan karena melalui bapak-bapak dan ibu-ibu dari KPM, FKM Flobamora dan semua panitia, yang terlibat mengurus semua dokumen sampai acara nikah massal ini berjalan dengan lancar,” tutur pasutri Yosef dan Maria, yang berasal dari Kejek, Elar Selatan, Manggarai Timur.
Ketua KPM, Emiliana A.K dalam sambutannya mengatakan, tujuan sederhana penyelenggaraan nikah masal ini semata ingin membantu pasangan suami-istri yang selama ini mengalami kesulitan dari beberapa aspek agar segera bisa dinikahkan secara katolik, diakui oleh agama dan negara.
“Kami terpanggil untuk melakukan kegiatan ini bukan mengambilalih peran Gereja, namun kami ingin agar anak-anak kami ini bisa tidak memiliki masalah dalam keluarga, termasuk mengurus administrasi ke catatan sipil,” katanya.
Menurut dia, sebagian besar pasangan sudah memiliki anak, sehingga bisa dibaptis secara gereja katolik. “Setelah pemberkatan ini sah secara hukum gereja, kami juga bantu pernikahan ini sah menurut hukum negara,” katanya.
Istimewanya, pemberkatan nikah massal ini dilakukan oleh Uskup Keuskupan Tanjung Selor, Mgr Paulinus Yan Olla, MSF.
Mgr Paul yang juga Ketua Komisi Keluarga Konfrensi Wali Gereja Indonesia (KWI) ini, dalam kotbahnya menyentil soal budaya belis atau mahar di Nusa Tenggara Timur.
Menurut Mgr Paul, tak sedikit upacara perkawinan di gereja tertunda karena adat istiadat. “Bagaimana pernikahan yang diteguhkan itu harus dijalankan dan dihayati. Adat-adat kita yang sulit bagi kita untuk kita bebaskan sehingga banyak perkawinan tertunda karena adat-istiadat,” kata Mgr. Paul.
Dia mencontohkan mahar pernikahan suku Adonara di Flores Timur, yang menggunakan gading gajah. Hal yang sama juga terjadi di pulau Sumba, NTT yang harus membawa sapi dan kerbau.
“Orang di Adonara, tidak ada gajah tetapi belisnya (mahar-red) gading, di Sumba juga sama. Kalau lamar anak orang harus bawa sapi, kuda, kerbau, macam-macam. Kami di Kalimantan Utara sama juga. Orang lamar bukan dengan sapi atau kuda tetapi dengan tempayan,” katanya.
Peliknya persoalan adat tersebut, kata Mgr Paul, membuat perkawinan kristiani sering kehilangan makna. “Di sini kita lihat perkawinan kristiani seringkali kehilangan maknanya ketika kita kurang menyadari apa yang sesungguhnya yang harus dijalankan di dalam hidup kita,” jelasnya.
Terlepas dari hiruk pikuk persoalan adat tersebut, Mgr. Paul mengutip ensiklik pertama Paus Benediktus XVI yang dikeluarkan pada 25 Desember 2005 berjudul Deus Caritas Est (Allah adalah kasih). Ensiklik tersebut, kata dia, mengajarkan makna cinta kasih. Dalam konteks kristiani, cinta kasih akan diuji ketika pasangan suami istri berada di dalam kemalangan yang besar.
“Kita mencintai seseorang tidak hanya ketika kita bergembira bersama, tetapi pasangan kita dalam keadaan tidak berdaya,” tegasnya. (*/st)