(Curhan Hati Sahabat Tony di “San Juan Family”)
ANTONIUS Deko Hingan. Itu namanya. Orang selalu memanggilnya Tonny Hingan, sapaan yang sedari kecil melekat pada pria 27 tahun yang belum genap dua tahun meraih gelar Sarjana Filsafat (S.Fil) pada Universitas Katolik Widya Mandira Kupang.
Tony memiliki tekad yang harus dia buktikan. Dia ingin mengambil kembali tanah orang tuanya, yang kini sudah menjadi milik seorang pengusaha di kampung, yang menjanjikan akan membiayai kuliah dia dan adiknya hingga selesai. Namun pada akhirnya pengusaha tersebut tidak menepati janjinya.
Tekad Tony itu selalu dia kemukakan pada beberapa kesempatan ketika duduk santai bersama para koleganya sambil mengopi dan berdiskusi tanpa topik.
Perawakannya yang tenang, selalu mengenakan pakaian yang sederhana, khas dengan sandal jepit swallow hijau dan selalu dipadu dengan topi hitam, membuat seorang Tony begitu bersahaja. Setiap mata yang melihat Tony, bisa menerkah siapa Tony sebenarnya. Dia datang dari keluarga yang sederhana. Ayah dan ibunya adalah penjual sayur keliling yang hijrah dari Desa Wulandoni dan menjadi penjual sayur di Kota Lewoleba untuk membiayai kuliah Tony.
Sepenggal kisah Tony di atas mulai hari ini hanya menjadi cerita di antara kami teman-temannya. Tekad Tony yang selalu dia bicarakan, hari ini menjadi kabur bersama ganasnya arus laut sawu yang melintas diantara Pulau Solor dan Lembata, yang menjadi saksi terakhir hidup dari seorang Tony yang bersahaja.
Ya, pada pukul 04:24 Rabu (12/10) dinihari, Tony melakukan aksi nekad yang sangat disayangkan. Dalam penyebrangan dari Kupang untuk kembali ke rumahnya di Eropaun, Lewoleba Kabupaten Lembata, Tony melompat keluar jendela KMP Fery Ranaka dan sejak saat itu Tony menghilang dan tidak ditemukan meski sudah dilakukan usaha pencarian berjam-jam lamanya.
Sepanjang hari (Rabu), kami sahabat-sahabat Tony merasa gelisa. Perasaan gelisa tak karuan menjadi hantu yang membayangi pikiran kami. Ada penyesalan. Ada sedih. Ada amarah dan tentu ada perasaan sakit hati yang menggantung berat di jiwa kami sahabat-sahabatnya. Bagaimana tidak, baru sehari yang lalu Tony ada bersama kami. Kami menghibur Tony, menjaganya dan selalu menguatkannya untuk tetap yakin bahwa hanya Tuhan tempat bersandar.
“Tony e, saya sudah bilang ulang-ulang kali. Kau harus kuat, berdoa supaya kau bisa lewati masa sulit ini, tetapi kenapa sekarang kami dengar kabar tidak baik seperti ini?” gerutu Enjoz, lelaki yang menghantar Tony ke Plabuhan Bolok Kupang, Selasa (11/10/2022) sekitar pukul 10:00 WITA.
Tanggal 3 Oktober Tony bertingkah seperti orang kesurupan dan sangat meresahkan. Oleh kami sahabat-sahabatnya, Tony dibawah ke rumah salah seorang sahabat kami yang sering menjadi titik kumpul mahasiswa asal Lembata di daerah Penfui. Kami merasa Tony akan aman bersama kami, karena jika tetap di kosnya kami takut akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Di bibirnya Tony selalu berujar bahwa dia akan dieksekusi. Dia menjadi incaran sekelompok pemuda dari salah satu daerah. Bicaranya tidak masuk akal. Dia seakan menunjukan wajah para pelaku ada disampingnya, hendak menangkapnya dan akan membunuhnya. Tetapi sebenarnya tidak ada orang yang berada di dekat Tony selain sahabat-sahabatnya.
Malam hari Tony selalu mengeluh panas. Dia menunjuk ke arah langit-langit rumah dan mengatakan ada orang yang ingin membunuhnya sedang berada di atas langit-langit rumah. Tony kemudian mengambil pisau dapur dan memegangnya bahkan saat tidur sekalipun pisau itu disimpannya di saku celana. Kepada saya, Tony berujar bahwa yang sedang terjadi padanya akibat dari banyaknya tuduhan pada dirinya yang bukan-bukan.
Seingat saya pada tanggal 9 Oktober Tony mengatakan bahwa semasa masih kos di daerah Penfui, dia kerap kali dituduh menjadi biang anak-anak kecil yang menangis. Tidak hanya di daerah Penfui, tetapi juga di daerah Matani yang menjadi tempat terakhir Tony tinggal. “Abang saya stres. Mungkin karena saya ada bawa-bawa ew jo orang coba saya? Saya pulang saja abang. Saya pulang kampung sudah, saya mau lepas ini barang. Pas saya naik Fery, saya buang batu ini di laut. Saya tidak mau mati. Saya ingat saya punya orang tua, mereka sudah pelihara saya sampai besar ni,” ujar Tony yang duduk di sebelah saya.
Tanggal 10 Oktober, Tony sudah terlihat normal. Sudah tidak berbicara sembarangan. Pagi sekali, Tony sudah mengajak kami untuk minum kopi pagi sambil merokok. Tony sendirilah yang membelinya. Pagi kami di tanggal 10 Oktober itu sudah terasa normal. Tidak ada lagi lari huru hara Tony sambil memegang batu atau botol JW atau pisau dapur, atau cakram sepeda motor. Tidak ada lagi gelagat ketakutan Tony bila dengar bunyi sepeda motor sambil lari mengintip ke luar jendela dan berkata ‘ini mereka’ atau ‘goe lepe abang’.
Begitu juga pada tanggal 11 Oktober, hari dimana sebagai hari terakhir sahabat-sahabatnya mendengar dan melihat suara dan wajah Tony yang selalu mengisi hari-hari kami. Suasananya tenang, tawa dan canda mengalir seperti biasa. Tony yang dulu sudah kembali, kami meyakini seperti itu. Namun sayang, ketika Tony sudah mendapat kiriman uang tiket dari orang tuanya untuk kembali ke rumah, malah kisah Tony dan para sahabatnya harus berakhir.
Peluk rangkul sembari berjanji untuk akan segera bertemu di kampung halaman, menjadi pelukan terakhir untuk salam perpisahan selamanya.
Tony e, mau hidup atau mati juga kau harus ketemu mama dengan bapa. Kau su janji di kami. Sekarang dimanapun engkau (jasadmu), pulanglah ke rumahmu. Ibu dan ayahmu menunggumu.
Dari sahabat-sahabtmu ‘San Juan Family’. (bosko beding)
Keterangan Foto : Tony bersama para sahabatnya di San Juan Family.