Thomas Ataladjar menggelar Jumpa Pers di Hotel Palm Lewoleba, Senin malam.
LEWOLEBA – Hadakewa adalah tonggak awal sejarah perjuangan rakyat Lembata dimulai. Dari titik nol inilah adat dan budaya Lembata dipersatukan dengan deklarasi Statement 7 Maret 1954. Sejak saat itu, cita-cita Lembata yang bebas dari kemiskinan, kemelaratan, kebodohan, keterbelakangan dan keterisolasian menuju Lembata baru yang sejahtera, amanah, maju berdaya saing, berprestasi, mandiri dan bermartabat, secara bersama mulai diperjuangkan hingga pada akhirnya berhasil menghantar Lembata meraih otonomi menjadi sebuah Kabupaten pada Oktober 1999.
Berangkat dari nilai dan makna hakiki sejarah inilah, sebagai kado spesial untuk HUT Otonomi Lembata ke-23, Thomas B. Ataladjar, dkk kembali merilis sebuah karya tulis terbaik melalui buku berjudul; “Lembata Dalam Pergumulan Sejarah dan Perjuangan Otonominya” untuk dipersembahkan kepada Pemerintah Daerah, dunia pendidikan dan masyarakat Lembata secara umum.
“Buku ini sesungguhnya juga untuk mengabadikan jejak sejarah panjang perjuangan rakyat Lembata serta latar belakangnya, yang saya persembahkan sebagai kado spesial di Hari Ulang Tahun Otonomi Lembata ke-23 ini,” kata Thomas Ataladjar saat jumpa pers dengan awak media di Hotel Palm Lembata, Senin (10/10) malam.
Thomas mengatakan, launching pertama buku sejarah Lembata secara adat dan budaya akan dilaksanakan dari titik nol yakni Hadakewa pada 11 Oktober dan dilanjutkan launching kedua pada 12 Oktober 2022 di Hotel Palm sekaligus seminar bersama.
Menurut dia, dalam buku sejarah Lembata ini ada 10 tonggak atau periodisasi sejarah yang digumuli Lembata selama ini, yakni sejarah purbakala sejak zaman Nirleka (pra-aksara) atau masa prasejarah diantaranya sejarah asal usul dan migrasi suku-suku.
Juga, sejarah tentang kebencanaan, sejarah masuknya dua agama wahyu ke Lembata (Katolik dan Islam), sejarah pendidikan dan masuknya peradaban baru di Lembata, sejarah kolonial dan swapraja dengan sistem Paji Demong di Lembata.
Sejarah pemerintahan zaman kolonial dan swapraja, sejarah kebudayaan Lembata, sejarah perjuangan rakyat Lembata sampai mencapai otonominya 1999 dan yang terakhir sejarah Lembata dalam namanya.
“Begitu banyak tonggak sejarah yang telah digumuli Lembata. Dan sebagian besar tonggak sejarah itu merupakan latar belakang dari sejarah perjuangan rakyat Lembata,” kata Thomas Ataladjar.
Dia juga menjelaskan, buku ini dipartisi dalam dua bagian yang masing-masing babnya berbeda, yakni berdasarkan bagian pra sejarah dan bagian sejarah. Bagian pertama menyajikan tentang Lomblen era pra sejarah termasuk fase migrasi serta asal usul suku-suku masuk ke Lomblen.
Dibahas pula tentang Sina Jawa-Malaka, Seran Goran Abo Muar, Lepan Batan-Kroko Puken serta bencana Kroko Puken dan Awololo dan tentang agama asli leluhur Lera Wulan Tana Ekan (Tuhan Penguasa Langit dan Bumi) serta aneka ritus budaya lainnya.
Sementara pada bagian kedua, mengupas tentang Lomblen memasuki era sejarah ditandai dengan masuknya dua agama wahyu Katolik dan Islam di Lomblen.
Selain itu, sejarah tentang pemerintahan Lomblen era kolonial dan swapraja (Kakang dan Kapitan), sistem Paji Demong yang merupakan momok bagi rakyat Lomblen, sejarah masuk dan berprosesnya pendidikan dan peradaban baru di Lembata dan sejarah perjuangan otonomi rakyat Lembata sejak sebelum, menjelang dan seputar 7 Maret 1954, serta seluruh proses perjuangannya sejak dari 1954 hingga Lembata menjadi kabupaten tahun 1999, semua dikupas secara tuntas dalam buku ini, termasuk sejarah kebencanaan Lembata dan sejarah budaya masyarakat di Lembata.
“Semuanya ini telah turut mengukir sejarah perjalanan Lembata bahkan telah menjadi bagian dari sejarah pulau Lembata,” kata Ataladjar .
Dia berharap, dari buku sejarah Lembata yang diterbitkan Penerbit Ikan Paus Lamalera ini, bukan untuk dipertentangkan atau diperhadapkan pada sejarah siapa atau karya tulis mana yang paling benar. Tetapi buku ini dapat menjadi bahan referensi, menjadi motivasi positif bagi penulis muda Lembata lainnya agar dapat melakukan penelitian lebih lanjut dan menulis serta menerbitkan buku-buku lain yang berkaitan dengan kearifan lokal seperti adat istiadat, budaya, sejarah bahkan cerita rakyat daerah Lembata umumnya.
Dan tak kalah penting, jelas dia, isi dari buku sejarah Lembata ini dapat dijadikan materi muatan lokal bagi sekolah-sekolah di Lembata, baik dari tingkat SD hingga SMU.
Sementara itu, tokoh pejuang Otonomi Lembata, yang juga anggota DPR RI dari Partai Nasdem, H. Sulaeman L. Hamzah, yang hadir pada press release ini, turut menyampaikan beberapa hal terkait penerbitan buku sejarah yang baru dilaunching ini dan terkait pelaksanaan Otonomi Lembata yang sudah memasuki ulang tahun ke-23.
Dia mengatakan, buku sejarah Lembata ini adalah sebuah karya monumental. Tim lengkap ini mau menghantarkan karya monumental ini untuk mengisi tradisi lama yang tidak pernah dijalankan, yang semula menjadi kerinduan kami dari rantau supaya ada komunikasi antara pemerintah daerah dan masyarakat Lembata yang ada di luar.
“Hal ini tidak terjadi selama ini dan baru hari ini saya boleh berbangga bahwa ada komunikasi yang baik antara pemerintahan sekarang. Pemerintah membuka diri memberikan kesempatan kepada kami dari luar untuk kita bisa ikut merayakan HUT Otonomi Lembata ke-23,” katanya.
Karena itu, ini adalah sebuah karya yang sangat monumental dan apa yang disajikan disini tentu diharapkan bisa dipahami oleh semua pihak baik itu para penyelenggara pemerintahan di daerah, para politisi maupun masyarakat luas.
Karena, menurut dia, ada sesuatu yang kurang, ada sesuatu yang terlupakan dari penyelenggaraan pemerintahan otonomi daerah.
Sudah kurang lebih 23 tahun kita berjalan setelah pisah dari Flores Timur rasanya ada sesuatu yang hilang. Sesuatu yang hilang dari tradisi Lembata dan spirit daripada para pejuang otonomi sejak dahulu 7 Maret 1954.
“Rohnya boleh dikatakan makin hari makin hilang, bukan semakin maju dan semakin diresapi tetapi semakin hari semakin surut,” kata Sulaeman Hamzah.
Karena itu, dia juga menuturkan, bahwa dengan terbukanya kesempatan oleh pemerintahan sekarang pihaknya boleh hadir pada perayaan ulang tahun Otonomi Lembata dengan membawakan sebuah karya monumental dari anak tanah di rantau, yang berisikan tentang sejarah Lembata untuk dipersembahkan kepada Bumi Pertiwi, Nusa Lembata tercinta.
Dia pun bercerita, pada dasarnya buku ini bukan lahir secara tiba-tiba. Buku ini hadir melalui sebuah pergumulan yang sangat panjang, yang dikerjakan oleh pa Thomas, dkk dengan mengumpulkan segala dokumen, mewawancarai pelaku-pelaku sejarah dan itu semua lengkap tersaji dalam buku ini.
“Tentunya dengan sejarah yang kami suguhkan ini bisa diterima, dibaca oleh semua pihak dan kemudian ada keputusan politik untuk menjadikan isi buku ini sebagai muatan lokal sehingga generasi muda harus tahu sejarah sehingga mereka tidak salah dalam melangkah untuk ikut membangun Lembata ini,” harap dia.
Terkait keterlambatan waktu peluncuran, Sulaeman Hamzah menepis argumen tersebut karena menurut dia, penulis Thomas selama ini masih mengumpulkan data tidak hanya data visual yang didapat, tetapi juga dari surat-surat yang ditulis tangan dan kemudian diketik dengan mesin ketik yang manual dulu.
Selain itu, terus melakukan wawancara dengan orang-orang yang masih hidup. Itu semua dijalankan dengan sangat baik dan butuh waktu sehingga baru pada moment ini buku sejarah Lembata siap dilaunching ke publik.
“Saya apresiasi dengan waktu panjang ini. Teman-teman tahu bahwa ini adalah kesungguhan hati untuk benar-benar mau menunjukkan bahwa sejarah itu benar-benar ada. Teman-teman boleh meragukan, boleh bilang tidak sempurna, tapi saya berani membackup semuanya ini karena saya merasa bahwa ada foto visual, ada wawancara langsung, ada tulis tangan dari Statement 7 Maret 1954, dan ini bukan karang-karang. Karena itu saya bilang bahwa buku ini sempurna, saya siap membackup”, kata H. Sulaeman L. Hamzah.
“Saya kira ini penting untuk diketahui semua sehingga sesuatu yang hilang tadi itu bisa dimunculkan lagi. Ini dalam rangka memunculkan kembali sesuatu yang hilang, diawali dengan seminar hari Rabu, 12 Oktober 2022,” kata Sulaeman Hamzah.
Sementara terkait penyelenggaraan pemerintahan semenjak Otonomi Lembata, dia menyampaikan bahwa dari awal pemerintahan, harus sudah membuat desain untuk pembangunan daerah ini, mestinya melihat potensi yang ada. “Pulau kita ini dikelilingi oleh lautan dan itu bagian dari potensi yang harus digali untuk bisa memberi PAD kepada daerah sehingga terjadi pertumbuhan,” katanya.
Di darat, di sektor pertanian dan perkebunan juga mesti dilihat supaya pemerintah membuat perencanaan, mungkin bisa memfasilitasi sehingga dari waktu ke waktu ada kemajuan yang bisa kita dapatkan untuk kesejahteraan masyarakat Lembata sebagaimana awal Otonomi Lembata diperjuangkan.
“Dan tentunya kita juga berharap supaya makin hari pemerintahan kita Lembata ini menjadi kabupaten yang makin maju dan mandiri dan diharapkan bisa memenuhi kemandirian fiskal yang diharapkan oleh pemerintah pusat,” tegas Sulaeman Hamzah, salah seorang tokoh pejuang otonomi Lembata.
Sulaeman juga bercerita tentang peranannya waktu perjuangan otonomi Lembata di tahun 1999. Ketika itu dia sebagai perwakilan utusan daerah dari Irian Jaya (waktu itu sebelum menjadi Papua) yang saat itu sedang berada di Senayan.
Hadir saat jumpa pers, selain H. Sulaeman L. Hamzah dan Thomas B. Ataladjar, juga ada Yoseph Yapi Taum, dan Goris Lewoleba. (bily baon)