Laskar Sembur Paus, PERSEBATA.
GEBYAR Liga 3 El Tari Memorial Cup (ETMC) XXXI Lembata 2022, telah berakhir indah. Seindah nama harum Lembata dan pesona Ikan Paus Lamalera. Perse Ende jadi Kampiun ETMC 2022. Persebata menjadi Tim Terbaik. Juga Tuan Rumah Terbaik. Para pemain dan official telah beranjak pergi dari Lembata. Kota Lewoleba kembali sepi. Semua kembali ke rutinitas biasa. Tak ada lagi teriakan histeris suporter mendukung tim kebanggaan. Jejak persaudaraan terpatri indah. Persahabatan terajut abadi. Tapi ada soal besar yang mesti dituntaskan. Tak perlu janji. Pemerintah mesti buka mata. Apa itu?
Di tengah hingar-bingar dan histeria ETMC Lembata sejak dibuka 9 September, para maniakbola seantero Lepan Batan tak pernah henti berteriak; Baleo.. Baleo…, Hirkae… Hirkae… Hidup Lamafa… Hidup Sembur Paus! Itulah spirit dan energi bagi Laskar Sembur Paus, Persebata. Teriakan Baleo membahana di Stadion Gelora 99 ketika Tim Persebata merumput. Sebab, sepanjang turnamen ini, Persebata hanya merumput di Stadion Gelora 99, karya tangan sang Arsitek alm Yentji Sunur. Para suporter Lomblen Mania dan tifosi fanatik di tribun utama hingga tribun tebing, kompak dalam hentakan penuh energi Baleo…. Bahkan ada lagu Bal.. Bal. Baleo…, semacam Waka-wakanya Lembata, yang diciptakan Maksi Tukan, khusus untuk perhelatan bola bergengsi di NTT ini. Ada pula tulisan di baliho; Baleo dari Lembata Untuk NTT Bangkit. Simbol kebanggaan dan kehormatan Lamalera, yang mendunia karena tradisi penangkapan ikan paus secara tradisional, bebas digunakan. Padahal semua itu amat sakral dan hanya bisa didaraskan pada momentum tertentu. Tentu dengan ritualnya yang amat sakral pula. Tidak ada yang protes. Apalagi menggugat. BALEO dan HILIBE menjadi spirit pemersatu.
Semua mendukung para Lamafa muda (Persebata) yang sedang berdansa di pucuk gelombang. Bagi para bolamania, menonton bola seperti menyaksikan Lamafa bermain dengan ombak; mengatur siasat, membaca arah angin (bola), beradu dengan gelombang dalam tiki-taka, umpan lalu tikam (gollll). Beleo….Hirkae.. ! Fince Bataona, dalam Catatan dari Dapur pada Minggu 25092022, lugas menulis “Mendoakanmu adalah tepuk tangan paling riuh buatmu PERSEBATA. Saat baleo…baleo..baleo…diteriakan dari tribun GOR 99, berlarilah! Hilibe..Hilibe..Hilibe…Jaga irama dayung….Sebab Hilibe…hilibe..hilibe…. tak hanya menggelorakan semangat tapi menyampaikan keindahan gemericik air laut, menyatukan sentuhan dayung dan suara saat mengucap: Hilibe…Hilibe…Hilibe… Kita jaga sama-sama harmoni ini. PERSEBATA itu petarung, Iya! Suporter dan penonton petarung, Iya! Ketika kita meneriakkan Baleo..baleo..baleo..Hilibe..Hilibe..Hilibe.. Kita harus tetap jaga harmoni. Sebab kita sedang jaga martabat tanah kita Lembata. Jadi tuan rumah ETMC 2022 yang dihormati.
Tak cuma itu. Warga Lembata kelahiran Lamalera di Jepang, Pater Yoseph Bruno Dasion, SVD, pun turut memberi spirit. Di linimasa Facebooknya, Baleo Baofutung, dia tegas menulis: “Teriakan Baleo.. Baleo.. Baleo.. adalah seruan kehidupan dari LAMALERA, dunianya para LAMAFA. Kita kawal para LAMAFA dengan VIVA LAMALERA”. Sebelumya Misionaris di Nagoya Jepang ini juga memberi pesan amat humanis. “SATU LEMBATA. Daripada baku pukul, lebih baik kita nyanyi dulu, sejukkan hati, siap-siap untuk menikmati pertandingan Persebata nanti. Mengerti to? BALEO itu DOA. Tak ada DOA tak ada BALEO. Jadi, kalau tidak tahu berdoa, jangan teriak-teriak Baleo. Jangan masuk stadion pertandingan. Jaga diri, kawal nurani, sebagai manusia Lembata yang bermartabat”. Harmoni itu pun dijaga apik-kompak hingga laga akbar ini berakhir indah. Meski antiklimaks untuk Laskar Sembur Paus!
Baca juga : https://www.mediantt.com/2022/05/05/prosesi-sakral-ritual-leva-nuang-dari-batar-menuju-laut-lamalera/”
****
Dibalik heroisme itu ada IRONI yang menyayat kalbu anak-anak Lamalera. Pemilik BALEO dan LAMAFA, yang jadi spirit kolektif pemersatu itu, belum merasa merdeka. Masih dianaktirikan. Akses jalan ke destinasi wisata bahari dunia itu, masih sangat buruk. Memprihatinkan. Sudah sekian dekade kepemimpinan, keadaannya masih sama. Tapi, di setiap hajatan pemerintahan, LAMALERA dengan tradisi uniknya selalu jadi branding. Seorang biarawati asal Lamalera yang sedang bermisi di Timor Leste, di linimasa Facebooknya Barbara Wilhelmin, tanggal 17 September 2022, polos menulis rintihan hatinya. “Mengikuti perhelatan akbar (ETMC) yang saat ini terjadi di Lembata, saya mendengar terikan yel, yel suporter PERSEBATA “Oh Sembur Paus, Sembur Paus, Baleo…baleo…” dst….. Sebagai anak Lembata (kelahiran Lamalera), saya merasa miris, kaget dan heran. Karena ketika ada sesuatu yang khas mengenai Lembata, pantai selatan yang diangkat. Tetapi untuk pembangunan infrastruktur dsb, pantai selatan ditelantarkan. Mari sekedar kita membuka mata melihat kenyataan jalan Lewoleba ke semua jalur pantai selatan (Lamalera) dan jalur Lewoleba ke lokasi tiga gunung kebanggan Lembata”. Di kolom komentar, ada yang berkata, “Itu yang disesalkan. Punya potensi tapi tidak didukung dengan infrastruktur jalan yang baik”. Yang lain berkomentar; “Paling betul tu. Bukan rintihan anak Lembata tapi rintihan anak Lamalera. Yel-yel Sembur Paus dan Baleo membahana di seantero Lewoleba dan GOR 99 tapi jalan ke tempat Sembur Paus dan Baleo seperti ….. isi sendiri. Lucu sa!”
Anak Lamalera lain juga seadanya berkata, “Perlu direfleksikan. Logo Kabupaten Lembata adalah PAUS. Maskot El Tari Memorial Cup XXXI Lembata juga Ikan Paus. Dari awal laga sampai selesai, teriakan suporter Persebata adalah BALEO… BALEO…dan BALEO…. Tapi memprihatinkan akses jalan ke kampung LAMALERA yang empunya BALEO! Kasihan. Tapi kami orang Lamalera tetap sejatinya dukung Persebata”. Komentar lain lebih vulgar; “Menggunakan simbol Baleo, Lamafa, di ajang ETMC Lembata 2022 tu kira-kira kamu su buat jalan ke sana su gagah kah? Kalau saya orang Pemda Lembata (termasuk DPRD) sepatutnya malu menggunakan simbol atau spirit seperti itu. Pake saja tiga gunung kah apa? Sekedar bertanya, mungkin ada yang sepikir”?
Ini sekadar catatan keprihatinan atas keadaan Lamalera yang sejak otonomi hingga saat ini, kondisi jalannya tidak pernah diperhatikan. Sudah sekian banyak kali warga dan pemerintah desa menyuarakan ini ke pemerintah (zaman alm Yentji Sunur dan Thomas Ola), tapi tak juga ada perhatian. Setiap kali diangkat di forum-forum Musrembang tingkat desa, kecamatan hingga kabupaten, selalu kandas dengan pertanyaan klasik-politis; mereka sumbang berapa suara saat Pilkada? Anggota DPRD dari Dapil 4 pun bungkam. Mereka hanya butuh rakyat di saat Pemilu. Mereka cuma butuh suara rakyat. Setelah terpilih, peduli amat dengan apa kebutuhan rakyat. Jalur Lewoleba-Lamalera di lajur tengah yang melintasi Belame, Lamalewar, Atawuwur, Boto, Puor, Imulolong, Posiwatu dan sekitarnya, sesungguhnya adalah kawasan potensial dan memiliki komoditi andalan. Tapi pemerintah tidak melihat itu sebagai prioritas. Selalu melihat wilayah itu dari kacamata politik; berapa sumbangan suara warganya? Sampai kapan keadaan ini diperlihara? Sementara setiap lima tahun calon wakil rakyat dan para kandidat bupati, datang jual kecap untuk dapat suara rakyat. Begitu terpilih, balik belakang dan (maaf) tidak peduli lagi. Sebuah kenyataan yang perlu jadi refleksi kritis bagi rakyat; masihkah memberi mandat/kepercayaan kepada orang yang gampang berkianat? Atau kita hanya silau dengan lembaran rupiah, entah itu 20 ribu atau 50 ribu hingga ratusan ribu, hanya untuk menggadaikan suara kita, lalu menderita lagi selama lima tahun?
Harapan warga Lamalera hanya kepada Penjabat Bupati Marsianus Jawa. Sebab, putra Nagekeo, pejabat teras Provinsi NTT yang dipercayakan menjadi Bupati untuk dua tahun ke depan, bisa mengambil kebijakan mengatasi infrstruktur jalan ke Lamalera. Karena ada optimisme bahwa Penjabat tidak akan berpikir dikotomis, apalagi diskriminatif terhadap Lamalera. Dia pun tidak ada interest politik. Penjabat sudah pernah ke Lamalera dan telah merasakan betapa buruknya jalan di jalur tengah itu menuju Lamalera, melintasi gudangnya komoditi. Nurani Penjabat tentu sudah tersentuh lalu (semoga) tergerak; bahwa Lamalera sebagai destinasi wisata dunia, (memang) butuh sentuhan.
Kampung Lamalera yang terletak di selatan Pulau Lembata ini sudah lama ditetapkan sebagai destinasi wisata unggulan karena tradisi perburuan ikan paus (whale hunting) sejak berabad-abad silam. Setiap tahun, selalu ada wisatawan domestik dan mancanegara yang bertandang ke Lamalera hendak menyaksikan tradisi perburuan ikan paus yang dilakukan secara tradisional. Selain akses jalan berlubang dan berbatu dari Lewoleba, Ibu Kota Kabupaten Lembata menuju Lamalera, ketiadaan sinyal internet serta telepon juga jadi masalah tersendiri. Kampung Lamalera memang merupakan objek wisata kelas dunia. Panorama alamnya yang indah dan tradisi perburuan ikan pausnya yang masih natural mampu menyedot banyak wisatawan dan peneliti datang ke desa nelayan tradisional ini. Namun di balik semua kemegahan ini, ada ‘derita’ yang harus segera dituntaskan.
“Bapa Bupati Marsianus Jawa, di Moe kame pole. Bapa Bupati, hanya kepada bapa kami berharap bisa membangun jalan ke Lamalera,” harap tokoh Lamalera B, Konradus Bona.
****
Rivalitas keras di laga El Tari Memorial Cup telah selesai. Lembata pun telah menunjukkan moral sepak bola modern. Lembata pun telah menunjukkan moral sesungguhnya sebagai Tuan Rumah yang baik. Lembata sedang jadi sorotan publik karena menjadi tuan rumah terbaik sepanjang turnamen ETMC. Mari kita belajar dari kekompakan nyata bahwa BALEO dan LAMAFA telah menyatukan semua komponen. Tak ada dikotomi utara-selatan, timur-barat, utara dan selatan. Kita adalah Satu Lembata. Tapi apakah spirit ini bisa merambah ke aspek lain di Lembata termasuk politik? Apakah kita terus terperangkap dalam dikotomi mayoritas-minoritas? Ingat, seruan penyatu itu datang dari Lamalera; dari selatan Lembata. Paus yang selama ini jadi ikon Lembata terbukti mampu membangkitkan rasa bangga, rasa percaya diri, rasa bersaudara. Sebab dalam berburu mamalia raksasa laut itu, butuh kerjasama. Butuh kebersamaan. Anak-anak Persebata telah membuat kita jadi satu. Menghilangkan sekat-sekat yang selama ini terbangun karena ego politik. Kalau saja nanti Pileg dan Pilkada sebagai pesta demokrasi rakyat dirayakan dalam dan dengan seruan BALEO…BALEO… HILIBE…, untuk merebut kursi dengan cara santun tanpa harus mengadu dimba, maka kita bakal melahirkan pemimpin yang akan membangun Lembata secara berkeadilan tanpa membuat sekat-sekat sebagai akibat dari sentimen politik.
Dr Justin Wejak, Dosen Kajian Indonesia di Universitas Melbourne Victoria, dalam sebuah komentarnya di WA Grup ATA LEMBATA, menulis begini; “Pekikan kata-kata BALEO, HILIBE, LAMAFA, dll, perlu terus digemahkan sebagai perekat sekaligus melawan politik adudomba. Sudah saatnya Lembata menyatakan tegas, Togehter we rise! Bersama Kita Bangkit! Semoga sepakbola Lembata menjadi panutan dalam merangkul semua untuk Together We Rise. Dikotomi mayoritas-minoritas Sara sesungguhnya dihindari. Karena itu sebuah kejahatan dalam peradaban”. (josh diaz beraona)
Sependapat… Baleo ….baleo….Hilibe.
Adalah momentum sakral bagi para Lamaran untuk bertaruh dengan laut sebagai ibu kehidupan.
Semoga momentum Eltari Memorial Cup membuka mata kita semua, tentang icon ikan Paus yang merupakan kebanggaan Lembata yang mendunia