Wakil Ketua I DPRD NTT, DR Inche Sayuna memimpin Paripurna Penyampaian Pandangan Umum Fraksi-fraksi terhadap Nota Keuangan Rancangan Perubahan APBD.
Fraksi Partai Golkar DPRD NTT dalam Pandangan Umum Fraksi terhadap Nota Keuangan atas Perubahan APBD TA 2022 berpendapat, nota keuangan itu menampilkan beberapa hal tidak lazim. Itu yang menyebabkannya berbeda dengan tahun sebelumnya. Apa saja kritik FPG DPRD NTT?
Pertama, dalam menghadapi “Keadaan mendesak”, Saudara Gubernur bukannya menggunakan dana BTT yang tersedia dalam APBD sebesar Rp 32.355.619.337,- secara optimal, sebagaimana diarahkan oleh pasal 55 ayat (4) PP No. 12 Tahun 2019, tetapi lebih memilih alternatif redesain program, kegiatan dan anggaran yang telah ditetapkan dalam APBD dengan dasar pertimbangan masih adanya desrupsi akibat pandemi covid 19; padahal justru pada Tahun Anggaran 2022, Covid 19 sudah sangat melandai dan ekonomi sudah mulai menggeliat serta pergerakan manusia, barang dan jasa sudah mulai meningkat secara signifikan. Dalam Nota Keuangan tergambar bahwa Saudara Gubernur hanya menggunakan dana BTT sebesar Rp 7.223.896.620,- atau 22,33% dari pagu yang tersedia dalam APBD Tahun 2022. Redesain secara sepihak terhadap program, kegiatan dan anggaran yang sudah ditetapkan dalam Perda APBD TA 2022 melalui penerbitan 6 buah Pergub Perubahan, menurut hemat Fraksi Partai Golkar, justru menjustifikasi lemahnya perencanaan yang selama ini dikeluhkan. Sementara di pihak lain, kita memiliki banyak staf ahli dan staf khusus yang direkrut dengan biaya yang tidak sedikit atas beban APBD.
Kedua, efisiensi dan efektivitas pengelolaan anggaran untuk beberapa kegiatan tidak terlihat, tetapi justru terkesan terjadi pemborosan dan kontradiktif dengan usaha kita mengentas warga miskin yang jumlahnya masih di atas 20-an persen, sehingga menempatkan kita masih pada urutan ketiga, provinsi termiskin di Indonesia.
Ketiga, kita lebih tanggap mengeluarkan dana untuk kegiatan yang bukan Urusan Provinsi, tetapi urusan pusat, yang mekanisme pendanaannya juga sudah diatur dalam ketentuan perundangan.
Keempat, kita lemah dalam perikatan kerja dengan Pihak Ketiga, sehingga memberi peluang keuntungan lebih bagi Pihak Ketiga; dibandingkan jaminan kemanfaatan yang kita dapatkan dari perikatan itu.
Kelima, redesain yang dilakukan Pemerintah melalui 6 Peraturan Gubernur Perubahan, dilakukan sepihak padahal regulasi yang mengatur tentang Pengelolaan Keuangan Daerah sudah mengatur secara jelas; mana pergeseran yang membutuhkan persetujuan DPRD dan mana yang tidak memerlukan persetujuan DPRD. Fraksi Partai Golkar mengharapkan agar Komunikasi Kemitraan antara Kepala Daerah dan DPRD melalui Pmpinan DPRD dibenahi, agar terjadi sinergitas yang kuat bagi peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
Minta Penjelasan Pemerintah
Sehubungan dengan uraian tersebut di atas, Fraksi Partai Golkar setuju dengan rekomendasi Badan Anggaran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari persetujuan Perubahan KUA dan Perubahan PPAS TA 2022 serta meminta agar hal- hal tersebut tidak diulangi lagi pada TA 2023.
Khusus pengeluaran mendahului perubahan APBD dalam rangka kunjungan Presiden RDTL ke Labuhan Bajo dan transit di Kupang (tanggal 22 sampai dengan 25 Juli), berdasarkan permintaan Dirjen Protokol dan Konsuler Kementerian Luar Negeri RI agar difasilitasi sesuai ketentuan perundangan, dan telah menelan biaya sebesar Rp 3,2 miliar, Fraksi Partai Golkar meminta penjelasan Pemerintah Daerah karena pelaksanaan tugas dan wewenang Gubernur sebagai Wakil Pemerintah Pusat (GWPP) telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 33 Tahun 2018 Pasal 4 ayat (1) dimana ditegaskan, bahwa Pendanaan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang GWPP dibebankan pada APBN. Hal itu dipertegas lagi dalam Permendagri No. 12 Tahun 2021 Pasal 15 ayat (1): Pendanaan Pelaksanaan Tugas dan Wewenang GWPP bersumber dari APBN melalui dana dekonsentrasi. Penggunaan dana Pemda untuk memfasilitasi kunjungan Presiden Republik Demokratik Timor Leste tetapi tidak tersedia anggarannya dalam APBD bertentangan dengan Pasal 124 ayat (1) PP Nomor 12 Tahun 2019, yang menegaskan, bahwa setiap Pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBD apabila anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia. Mohon penjelasan.
Pemanfaatan dana dalam rangka memperingati Hari Lahir Pancasila 1 Juni 2022 sesuai surat Badan Pembinaan Idiologi Pancasila 9 Mei 2022, anggarannya belum tersedia dalam APBD TA 2022, tetapi dananya sudah dikeluarkan sebesar 3,1 miliar melalui dua tahap, yaitu tahap 1 sebesar Rp 1,5 M melalui pergeseran dengan dasar Pergub No 63 Tahun 2022 tentang Perubahan Ketiga atas Pergub No 89 Tahun 2021 tentang Penjabaran APBD Tahun 2022 dan tahap 2 sebesar Rp 1,6 dan belum ada dasar hukum pemanfaatannya. Hal ini bertentangan ketentuan Pasal 124 ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) PP 12 tahun 2019. Fraksi Partai Golkar meminta penjelasan, bagaimana hal ini bisa terjadi.
Perlu Klarifikasi
MoU antara Pemerintah Provinsi NTT dengan Yayasan Bambu Lestari, yang ditindaklanjuti dengan Pembuatan Perjanjian Kerja Samanya (PKS) oleh Dinas Pemberdayaan Masyarakat dan Desa (PMD) dan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menimbulkan banyak tanda tanya yang memerlukan klarifikasi.
Pertama, MoU antara Gubernur dengan Yayasan Bambu Lestari tentang Pengembangaan Desa Wanatani Bambu dalam Rangka Mendukung Ekonomi Hijau di Wilayah Provinsi NTT, ditandatangani pada 24 Mei 2021. Kemudian MoU tersebut ditindaklanjuti dengan Pembuatan Perjanjian Kerja Sama (PKS) dengan Yayasan Bambu Lestari oleh Dinas PMD per- tahunan dan oleh Dinas LHK per- lima tahunan dan ditandatangani para Pihak pada 24 Mei 2021 bersamaan dengan penandatangan MoU antara Gubernur NTT dengan Yayasan Bambu Lestari. Tetapi menariknya adalah, bahwa Pergub tentang Desa Wanatani Bambu, baru diterbitkan satu tahun kemudian. Pergub Nomor 73 Tahun 2022 tentang Desa Wanatani Bambu baru ditetapkan pada 15 Juni 2022.
Kedua, PKS antara Dinas PMD dengan Yayasan Bambu Lestari Tahun 2021, Pasal 5 ayat (3) butir f, menegaskan, bahwa Pihak Kedua (Yayasan Bambu Lestari) berhak mendapatkan administratif cost senilai Rp 900.000.000,- dan Biaya TOT sebesar Rp 124.470, 000,- yang dibayarkan berdasarkan perkembangan pekerjaan di lapangan sesuai ketentuan peraturan perundang undangan yang berlaku.
Ketiga, PKS antara Dinas PMD dan Yayasan Bambu Lestari Tahun 2022 mengalami modifikasi. Pasal 2 menegaskan bahwa obyek PKS ini adalah penyediaan bibit bambu, membangun kebun kepompong dan fasilitasi hibah bibit bambu kepada masyarakat dalam rangka pengembangan desa wanatani bambu. Pasal 4 menegaskan PKS ini secara teknis pelaksanaannya dilakukan oleh para pihak secara swakelola. Pasal 5 menegaskan bahwa Hak dan Kewajiban para Pihak diatur lebih lanjut dalam Kerangka Acuan Kerja (KAK). Jadi, kita tidak menemukan lagi dalam PKS ini tentang administratif cost dan lain-lain. Dengan demikian, mata rantai transparansi dan akuntabilitas publiknya semakin panjang. DPRD sendiri belum mendapatkan Kerangka Acuan Kerjanya yang berisi Hak dan Kewajiban Para Pihak yang merupakan bagian terpenting dari sebuah PKS.
Keempat, PKS antara Dinas LHK dan Yayasan Bambu Lestari tentang Pengembangan Hasil Hutan Bukan Kayu di wilayah Provinsi NTT dan ditandatangani tgl 24 Mei 2021 untuk jangka waktu lima tahun. Pasal 5 ayat (3) butir c, menegaskan: Kewajiban Pihak Kedua (Yayasan Bambu Lestari), memfasilitasi dan menyediakan anggaran bagi pelaksanaan kegiatan sesuai tupoksinya. Selanjutnya, Pasal 6 tentang Pembiayaan menegaskan bahwa segala biaya yang timbul sebagai akibat dari pelaksanaan PKS ini dibebankan pada para Pihak sesuai dengan tugas dan tanggung jawab dan ketentuan peraturan Perundang-undangan.
Dari urain tersebut di atas maka pemberian Hibah kepada Yayasan Bambu Lestari oleh Pemerintah Provinsi melalui Dinas LHK tidak ada dasar hukumnya. Juga dalam Naskah MoU antara Gubernur dan Yayasan Bambu Lestari khususnya pada pasal tentang Maksud dan Tujuan MoU, sama sekali tidak disinggung tentang Hibah kepada Yayasan Bambu Lestari. Demi utuhnya pemahaman dan benarnya duduk perkara pemberian Hibah kepada Yayasan Bambu Lestari, Fraksi Partai Golkar meminta penjelasan yang komprehensif. (jdz)