Oleh Drs. Ignatius Sinu, MA
Asam (Tamarindus indica) dalam nomenklatur pembangunan pertanian dan kehutanan masuk kategori tanaman kehutanan, karena sampai sejauh ini tanaman asam tumbuh liar membentuk kawasan hutan asam pada daerah-daerah tertentu. Ketika kawasan hutan asam itu dirambah menjadi ladang, maka lambat laun berubah menjadi pemukiman penduduk, dari kelompok pemukiman yang paling kecil yaitu kampung, dusun, kemudian desa, dan kota-kota kecil. Asam diambil menjadi nama pemukiman penduduk itu.
Di Flores Timur ada Desa Tobi Lota (susunan asam), di Lembata ada Tobi Lolong (daun asam), di Timor ada Kiupukan.
Sekalipun asam adalah tanaman kehutanan, sampai sejauh ini asam belum masuk dalam nomenklatur pembangunan kehutanan. Kegiatan penghijauan, reboisasi, rehabilitasi sampai sejauh ini belum menggunakan asam sebagai tanaman yang perlu dikembangkan.
Pembangunan kehutanan dan perkebunan masih berkutat pada tanaman-tanaman tertentu seperti gmelina (Gmelina), angsana (Pterocarpus indicus), mahoni (Swietenia mahagoni), jati (Tectona grandis), cendana (Santalum album), kemiri (Aleurites moluccanus), kopi (coffea), kakao (Theobroma cacao), cengkeh (Syzygium aromaticum), dan lain-lain.
Ben Mboy ketika menjadi Gubernur Nusa Tenggara Timur tahun 1980, membangun NTT dengan program Operasi Nusa Makmur (ONM) dan Operasi Nusa Hijau (ONH). Bersamaan dengan revolusi hijau, filosofi yang diemban adalah bahwa orang NTT bisa hidup makmur dengan melakukan revolusi pertanian. Sistem dan tata cara bercocok tanam warisan leluhur secepatnya digantikan dengan sistem usahatani modern, dengan menerapkan teknologi panca usahatani; mulai dari mengolah tanah dengan baik, penggunaan bibit unggul, pengairan yang teratur, pemupukan yang tepat waktu dan tepat dosis, dan pemberantasan hama dan penyakit sesuai rekomendasi.
Bibit jagung hibrida (metro dan kalingga) dan pupuk dibagikan dengan cuma-cuma kepada petani. Program ONM dengan memaksakan teknologi maju di dalam perjalanan urung dengan sendirinya, hanya oleh suatu permenungan singkat. Tanaman lontar mengingatkan Ben Mboy bahwa daerah yang keras seperti NTT ini yang seharusnya diusahakan adalah tanaman keras, tanaman yang tahan akan kekeringan, panas, dan dapat hidup di tanah dengan unsur hara yang sangat minim, tanah-tanah kritis.
NTT akan sulit bersaing dengan provinsi lain dengan tanaman jagung sebagai komoditi unggulan yang berdaya saing. Karena itu usaha tani jagung, usahatani tanaman pangan lainnya hanya bisa dilakukan sebagai basis ekonomi, demi stabilitas ketanahan pangan di daerah ini. Kesadaran ini dikokreksi dengan semboyan-semboyan seperti “iklim NTT adalah iklim kering, tanah NTT adalah tanah keras, karena itu yang bisa hidup di NTT adalah tanaman-tanaman keras yang tahan kekeringan, api, dan tahan terhadap terpaan terik matahari.
Tanaman-tanaman itu adalah lontar, asam, kesambi, bidara, yang justru sampai sejauh ini belum mendapatkan perhatian di dalam kegiatan-kegiatan penghijauan, reboisasi, dan rehabilitasi kawasan-kawasan hutan di NTT.
Pertengahan tahun 2011 petani-petani di Flores, khususnya di Kabupaten Flores Timur dan Lembata, ditambah Alor tersenyum bangga karena harga asam mencapai Rp 8.000 per kilogram isi, melonjak tajam dari tahun sebelumnya yang sangat sulit menembus harga Rp 2.000 per kilogram isi. Para petani khsusnya, dan umumnya orang desa di daerah itu berlomba-lomba ke luar masuk kawasan hutan asam meramu buah-buah asam untuk selanjutnya diolah dan dijual guna mendapatkan uang tunai. Pagi-pagi sebelum matahari terbit orang-orang desa beramai-ramai masuk kawasan hutan asam meramu asam.
Satu kelompok kecil pemerhati masalah hutan dan kehutanan di NTT, yang sebut saja Kelompok Studi Sosial Ekonomi Fakultas Pertanian Undana, pada pertengahan tahun 1990-an bekerjasama secara intensif dan berkelanjutan dengan Kanwil Kehutanan dan Dinas Kehutanan Provinsi Nusa Tenggara Timur, baik kegiatan penelitian maupun pelatihan terutama pelatihan bagi masyarakat tani hutan, salah satu filosofi yang selalu didengungkan adalah “bertani tanpa bekerja”, filosofi Masanobu Fukuoka yang memperhalus teknologi tradisional sebagai lawan terhadap teknologi modern yang kala itu berdampak sangat buruk terhadap kerusakan tanah-tanah pertanian.
Bertani tanpa bekerja memang filosofi yang aneh. Namun kami sangat mempercayai keunggulan filosofi hidup ini karena terlahir dari pengalaman Tuan Masanobu Fukuoka, ahli kimia Jepang yang meninggalkan labaratiorium, datang ke lapangan dan melakukan serta mengalami sendiri di lapangan sebagai petani yang menyerahkan sepenuhnya tanaman yang ditanam kepada kemauan dan kemurahan alam. Ia menawarkan metode dengan menghindari pertanyaan-pertanyaan “bagaimana mencoba ini?” atau “Bagaimana mencoba itu?” Ia memilih dan mencoba menawarkan pekerjaan yang lebih menyenangkan dengan mengajukan pertanyaan “Bagaimana agar tidak mengerjakan ini?”
Berdasarkan pengalaman sendiri tuan Masanobu Fukuoka berkesimpulan bahwa tidak perlu membajak, tidak perlu menggunakan pupuk, tidak perlu menggunakan pestisida. Fukuoka berseru “Bila anda benar-benar mengerjakannya, hanya sedikit saja kegiatan pertanian yang benar-benar perlu” (Fukuoka, 1991:3).
Berdasarkan filosofi ini kami membangun nilai penting dari tanaman perkebunan dan kehutanan: asam, kesambi, mahoni, jati, bidara, mente, kopi, kakao, kelapa, kemiri, cendana, kelor dan lain-lain. Slogan yang selalu kami dengungkan adalah “untuk apa tanam padi, untuk apa tanam jagung di daerah kering seperti Nusa Tenggara Timur ini karena tanam padi dan jagung kita akan miskin selama-lamanya”. Kami mengajak dan membimbing kaum tani untuk memiliki kebun kemiri, hutan asam, hutan kesambi, hutan jati, kebun kopi, kebun kelapa, dan lain-lain. Karena dengan memiliki ratusan pohon kemiri, ratusan pohon asam, ribuan pohon jati yang membentuk kawasan hutan, petani tidak perlu lagi berkutat dengan aktivitas panca usahatani pada daerah lahan dengan kondisi iklim yang tidak pasti yang sangat berpengaruh pada kegagalan usahatani tanaman pangan, terutama padi dan jagung.
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada waktunya mencapai titik jenuh akan muncul pandangan hidup “back to basic dan back to nature”. Pada titik ini akan muncul kesadaran lain bahwa, misalnya, memasak dengan menggunakan bahan bakar kayu api lebih higienis, lebih sedap, dan bahkan unik. Dengan itu kayu api akan menjadi komoditi dengan harga jual yang terus meningkat seiring dengan terus meningkatnya kebutuhan akan kayu api sebagai bahan bakar. Kuliner se’i babi di NTT menjadi unik karena panganan dari daging babi ini menjadi matang dengan cara diasapi, dengan kayu-kayu kering pilihan terutama kesambi (Schleichera oleosa) dan sementara diasapi ditutupi daun kesambi untuk menghasilkan aroma dan rasa yang unik dan khas. Begitu pula dengan kopi hangat di Jawa menjadi unik karena airnya didihkan dengan menggunakan kayu api, lalu ke dalam kopi itu dimasukan bara api dari kayu tertentu, tentunya untuk menciptakan aroma dan rasa unik tertentu pula.
Asam dan Angin Malam
Asam adalah rempa-rempa, penyedap makanan yang tidak tergantikan. Ikan kuah tanpa asam, tentunya tidak sedap. Asam adalah tanaman non-pertanian. Sampai sejauh ini para ahli pertanian masih enggan mempelajari asam. Karena itu adalah salah menyebutkan asam adalah tanaman pertanian, karena kurang jelas konsepnya. Asam dikategorikan tanaman kehutanan. Karena tumbuhan ini tumbuh sendiri, merawat diri sendiri namun hasilnya diperebutkan oleh manusia dengan dalih mengklaim kawasan milik.
Tanaman ini tumbuh subur dan mengelompok membentuk kawasan hutan asam. Dan manakala dirambah kemudian berkembang menjadi kawasan pemukiman, wilayah pemukiman itu disebut kampung asam. Dalam bahasa daerah Lamaholot ada kampung Tobi Lolong, kampung Tobi Lota, kampung Tobi Tawa, dan Kiupukan di Timor, serta Kaca di Satarmese Manggarai.
Asam sangat bermanfaat bagi kehidupan manusia. Mulai dari akar hingga daun semuanya berguna bagi kehidupan munusia. Daun asam muda diolah menjadi bumbu penyedap. Biji asam diolah menjadi makanan, terutama ketika musim lapar. Sementara batang dan ranting asam amat berguna untuk bahan bakar. Sayangnya, dalam kebijakan pembangunan asam yang tinggi manfaatnya bagi manusia ini tidak tersentuh. Alokasi anggaran mulai dari pusat hingga ke daerah sulit sekali, bahkan tidak sama sekali ditemukan anggaran yang dialokasikan untuk pengembangan asam.
Di beberapa tempat ketika kami melakukan pendampingan, selalu kami sampaikan gagasan mengusahakan tanaman asam, atau membiarkan asam tumbuh di pekarangan rumah di ladang-ladang, di daerah-daerah kritis yang sulit dibudidaya. Biarkan asam tumbuh di tempat itu. Cukup dengan sedikit sentuhan perawatan, asam akan tumbuh dengan cepat dan pada saatnya memberihkan hasil bagi yang menanam. Barang siapa yang mempunyai tanaman asam ratusan pohon tidak perlu berpikir sulit mengenai memanen asam. Tanaman ini sungguh pintar, lebih pintar daripada tanaman mangga. Jika mangga berbunga ketika angin sedang bertiup dengan kencang dan merontokan bunga-bunga mangga, yang pada akhirnya gagal produksi, maka asam sangat pandai.
Asam baru akan berbunga setelah angin sudah tidak bertiup lagi. Sehingga bunga-bunga asam itu dengan cepat menghasilkan buah yang pada saatnya dipanen. Ketika buah-buah asam mengalami periode matang, angin mulai bertiup dengan kencang menjatuhkan buah-buah asam. Bapa dan ibu yang punya asam cukup tetap di tempat tidur, berleha-leha di tempat tidur, menggoyang-goyang tempat tidur, sementara di luar sana angin sedang bertiup dengan kecang menggoyang dan menjatuhkan buah-buah asam ke atas tanah. Setelah bapak dan ibu berhenti menggoyang tempat tidur, angin pun berhenti bertiup. Bapak dan ibu turun dari tempat tidur, keluar rumah dan mendapatkan kenyataan bahwa buah-buah asam yang sudah matang jatuh berserakan di atas tanah. Bapak dan ibu tinggal meramu, untuk selanjutkan diolah untuk dijual.
Jika tahun 2011 harga asam isi mencapai Rp 8.000 per kilogram di Flores dan Rp 6.000 per kilogram di Timor; maka pada tahun 2022 ini harga asam naik lagi menjadi Rp 15.000-Rp 18.000 per kilogram. Ketika nilai ekonomi asam terus meningkat kawasan hutan asam pun terus berkurang, sebagai akibat dari kurangnya kesadaran akan nilai tukar dan nilai penting serta nilai ekonomi dari asam itu.
Asam dan juga tanaman lainnya seperti kesambi, lontar, bidara (Ziziphus mauritiana), adalah tumbuhan endemik Nusa Tenggara Timur. Tumbuhan ini sampai sejauh ini walau memberikan sumbangan ekonomi yang signifikan untuk masyarakat Nusa Tenggara Timur, tetapi harus diakui belum dipikirkan untuk dikelola dengan lebih baik.
Proyek-proyek di sektor perkebunan dan kehutanan belum melihat tumbuhan-tumbuhan ini sebagai tumbuhan liar bernilai ekonomi yang dirasakan masyarakat NTT turun temurun. Padahal mudah saja menjadikan bukit-bukit gundul di daerah ini dengan menanam asam, kesambi, lontar, bidara dan lain-lain tanaman lokal bernilai ekonomi.
Sangat disayangkan, presiden Joko Widodo menggelontorkan anggaran melalui program Dana Desa yang jumlahnya di atas Rp 700 juta per desa per tahun hampir lima tahun ini, maaf, belum satu desa di NTT muncul sebagai desa dengan komoditi unggulan di sektor perkebunan dan kehutanan. Malah, berdasarkan hasil penelitian yang kami lakukan, dana desa itu sebagian besarnya dimanfaatkan untuk program-program instan di sektor sekunder dan tersier (pariwisata, UMKM) yang lebih berpeluang tidak berlanjut dan mubasir.
Jika ada desa yang sudah dan sedang menanam asam, kesambi, lontar pada kawasan-kawasan kritis dan gundul maka dipastikan 5-10 tahun mendatang kawasan itu akan berubah menjadi kawasan hutan tanaman asam, kesambi, dan lain-lain; akan ditemukan hutan asam, hutan kesambi di mana-mana di daerah ini yang berfungsi ekologi, ekonomi, dan rekreasi. (***)