Oleh: Yoss Gerard Lema *)
SEPERTI petir di siang bolong. Berita itu bikin aku kageeet. Benar-benar kageeet. Air mataku menetes. Tetes air mataku menuruni pipi. Hatiku basah kuyub karena bahagia. Sama seperti alam raya Ende yang saat ini benar-benar sumringah. Bumi Ende, tanah Ende, Air Ende, laut Ende, batu-batu Ende, pohon-pohon di Ende benar-benar di puncak ubun-ubun kebahagiaan.
Sepekan terakhir Ende dalam kepungan aroma wangi kembang setaman. Gayanya ibarat gadis puber pertama. Cantiiik. Sexy. Sedikit geniiit. Sedikit nakaaal. Birahinya seperti arus lautan yang saling memburu dan menghempas di karang. Bukankah Bung Karno suka memandangi laut Ende yang bergelora. Sangkin sukanya ketika ke Ende Bung Karno membawa Sang Maestro Basuki Abdullah untuk menggambar laut Ende yang menyakyubkan itu.
Lalu kemarin, Selasa, tanggal 31 Mei 2022 berita itu benar-benar nyata. Saat sore merayap meniti gerbang senja, dari arah laut moncong pesawat kepresidenan berwarna merah putih, dalam hitungan detik roda-rodanya telah membentur badan landasan dan berpacu dengan kecepatan semakin berkurang. Pintu pesawat terbuka, Presiden Joko Widodo dan Ibu Negara Iriana Widodo terlihat menuruni tangga pesawat.
Jokowi adalah presiden kedua setelah Bung Karno yang mengunjungi kota Ende pada tahun 1950 dan 1957. Namun kunjungan Jokowi kali ini sangat istimewa. Menjadi inspektur upacara dalam acara kenegaraan memperingati hari lahirnya Pancasila, Rabu, tanggal 1 Juni 2022. Upacara akan dilakukan di Lapangan Pancasila, bersebelahan dengan Taman Permenungan Bung Karno.
Bicara Pancasila berarti tentang Bung Karno antara tahun 1934-1938.
Dimulai saat kapal barang KM Vandriback melakukan manufer di Teluk Ende pada 14 Januari 1934, dari haluan kapal Bung Karno justru terkesan pada sebuah gunung di bibir pantai. Gunung itu mengepulkan asap dari kepundanannya. Gunung itu oleh masyarakat Ende bernama gunung Iya.
Ende di tahun 1934 itu sesungguhnya merupakan kota pelabuhan nan kecil. Jumlah penduduknya kira-kira 5.000 jiwa. Sekitar 90 persen katolik, 10 persen lainnya terdiri dari islam, kristen protestan, hindu, budha, konfucu, dll. Umat islam menetap di sepanjang persisir pantai.
Pertanyaannya, kenapa Bung Karno dibuang ke Ende? Kenapa tidak di buang saja di sekitar pulau jawa, sumatera, sulawesi, kalimantan, maluku atau papua? Mungkinkah Tuhan memang menginginkan Bung Karno dibuang ke Ende?
Sejak hari pertama menginjakan kaki di bumi Ende, Bung Karno sudah merasakan sepi. Ende memang sepi. Malam hanya suara jangkrik, kodok dan burung hantu. Lelaki yang dijuluki ‘Singa Podium’ itu kesepian. Dia benar-benar merasakan terbuang. Jauh dari teman-teman seperjuangan. Jauh dari cita-citanya: Indonesia merdeka.
Bila senja merayap dan malam pun tiba, Bung Karno menatap wajah Inggit Ganarsih istrinya penuh cinta. Dikecup kening Inggit. Dibelai kepala anak angkatnya, Ratna Djuami. Namun ibu Amsi mertuanya tahu betul gelisah hati mantunya. Saat-saat sepi seperti ini jiwa heroiknya serasa tercabik-cabik. Nuraninya seolah dirajam, dicambuk dan didera. Kesombongan Singa Podium luluh lantak. Dalam diam dan sepi Tuhan menuntunnya menjadi pribadi yang rendah hati.
Berkawanlah Bung Karno dengan para nelayan, buruh pelabuhan dan para petani. Bersama orang-orang kecil ini Bung Karno menbentuk Sanggar Kelimutu. Beberapa naskah tonil dipentaskan di gedung Imaculata. Salah satu tonilnya berjudul Rahasia Kelimutu.
Selain kelompok tonil Bung Karno juga berkawan akrab dengan para Mosalaki (Ketua Adat), juga tokoh agama islam dan pastor-pastor katolik. Pertemanan Bung Karno dengan dua pastor eropa menjadi catatan manis yang sangat menarik. Kisah pertemanan mereka membuat almarhum Pastor Henri Daros, SVD menggagas berdirinya Serambi Soekarno di kompleks gereja katedral Ende. Kini Serambi Soekarno dikunjungi wisatawan dalam dan luar negeri.
Sukses mementaskan tonil tidak membuatnya lupa akan cita-citanya. Membebaskan bangsa Indonesia dari kerangkeng kolonial. Sehingga ketika Bung Karno melangkahkan kaki kearah pantai, lalu duduk di sebuah bangku dibawah pohon sukun bercabang lima, sesungguhnya keinginannya hanya satu: merenuuung. Herannya, dia betah duduk berjamjam. Sendirian menatap bentangan laut biru di depannya. Melihat Pulau Ende dari kejauhan. Tersenyum sendiri melihat tingkah anak nelayan di sampan yang mendayung sambil bernyanyi dalam bahasa Ende yang tidak dia mengerti.
Magrib pun tiba, dari arah belakang terdengar suara lonceng dari gereja katedral, tak jauh dari tempat duduknya. Beberapa menit kemudian dari arah depan, terdengar suara adzan dari sebuah mesjid di bibir pantai tak jauh dari duduknya. Indaaah nian realita ini. Lebih indah lagi ketika Bung Karno tahu antara umat katolik dan umat islam di Ende rata-rata masih mempunyai hubungan darah akibat kawin-mawin. Mereka berada dalam satu rumah adat yang sama. Berdiri sama tinggi, duduk sama rendah. Toleransi diantara mereka sangat kental. Saling hormat menghormati, saling sayang menyayangi dalam kemanusiaan.
Pada titik ini, pengalaman Bung Karno antara tahun 1934-1938 di Ende mesti direnungkan dan diresapi oleh segenap anak bangsa. Oleh setiap politisi dan calon politisi. Oleh setiap calon pemimpin daerah. Bahkan setiap anak bangsa yang bercita-cita mulia untuk menjadi Presiden dan Wakil Presiden Indonesia. Karena toleransi itu indah dan mempersatukan bangsa.
Sekitar empat tahun merenung dibawah pohon sukun bercabang lima, tentu ada doa yang dipanjatkan kepada Allah yang maha kuasa. Tentu ada air mata yang jatuh menyirami pohon sukun hingga berbunga dan berbuah lebat. Dari kejauhan empat gunung yang menjaga kota Ende, yaitu Iya, Meja, Wongge dan Kengo menyaksikan keseriusan Bung Karno. Lewat hembusan angin laut sepoi-sepoi basah, tubuh, jiwa dan rohnya bergidik. Cakrawalanya terbuka. Butir-butir Pancasila mengalir deras dalam pikirannya, dalam aliran darahnya, dalam setiap denyut jantungnya.
Mulailah Dari Ende
Ende itu sakral. Tidak semua presiden pernah datang ke Ende. Setelah Bung Karno, hanya Presiden Jokowi yang kemarin dan hari ini mencatatkan sejarah besar tentang Ende – Bung Karno dan Pancasila. Kedatangan Presiden Jokowi dan rombongan memberikan sinyal terang benderang bahwa alam raya nusantara, alam raya Ende-Lio, mengingatkan kepada seluruh anak bangsa bahwa membumikan Pancasila bagi masyarakat dari Sabang sampai Merauke, Miangas hingga Pulau Rote harus dimulai dari Ende.
Sehingga kehadiran Presiden Jokowi untuk memimpin upacara bendera memperingati hari lahirnya Pancasila tanggal 1 Juni 2022 di Kota Ende, adalah sebuah upacara sakral ibarat membangun fondasi ideologi bangsa Indonesia kokoh. Upacara ini mesti dianggap sebagai peletakan batu pertama bahwa Ende, bumi Ende-Lio adalah muara budaya nusantara yang sari-sari madunya bercahaya dalam butir-butir Pancasila. Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi dan Keadilan Sosial ada dalam semua budaya anak bangsa.
Saran saya, negara wajib membangun Ende seperti negara membangun Jakarta sebagai kota tempat Bung Karno dan Bung Hatta memproklmirkan kemerdekaan Indonesia, 17 Agustus 1945. Dunia silau, kagum pada Indonesia karena kemerdekaan yang diproklamirkan itu menyertakan Pancasila sebagai dasar negara. Itulah visi Indonesia merdeka, bebas dari penjajahan.
Tentang Pancasila Bung Karno dalam kunjungan ke berbagai negara selalu memperkenalkan Pancasila sebagai ideologi negara. Termasuk kepada Presiden Kenedy sahabat dekatnya. Bahkan ketika berpidato di hadapan sidang PBB Bung Karno dengan percaya diri memperkenalkan Pancasila. Semua hadirin memberikan aplaus ketika Bung Karno merinci Pancasila yang berasal dari budaya bangsa.
Mudah-mudahan kedatangan Presiden Jokowi akan menjadi lembaran awal ketika negara hendak menata Ende sebagai Kota Pancasila. Pancasila City. Kota tempat generasi hari ini, politisi hari ini, termasuk generasi Z bisa melihat Pancasila yang hidup di dalam masyarakat Ende. Sebab di jaman dulu, antara tahun 1934 hingga 1938 Bung Karno juga menyaksikan Pancasila yang hidup di tengah masyarakat Ende-Lio. Toleransi beragama di Ende-Lio ketika itu mencapai standar tertinggi. Dan rakyat Ende-Lio bisa berceritra banyak tentang itu.
Akhirnya, wahai para politisi hari ini, generasi hari ini, termasuk generasi Z, napak tilaslah ke Ende, ke semua tempat yang pernah dikunjungi Bung Karno di masa silam. Lihat langkah kakinya penuh percaya diri, optimis, namun kadang air mata juga membasahi denyut jantungnya ketika memikir nasib rakyat kecil. Jadilah politisi seperti Jokowi yang selalu berjuang untuk keadilan sosial rakyatnya yang paling kecil dan terpinggirkan.
Selamat hari lahir Pancasila, 1 Juni 2022, Semoga Ende ditetapkan sebagai Titik Nol Membumikan Pancasila bagi seluruh masyarakat Indonesia dan dunia. Terima kasih Presiden Jokowi dan Ibu Negara serta rombongan…Amiiin
*) Penulis, novelis, tinggal di kota Kupang.