Ilustrasi Dana Desa
UNDANG-UNDANG Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa menempatkan desa sebagai ujung tombak pembangunan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat. Berdasarkan UU itu, desa diberikan kewenangan dan sumber dana yang memadai agar dapat mengelola potensi yang dimiliki guna meningkatkan ekonomi dan kesejahtaraan masyarakat.
Setiap tahun, pemerintah pusat menganggarkan dana desa yang jumlahnya terus meningkat. Sejak 2015, dana yang telah digelontorkan untuk hampir 75 ribu desa di Indonesia lebih dari Rp400 triliun. Tahun ini, dana desa yang dikucurkan Rp68 triliun.
Dana sebesar itu tentu bukanlah jumlah yang sedikit. Oleh karena itu, pada acara Pembukaan Silaturahmi Nasional Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indo nesia (Apdesi) Tahun 2022 di Istora Senayan, Jakarta, Selasa (29/3), Presiden Joko Widodo mewanti-wanti agar pemerintah desa mengelola, memanfaatkan, serta merealisasikan dana desa sebaik mungkin sehingga dapat memacu pertumbuhan ekonomi di desa dan secara keseluruhan akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
Presiden juga menginstruksikan Menteri Dalam Negeri menyederhanakan proses laporan surat pertanggungjawaban (SPJ) penggunaan dana desa. Upaya itu perlu dilakukan agar pemerintah desa lebih cepat menyerap anggaran. Sebab, menurut Presiden, dari Rp68 triliun yang telah ditransfer ke desa, baru sekitar 13,5% yang terserap. Lambatnya penyerapan diduga lantaran prosedur laporan SPJ yang ruwet dan bertele-tele.
Memangkas prosedur atau menyederhanakan birokrasi kadang memang diperlukan untuk mempercepat proses pembangunan. Namun, prinsip kehati-hatian dan akuntabilitas tetap harus diutamakan. Soal efektivitas pemanfaatan dana desa tentu sangat terkait dengan kapasitas atau kepiawaian mengelola dana desa secara produktif.
Tidak hanya itu, integritas sang kepala desa pun diperlukan untuk menghindari setiap potensi kecurangan. Apalagi, jumlah uang yang dikelola tidak sedikit sehingga rawan mengundang godaan. Buktinya, sejak program dana ini diluncurkan pada 2015, sudah ratusan kepala desa beserta aparatusnya yang berurusan dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan data lembaga antirasuah itu, pada 2021, ada 62 kasus korupsi yang melibatkan 61 kepala desa dan 24 perangkat desa.
Tentu menjadi tugas penegak hukum untuk menindak tegas siapa saja yang menyelewengkan dana desa. Pun menjadi tugas pemerintah untuk meningkatkan pengawasan dalam penggunaan dana tersebut. Korupsi terjadi, selain tentu saja karena masih banyak aparat tak berintegritas, juga karena lemahnya pengawasan.
Ini tentu bukan semata tugas pemerintah, melainkan masyarakat selaku salah satu stakeholder, yang semestinya merasakan manfaat dana desa, harus juga dilibatkan dalam pengawasan. Mencegah penyalahgunaan berarti menuntun pengelola menggunakan dana desa secara benar. Untuk keperluan itu, yang diperlukan ialah bimbingan, pelatihan, dan pendampingan.
Pemerintan mesti lebih memberdayakan pendamping sehingga perangkat desa betul-betul mampu membuat perencanaan dan laporan pertanggungjawaban penggunaan dana desa. Tentu proses perekrutan tenaga pendamping ini mesti dilakukan secara profesional, bukan melalui jalur kolusi dan nepotisme. Mereka harus dipilih dari orang-orang yang berintegritas dan memiliki kapasitas untuk membuat atau menyusun pertanggungjawaban.
Kepala desa tidak perlu takut menggunakan dana ini, asalkan pemanfaatannya transparan dan akuntabel. Selama semua ketentuan dipatuhi, semua akan baik-baik saja.
Pemanfaatan dan pencapaian dana desa memang masih memerlukan penyempurnaan. Menjadi tugas semua pihak untuk merencanakan, mengelola, dan mengawal dana desa. Dengan begitu, ia bisa menyejahterakan rakyat di desa, bukan hanya memakmurkan aparat desa. (e-mi/jdz)