Oleh Thomas Ataladjar
“Congrat Tom, ternyata matanya Bapak Gawi bisa lihat jauh sekali ya!” Demikian ucapan selamat melalui facebook kepada saya, dari mantan wartawan Suara Karya dan mantan Redaktur SCTV/RCTI, Jacob Rebong dari Korea Selatan, Kamis malam 11 Juli 2013, pukul 21.04. Jacob mengucapkan selamat atas penghargaan yang saya peroleh dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta sebagai salah seorang penulis sejarah Kota Jakarta, pada hari Sabtu 6 Juli 2013.
Rupanya setelah koran-koran ibukota menyiarkan berita ini, Pos Kupang juga menurunkan berita berjudul ”Putera NTT Raih Penghargaan Dinparbud Jakarta” 9 Juli 2013”. Berita tersebut cepat beredar di dunia maya hingga ke Korea Selatan. Apa maksud pernyataan facebook tersebut di atas “ternyata matanya Bapak Gawi bisa lihat jauh sekali ya!”, Saya sama sekali tidak tahu apa maksudnya…………… Gelap.
Menulis Sosok Tak Dikenal….Mana mungkin?
Awal Oktober 2013 lalu, teman saya Sdr.Ans Gregory da Iry mantan siswa sekaligus wartawan Pater Alex Beding di DIAN doeloe, menelpon saya. Saya diminta menulis tentang Pater Alex Beding yang akan merayakan ulang tahunnya yang ke-90. Kepada Sdr Ans saya balik tanya , apa yang bisa saya tulis tentang Pater Alex Beding? Saya sama sekali tidak kenal beliau.
Pada saat Pater Alex ditahbiskan sebagai imam di Gereja Paroki Nita, 24 Oktober 1951, delapan belas hari kemudian saya baru lahir. Terus terang saya akui bahwa seumur hidup saya, belum pernah saya ketemu langsung dengan Pater Alex Beding. Saya hanya tau sepintas dan itupun cuma sekali dan dari jauh saja, pada tanggal 4 April 2008. Saat itu Pater Alex Beding bersama P. DR. Leo Kleden,SVD, Pater Charles Beraf, SVD, Pater Sebast dan Romo Dipo SJ (Prof. Dr. Antonius Sudirdja SJ) memberkati pernikahan Ama Bona Beding di Gereja Katolik St. Yosef Matraman pada pukul 15.00.
Saya bahkan tak sempat ketemu apalagi bersalaman dengan Pater Alex. Usai misa, setelah salaman sama pengantin, saya langsung pulang karena ada acara lain. Jadi sebenarnya saya sama sekali tidak mengenal Pater Alex. Lantas apa yang harus saya tulis tentang tokoh yang sama sekali saya tak kenal tersebut ? Ans malah ngotot bilang begini : “ Tom, Anda memang belum pernah ketemu dengan Pater Alex, tapi setahu saya Anda justru sangat dekat dan sangat mengenal dan mendalami karya-karyanya Pater Alex Beding. Bahkan simpan rapih DIAN sejak nomor perdana menghiasi perpustakaan pribadi Anda.
Pengaruh karya Pater Alex terhadap karya-karya Anda selama ini sangat besar. Itu saja yang ditulis. Pasti menarik ,Tom”.
Dalam keraguan saya coba membayangkan sosok wajah Pater Alex Beding dalam bundel DIAN yang saya jilid rapi sejak tahun 1974. Yang saya dapati bukan foto Pater Alex Beding tapi cuma sebuah karikatur tentang dirinya yang dimuat di DIAN No.1 Tahun ke-2. Seorang bapak duduk di atas ketinggian sebuah kursi berkaki tunggal, menghadap ke barat. Bercelana panjang dan kemeja lengan pendek. Lengan kirinya mengenakan arloji memegang lengan kursi. Duduk lipat kaki kanan di atas kaki kiri. Ibu jari dan jari manisnya memegang dagu. Di balik kaca matanya yang besar, matanya tertutup. Ia lagi berpikir keras. Rambutnya rada gondrong, jidatnya lebar. Di atas jidatnya ada nyala api. Di bawah karikatur tersebut tertulis nama P. A. Beding, dengan keterangan gambar ”DIAN naik beringsut-ingsut”.
Itulah sosok Pater Alex Beding SVD yang sangat saya hafal, saat saya berkali-kali membolak balik DIAN, walau itu hanya dalam wujud sebuah karikatur. Dalam edisi ini terpampang juga karikatur sosok Ben Oleona,Thom Wignyanta, teman saya Greggory da Iri, Chris Nau, EP. Boleng dan Albert Pantaleon, pasukan perdana DIAN dengan komandannya Pater Alex Beding, SVD.
Lantas apa kaitan Pater Alex Beding yang merayakan ulang tahunnya yang ke-90 dengan ucapan selamat lewat facebook buat saya dari Jacob Rebong jauh di Korea sana? Apa makna kata-kata” ternyata matanya Bapak Gawi bisa lihat jauh sekali“ kaitannya dengan penghargaan yang saya terima dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta?
Bapak Gerardus Gawi Rebong adalah ayah kandung Jacob Rebong, saudara sepupu saya. Ibunya Jacob Rebong dan ibu saya, kakak adik kandung. Bapak Gawi dulu di kampung adalah kepala desa Lewokurang merangkap guru agama.
Menurut Jacob, pernyataan bapak Gawi, kisahnya sudah sangat lama. Saat saya masih di SMP Seminari Sandominggo, Hokeng, Flores Timur. Sekitar tahun 1966-1968. Kebiasaan saya sejak masih di Sekolah Rakyat adalah menulis surat buat kakak saya yang sekolah di Kalabahi, Alor. Sejak di seminari saya rajin menulis surat kepada orang tua. Bisa berlembar-lembar. Cerita apa saja pengalaman seekolah di Seminari Hokeng. Rupanya diam-diam, pakde saya bapak Gerardus Gawi Rebong, suka mampir ke rumah kami dan membaca surat-surat yang saya tulis buat orang tua. Suatu saat usai membaca surat yang saya kirim, ia berkomentar: ” Ini anak kalau besar nanti, bisa jadi penulis, seperti Alex Beding dan Marcel Beding”. Saat liburan orang tua bertanya kepada saya, siapa itu Alex Beding dan Marcel Beding? Saya jawab saya tidak kenal dan tidak tahu siapa mereka. Dan memang saat itu saya tidak kenal sama sekali.
Maka kepada teman saya Ans Gregory saya tetap bilang bahwa saya tidak kenal Pater Alex. Tapi karyanya amat sangat saya kenal sekali, sangat dekat dengan saya dan amat mempengaruhi jalan hidup saya. Namun kalau saya tulis, saya kuatir yang tersaji adalah malah tentang diri saya dan bukan tentang Pater Alex Beding. Menurut saya itu tidak baik. Namun Ans Gregory terus meyakinkan saya bahwa mungkin yang saya tulis itu akan lebih menarik untuk dibaca, karena yang disorot adalah pengaruh karya Pater Alex Beding bagi saya. ”Thom, tulis saja. Kami yang lain adalah bekas siswa Pater Alex di Seminari Mataloko dan anak buah Pater Alex Beding di Dian, pasti tulisan kami rada-mirip, beda dengan yang Thomas tulis” tegas Ans Gregory meyakinkan.
Kisah Dian dan Dua Buku Tua “Pendamai” Saat ‘Patah Arang’
Pernyataan Ans Gregory di atas, bikin saya semalaman coba melambungkan kembali ingatan saya jauh ke tahun 1973 – 1980 saat awal menjejakan kaki di Jakarta. Lewat sebuah permenungan panjang akhirnya saya harus jujur mengakui bahwa tanpa saya sadari, ternyata Pater Alex Beding, SVD, sosok yang tidak saya kenal itu, ternyata sangat dekat dengan saya lewat karya-karyanya. Bahkan karya Pater Alex Beding sangat mempengaruhi hidup saya sampai saat ini.
Akhir tahun 1972, saya lulus seminari menengah San Dominggo Hokeng. Sebelumnya saya melamar untuk masuk biara CSSR (Redemptoris) di Sumba. Pada malam perpisahan, diumumkan frater-frater baru. Ternyata saya termasuk yang tidak jadi frater. Terasa semuanya tiba-tiba jadi gelap. Saya sangat terpukul dan shock. Sama sekali tidak mengerti dan tidak tahu alasan kenapa tidak jadi frater. Pasalnya sejak kecil, cita-cita saya hanya cuma satu, ……….mau jadi imam. Saya tinggalkan ruangan pesta saat acara perpisahan masih berlangsung. Saya bingung dan tak tahu bagaimana harus sampaikan kepada orang tua dan orang sekampung “berita duka” dan tidak diinginkan ini. Mereka semua pasti kaget dan sedih mendengarnya. Dan semakin bingung bagaimana menghadapi “sanksi sosial” yang mau atau tidak, pasti saya akan terima dari orang sekampung, lantaran saya tidak jadi frater. Umumnya orang di kampung hanya punya kesimpulan tunggal sederhana. Dia tidak jadi frater, pasti gara-gara perempuan. Dan lebih gelap lagi, saya tidak tahu, mau jadi apa setelah ini.
Dalam kegalauan tersebut, saya memberanikan diri menemui salah seorang pastor guru pembimbing saya. Paling tidak mengetahui sedikit alasan mengapa saya ditolak jadi frater. Ia malah balik bertanya kepada saya : “Thomas, selama ini kamu merasa dididik oleh SVD tidak? ”Kenapa kamu mau masuk Redemptoris? Tujuanmu tidak murni Thomas. Kamu pilih masuk biara di luar Flores supaya kamu bisa merantau. Supaya bisa ke Sumba, lalu bisa ke Philipina atau ke Jerman ? Coba kalau mau ke Ledalero (SVD) atau Ritapiret (Pr), pasti diterima jadi frater”.
Sebuah pernyataan yang sungguh sangat menohok dan menghujam uluh hati, menyakitkan, dan menggoreskan luka batin teramat dalam. Saya sungguh semakin galau dan stress berat. Sementara ia tajam menatap saya seolah berkata :”Alea jacta est, dadu telah diputar. Saya seolah sedang berhadapan dengan Pilatus yang tegas mengatakan: ”sekali kutulis tetap tertulis !”. Saya hanya bisa membatin: ”Ooo…… mereka didik saya, memperkenalkan semua biara kepada saya, saya disuruh pilih dan menentukan ordo mana yang saya suka. Tapi rupanya diam-diam mereka menggiring saya ke Ledalero atau Ritapiret.” Dengan nada marah tanpa pamit, saya keluar sambil banting pintu kamarnya dengan sangat keras.
Saya coba ke katakombe dalam gereja untuk berdoa. Tapi Tuhan seperti begitu jauh dari saya. Saya lalu ke gua Maria di belakang asrama. Bunda Maria seperti diam saja, tak mau kasih jalan. Hati saya semakin galau dengan seribu satu tanya. Tidak mungkin saya tidak jadi frater karena alasan akademis. Karena alasan kepribadian? Bandel? Nakal? Brengsek? Kepala Batu? Mata keranjang? Atau alasan kesehatan? Semua tak terjawab. Entahlah.
Dalam keadaan putus asa, goncang dan galau, tengah malam saya menghadap Pater Cornelis Vermolen SVD, guru, bapak asrama dan penasehat spiritual saya yang sangat saya hormati selama 7 tahun belajar di seminari. Beliau mengajak saya berdoa. Saya bilang : ”Tidak usah Pater. Tuhan sudah tidak akan dengar apalagi kabulkan doa saya supaya bisa jadi frater. Saya ke sini hanya mau pamit baik-baik dengan pater dan mohon berkat pater. Itu saja.” Kelihatan Pater Vermolen kesulitan dan kehilangan akal menasehati dan menghibur saya. Dalam diam beliau mengambil sebuah buku kecil, dan menyerahkannya kepada saya. “Thomas, bawa buku ini. Semoga bisa membantumu suatu saat nanti.” katanya. Ternyata sebuah buku doa, karya Pater Alex Beding. Judulnya buku sembahyang Bapa Kami.
Malam itu saya tidak bisa tidur sama sekali. Sangat kuatir dan takut jangan-jangan setibanya saya di kampung, orang sekampung sudah pasang tenda dan siapkan pesta untuk menerima saya “frater” barunya. Saya tiba di rumah hari Sabtu, esoknya hari Minggu ada misa di kampung. Saya minta Pater Nicolaas Strawn, SVD, pastor paroki agar saat homili nanti, saya mau sampaikan sesuatu. Dan dari atas mimbar gereja saya umumkan kepada seluruh umat dan pastor paroki, bahwa saya tidak jadi frater, tanpa menyampaikan alasan apapun.
Saya hanya mau, umat tau sendiri langsung dari mulut saya bukan dari orang lain. Isi gereja spontan hening, diam. Kegiatan misa terhenti sejenak. Saya di kampung hanya beberapa hari saja. Walau sempat ditawari jadi guru SMP di kecamatan, saya tolak, karena saya sudah memutuskan ke Jakarta. Di dermaga Pelabuhan Lewoleba, mama hanya kasih pesan singkat : “Jalan baik-baik, jangan pulang dengan bekal yang kamu bawa dari sini“. Setelah tiga bulan di Kupang. Maret 1973, saya sudah di Jakarta. Ternyata saya tiba di ibukota membawa serta kegalauan saya dari seminari. Saya terus dihantui pertanyaan ”Betulkah Tuhan memanggil saya tapi tak memilih saya jadi imam? Ataukah Tuhan memang memanggil saya tapi lamaran saya ke seminari tinggi di luar Flores tidak dikirim, sehingga saya batal jadi frater?
Awal tiba di Jakarta, saya tidak tahu harus buat apa. Dari alam seminari yang hidup serba nyaman dan teratur, saya langsung berhadapan dengan kondisi ibukota yang membingungkan. Nganggur dan tidak kuliah. Untuk bisa kuliah artinya harus kerja. Sementara untuk dapatkan kerja yang diharapkan, persaingan begitu ketat. Harus punya keahlian khusus. Itupun belum jaminan, karena faktor koneksi, duit dan nasib baik masih turut menentukan. Tidak ada jalan lain selain saya harus punya kerja apa saja, punya banyak teman, dan memupuk keahlian. Taman Ismail Marzuki dan Jl. Melawai 10 di Kebayoran Baru jadi tempat nongkrong awal saya untuk perbanyak teman. Di TIM saya mengasah kemampuan menulis ke koran dan majalah. Di Melawai 10 saya boleh kursus bahasa Inggris gratis yang diselenggarakan oleh Mutual Improvement Association (MIA) dari Amerika. Saya memang cepat dapat banyak teman. Bahkan sempat begitu sulit melepaskan diri dari mereka. Dari mereka saya kenal “dunia lain “, berbagai kelompok geng saat itu. Saya bisa nongkrong di Bearland (Berland) di Matraman, di Siliwangi, dekat Lapangan Banteng, di Burita ( Bukit Duri Tanjakan), di Sartana (Sarinah Tanah Abang) hingga Legos. Bahkan berteman dengan preman, jawara dan pencoleng di pelabuhan Tanjung Priok. Untung saya tidak hanyut dan larut dalam “persahabatan” dengan mereka.
Masa nganggur saya isi sebagai papalele, keliling kota Jakarta sebagai tukang jual buku ensiklopedi. Istilah kerennya sebagai “sales agent” pada CV. American Books, PT. Carnaby Agencies Indonesia, memasarkan buku-buku ensiklopedi Americana, The World Book Encyclopedia, The Childcraft, Book of Knowledge dan Catholic Laymans Library, dan Ensiklopedi Britanica. Dapat komisi dan bonus, saya langsung tekuni berbagai kursus ketrampilan seperti Boomzaken dan Shipping, Ekspor Impor, Administrasi Perkantoran, Bahasa Inggris, Jerman dan Belanda, Public Relations dan lain-lain, tak peduli mau jadi apa nanti. Berbekal berbagai ijasah pendidikan ketrampilan tersebut, saya akhirnya bisa bekerja di BUMN Dharma Niaga di Divisi Ekspor Impor dan Urusan Kepabeanan. Tiap hari harus kitari wilayah pelabuhan dan pabean Tanjung Priok dan Cakung, perusahaan pelayaran, gudang dan perbankan serta perusahaan angkutan truck, container dan kereta api barang. Semua kegiatan terpadu, saling kait mengait yang harus dilakukan pada saat hampir bersamaan.
Di tengah hiruk pikuk serta bisingnya suasana pelabuhan Tanjung Priok, terkadang saya merenung. Kok aneh hidup saya. Cita-cita mau jadi pastor kok kerjanya di pabean dan wilayah pelabuhan Tanjung Priok yang terkenal keras dan butuh nyali ekstra. Tiap hari saya berhadapan dengan “zakeus-zakeus“ modern yang bergelimang duit. Semua pekerjaan dan urusan di Pabean dan Pelabuhan bisa mulus kalau ada fulus (baca: duit). Tiap hari berteman baik dengan kuli pelabuhan, petugas gudang, preman, pencoleng dan jawara pelabuhan. Bahkan sering saya gunakan jasa preman, jawara dan pencoleng ini untuk mengawal barang yang saya kirim ke seluruh Jawa. Hampir semua pelabuhan besar di tanah air saya datangi. Juga semua stasiun kereta api barang di Jawa, saya hampiri seperti Sidotopo Surabaya, Lempuyangan Jogya, Balapan Solo, Semarang, hingga Jember, Banyuwangi dan lain-lain.
Dunia saya kini seperti berubah total 360 derajat. Dulu saya disemai di seminari untuk menjadi orang baik dan bisa membawa orang lain ikut jadi baik. Kok kini saya seperti disemai di tengah dunia “zakeus” yang tak peduli dosa, tidak takut akan Tuhan, bahkan tidak takut mati. Suap, sogok, uang pelicin, kiat tipu menipu, memeras dan sejenisnya seperti jadi menu harian. Saya seperti kecebur ke dunia aneh yang tidak pernah saya impikan. Dulu di seminari saya diajarkan bahwa Zakeus itu orang berdosa. Kini saya berada di tengah dunia Zakeus, dan mungkin akan menjadi Zakeus itu sendiri. Walau orang bilang saya kerja di tempat yang “basah” tetapi hati saya ternyata ”kering kerontang”, gersang meranggas seperti kawasan gerong di atas Nobo dan Waidoko yang setiap tahun dilalap jago merah.
Walaupun mulai sibuk dengan pekerjaan, hati saya tetap saja terus terusik dengan pertayaan tak terjawab selama ini ”Kenapa tidak jadi frater? Di depan saudara-saudara yang mengenal saya, saya coba bersikap santun, karena menyandang predikat mantan seminari, namun di belakang mereka……… predikat itu tak berlaku.
Sempat cukup lama tak ke gereja. Kalau tokh ke gereja, hanya supaya dilihat bahwa saya masih katolik. Sikap saya kepada pastor, dingin. Saya seperti sudah patah arang dengan pastor, seminari, gereja dan bahkan……….Tuhan. Sungguh menyakitkan sekaligus menyiksa. Beberapa kawan dari seminari yang sempat ketemu di Jakarta, bilang saya sudah sangat berubah. Katanya “keseminarian” saya sudah luntur, rontok, lumer tak berbekas sama sekali.
Di tengah hati yang masih galau, saya teringat pesan mama saat pamit di dermaga Lewoleba 1973 yang lalu. ”Jangan pulang dengan bekal yang kamu bawa dari sini”. Saya lalu memutuskan untuk kuliah di Atmajaya sambil terus bekerja. Ya, kuliah sekedar memenuhi pesan mama. Kuliah tanpa tujuan yang jelas dan tanpa cita-cita mau jadi apa nanti. Pasalnya hati saya masih sangat hampa, setelah cita-cita jadi pastor gagal total. Bagi saya kuliah hanya sekedar buka dan perluas wawasan berpikir. Itu saja.
Dian Menggiringku Dengan Cara Yang Aneh
Untung ada DIAN dan dua buku yang kini terbilang tua pemberian dan kiriman Pater Cornelis Vermolen, “Bapa Kami” dan “Tuhanlah Gembalaku “karya dua bersaudara Pater Alex Beding dan Marcel Beding, yang jadi teman setiaku dalam menghalau kegalauan. Setiap kali menerima DIAN, saya seperto menerima surat dari kampung, dengan seribu satu kisah dan cerita. DIAN tetap setia menemani saya, saat pergi kerja.Tas kerja saya selalu berisi Dian. Dari sekedar pembunuh rindu, kini telah menjadi “guru”, ”dosen” sekaligus instruktur pemandu paling efektif, yang terus memotivasi dan mengasah kemampuan menulis saya. Sementara satu-satunya orang yang bisa saya kontak per surat hanyalah Pater Vermolen di Hokeng. Ia mengirim saya sebuah buku kecil berjudul Tuhanlah Gembalaku. Ia terus mengisi batin saya dengan nasehat-nasehatnya. Saya rindu bertemu beliau.
Pada tahun 1977 saya cuti ke kampung dan mampir ke seminari Sandominggo, Hokeng untuk ketemu Pater Vermolen. Beliau bilang saya telah banyak berubah. Ia bertanya banyak hal tentang keadaan saya di Jakarta selama hampir 4 tahun berpisah.
Saya cuma bilang: “Saya mau berterima kasih atas kedua buku yang Pater beri kepada saya. Bapa Kami dan Tuhanlah Gembalaku dan mau minta satu hal kepada Pater”. Thomas mau minta apa, tanyanya. “Pater, tolong doakan saya, agar kalau kelak saya menikah, saya bisa menikah dengan seorang gadis yang bukan katolik”. Itu saja Pater.
”Kenapa begitu ?” tanyanya. Saya jawab:” Saya juga tidak tahu Pater. Saya hanya mau calon isteri saya itu bisa saya ajak ke gereja. Dan kalau dia mau dan memutuskan jadi katolik, itu cukup buat saya. Itu saja, Pater”. Beliau hanya diam, lalu memberkati saya, lalu saya pamit.
Pada tahun 1990 saya kembali cuti ke kampung, kami kembali menemui Pater Vermolen di Seminari Hokeng. Saya perkenalkan istri dan puteri saya Stella. ”Pater terima kasih atas doanya yang saya minta tempo hari. Sudah terkabul. Ini isteri saya. Saat kami menikah, ia terima tiga sakramen sekaligus. Baptis, Pernikahan dan Ekaristi Suci. Dan ini Stella puteri saya, sudah dibaptis secara katolik juga”. Sekali lagi terima kasih atas doa Pater bagi saya.
Pada tahun 2003, saat cuti bersama isteri dan putera kami, Patrick, kami kembali mampir ke seminari, untuk pasang lilin di makam Pater Cornelis Vermolen dan Pater William Pop. Dua pastor yang sangat berjasa bagi saya selama saya jadi siswa seminari.
Pater Alex dan Dian “Surat Dari Kampung” Menggiringku Jadi Jurnalis
Saat pertama kali menerima mingguan DIAN pada akhir tahun 1973 saya langsung tertarik. Saya menganggap DIAN ibarat surat dari kampung, obat pembunuh rindu. Seluruh isinya saya lalap habis berulang-ulang. DIAN seolah membawa saya mengembara ke seluruh pelosok NTT. Dari sekedar surat dari kampung pembunuh rindu, DIAN perlahan-lahan turut mengasah kemampuan menulis saya. Pertama kali nama saya terpampang di koran ibukota saya sungguh bahagia.
Setelah bekerja di sebuah BUMN PT. Dharma Niaga, sebagai seorang tenaga ahli boomzaken dan shipping, kebiasaan menulis terus saya lakukan ke majalah maupun koran ibukota. Anehnya saat terima honor tulisan walaupun terbilang sangat kecil, justru jauh lebih membahagiakan saya ketimbang terima gaji dari BUMN atau “uang panas” di Pabean dan Pelabuhan.
Satu-satunya teman pengusir kegalauan saya saat itu hanyalah DIAN. Sambil membaca isinya saya mulai mempelajari seluruh aspek penerbitannya. Dian diterbitkan dengan pembaca yang spesifik. Masyarakat Flores dan NTT di NTT dan berbagai rantau. DIAN sebuah media komunikasi sekaligus pendidikan. Dian mampu membawa pembaca menjelajahi seluruh wilayah Flobamora, memperkenalkan manusia dan budayanya, serta aneka permasalahan yang melilitnya. Secara serius saya mempelajari semua rubrikasi DIAN, hingga ke hal-hal detail seperti teknik menulis dan menyajikan tajuk, berita, feature, artikel, kisah perjalanan hingga penyajian judul.
Muncul ide. Kalau Pater Alex Beding dan rekan-rekan di Dian bisa terbitkan Dian, khusus untuk masyarakat NTT, mengapa saya tidak terbitkan sebuah in house magazine untuk perusahaan BUMN tempat saya bekerja Pegawainya ribuan, tersebar di Kantor Pusat dan 31 cabang di seluruh Indonesia. Pembacanya jelas. Sebagai perusahaan besar, bila disetujui, biaya penerbitan bukan jadi masalah. Tujuannya juga jelas, untuk promosi perusahaan dan produknya, penyuluhan dan motivasi bagi pegawai dan sebagai sarana komunikasi efektif antar Pusat dan Cabang, antar cabang dan antara perusaahaan dan segenap mitra usahanya.
Ide ini saya bawa dan jual ke Direksi. Dirut saya Jenderal Abu Sadikin, kakak kandung Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin, awalnya menolak dengan tegas. “Thomas, ini perusahaan dagang, bukan perusahaan penerbitan. Kita berdagang komoditi bukan jualan majalah,” tegasnya.
Saya tetap ngotot. Media ini merupakan alat komunikasi antar kantor pusat dan cabang, antara atasan dan bawahan dan antar seluruh keluarga besar BUMN ini di seluruh Indonesia. Dampaknya akan positip bila kelak telah menjadi alat motivasi dalam bekerja. Dengan saling mengenal dan menjalin komunikasi yang efektif, perusahaan ini akan kian tumbuh dan berkembang. Lewat perjuangan yang cukup panjang dan tidak gampang ide ini bisa diterima Direksi. Maka lahirlah majalah Swaradharma, dengan oplag 5.000 eksemplar dalam edisi lux, tepat pada hari ulang tahun saya ke-34, 12 Nopember 1984.
Saya harus jujur mengakui bahwa ilmu yang saya pelajari dari Pater Alex Beding dan DIAN secara otodidak, telah melahirkan “Dian Baru” dalam wujud majalah SWARADHARMA. Tidak itu saja. Tanpa saya sadari sejak awal persiapan penerbitannya, saya justru sangat dibantu oleh mantan wartawan DIAN, anak buah Pater Alex Beding di Dian dulu, Sdr .Ans Gregory da Iri, seorang Public Relations Officer PT. Granada Cipta Sarana, yang berfungsi sebagai Editorial Consultan majalah yang saya pimpin ini. Majalah bulanan ini terbit rutin dan bertahan selama 20 tahun, hingga saya pensiun dari BUMN ini tahun 2004. Majalah Swaradharma pernah beroleh penghargaan Departemen Penerangan sebagai salah satu In House Magazine terbaik di Jakarta tahun 1990-an.
In-House Magazine ‘Swaradharma”, Wajah Dian Yang Lain 1984-2004
Sambil menangani majalah Swaradharma, saya mengikuti berbagai pendidikan Public Relations dan mulai merintis dan menangani Public Relations BUMN Dharma Niaga. Saat BUMN ini dimerger bersama 2 BUMN lain, PT Cipta Niaga dan PT Pantja Niaga menjadi PT Perusahaan Perdagangan Indonesia saya tetap menjabat sebagai manager PR hingga pensiun. Tahun 2004.
Bidang PR ikut memperkaya pengalaman menulis saya. Berbagai produk promosi perusahaan seperti brosur, booklet, annual report, buku kenangan perusahaan, video promosi produk dan perusahaan dihasilkan. Bahkan pidato dan sambutan direksi untuk aneka event, jadi tugas spesial saya. Annual Report PT Dharma Niaga tahun 1985 yang saya susun, memenangkan Sayembara Annual Report Antar BUMN se Indonesia yang diselenggarakan oleh Bapepam dalam tahun 1986. Baik Swaradharma maupun Annual Report yang beroleh penghargaan ini, tidak terlepas dari ilmu dari pater Alex Beding, Dian dan orang Dian yang menjadi editorial consultannya.
Dan walaupun saya kemudian menjadi sangat sibuk sebagai PR Manager merangkap Pemimpin Redaksi majalah ini, namun saya sangat menikmati semuanya ini. Ternyata Tuhan telah menulis lurus pada garis hidup saya yang tadinya mulai bengkok. Dari cita-cita awal menjadi pastor, lalu jadi redaktur akhirnya hanya ada satu cita-cita di benak….. saya hanya mau jadi penulis. Terima kasih Tuhan. Hanya Engkau yang mampu menulis lurus pada garis yang bengkok. Terima kasih Pater Alex dan Dian, Tuhan telah menjadikan kalian alatNya dalam merombak jalan dan cita-cita hidup saya. Hanya kepada Dialah kuserahkan pembalasanNya bagimu.
Suatu saat rekan saya Ans Gregory Da Iri mampir ke rumah saya di Bojonggede, Bogor. Matanya langsung tertuju ke ruang kerja dan perpustakaan keluarga yang berdampingan dengan ruang tamu. Rupanya dia tertarik melihat Mingguan Dian yang saya jilid rapi dari No.1 Oktober 1973 hingga 1985, berderet di antara buku-buku dan ensiklopedi, yang memenuhi rak-rak buku seputar ruang kerja saya. Ans seperti ketemu teman lama. Atau lebih tepat ketemu ”anak” yang doeloe ikut membinani kelahirannya.
Saya hanya bilang: ”Ans, anda boleh baca, tapi tidak boleh dibawa pulang”. Memang, 5 bundel DIAN saya jilid rapi. Namun pada tahun 1987, tiga tahun setelah Pater Alex Beding melepas jabatan Pemimpin Umum, majalah DIAN berubah format, menjadi Surat Kabar Mingguan DIAN. Dan pada saat Harian Flores Pos diterbitkan pada tahun 1999, DIAN makin mengecil, menjadi cuma bagian dari Harian Flores Pos hanya menjadi semacam edisi hari Minggu saja. Dan sejak tahun 2006, Mingguan DIAN tidak lagi mengunjungi pembacanya. Setelah berubah format menjadi tabloid, saya tidak jilid lagi, sehingga banyak yang hilang, tercecer atau dipinjam. Dian terakhir yang saya miliki adalah No.4 Tahun XXXV, Minggu 26 Juni 2011.
Awal Juni 2011, saya telpon Pater Charles Beraf ,SVD, Pemimpin Umum dan Penanggungjawab Dian saat itu, untuk mengirim seorang wartawan Dian ke Lembata tanggal 17 Juni 2011, untuk meliput pemberkatan gereja Lewokurang oleh Mgr.Frans Kopong Kung, Pr, teman kelas saya di seminari Hokeng dulu. Dian menurunkan berita berjudul: ”Pemberkatan Gereja St.Yohanes Pembaptis Lewokurang´, di halaman 5.
Saya tidak tahu persis apakah setelah No.4 tahun XXXV ini, Dian pernah terbit lagi atau tidak. Karena pada Juni 2012 saat kami membawa penyanyi Viktor Hutabarat dan isteri serta De Stone Trio untuk konser di Lewoleba, serta memeriahkan Pesta Emas Imamat P. Nicholas Strawn SVD, di Lerek, Lembata, Dian tidak muncul. Yang meliput Pos Kupang, Flores Pos, serta sejumlah media lokal NTT lainnya.
Dengan demikian walaupun secara fisik saya sama sekali tidak mengenal Pater Alex, tetapi DIAN hasil karyanya, setia menemani saya selama tiga puluh lima tahun usianya, sejak no.1 akhir Oktober 1973, hingga No.4 tahun XXXV. 26 Juni 2011. Sebuah usia persahabatan yang tanpa saya sadari telah begitu mempengaruhi karier dan hidup saya hingga saat ini.
Dari Jualan Ensiklopedi Jadi Penulis Ensiklopedi
Sekali lagi saya harus berterima kasih kepada DIAN dan Tuhan. Di tengah kesibukan menangani penerbitan majalah Swaradharma dan Public Relations BUMN ini, ternyata tulisan-tulisan saya mulai dilirik penerbit lain.
Sejak tahun 1988 hingga 1994, saya sungguh berbahagia. Selama enam tahun bersama 400 penulis Indonesia lainnya, saya menjadi penulis buku Ensiklopedi Nasional Indonesia (ENI) yang diterbitkan oleh Cipta Adi Pustaka, Jakarta. Lagi-lagi Tuhan dengan caranya yang tak saya pahami membelokan jalan hidup saya. Dulu saya keliling Jakarta sampai keringat-keringat menjual ensiklopedi-ensiklopedi asing, kini malah menjadi penulis buku referensi bergengsi Ensiklopedi Nasional Indonesia ini.
Saya tidak pernah bermimpi bahwa nama saya akan tercatat dalam deretan penulis kondang negeri ini di Ensiklopedi Nasional Indonesia. Dan lagi-lagi DIAN, benar-benar turut berperan dalam diri dan karya saya. Betapa tidak! Bundel DIAN yang saya jilid rapi sejak tahun 1974 justru menjadi sumber data utama bagi saya, saat saya menulis tentang NTT dan Flores di Ensiklopedi Nasional Indonesia. Entri-entri seperti Komodo, Kelimutu, Pasola, Lopo, Lamalera, Lasiana, Larantuka, Sao Wisata dan lain-lain, tertulis abadi di ENI, sebuah karya besar bangsa Indonesia. Selain Ensiklopedi Nasional Indonesia, Ensiklopedi Jakarta pun muat karya tulis anak kampung Lembata ini.
DIAN, Suara Lembata dan Perjuangan Otonomi Lembata
Saat ENI terbit tahun 1990-an, Kawula Muda Lembata Jakarta minta saya untuk sama-sama menerbitkan majalah Suara Lembata. Majalah ini turut mempromosikan Lembata dari ibukota, sembilan tahun sebelum Lembata jadi kabupaten otonom. Tak kurang Tokoh Pencetus Statemen 7 Maret 1954, Petrus Gute Betekeneng, pada tahun 1994 saat menerima majalah Suara Lembata di Lewoleba, berucap : ”Ama, sejak tahun 1954 saat dicetuskannya statement 7 Maret 1954 di Hadakewa, Lembata seperti diam, tak bersuara. Tapi kini tiba-tiba bersuara dari jauh sekali, jauh dari Jakarta “Tak berlebihan Suara Lembata telah ikut berfungsi sebagai sebuah pelita kecil, dian, dalam turut menghantar Lembata menuju otonominya.
Suara Lembata dan Sinar Lewotana, Ngikuti Pola Dian
Pada saat Rakyat Lembata kembali memperjuangkan status otonominya di tahun 1999, sebagai Anggota Delegasi Gabungan Rakyat Lembata yang diketuai oleh Bapak Brigjen Pol (Purn) Drs Anton Enga Tifaona, saya dipercayakan menangani bidang publikasi dan dokumentasinya.
Dalam kurun waktu 7 Maret 1999 hingga 12 Oktober 1999, berita tetang perjuangan otonomi Lembata ini terus menghiasi lembar-lembar media cetak dan elektronik ibukota, bahkan NTT. Dan DIAN tampil mengiringi perjuangan rakyat Lembata ini lewat sosialisasi dan berita yang disebarluaskannya. Terima Kasih DIAN.
Pada 12 Oktober 1999, majalah Suara Lembata menerbitkan edisi khusus tentang berhasilnya Lembata mencapai status otonominya.
Tunas Nusantara dan Sekolah Jurnalistik
Pengaruh Dian terus berkelanjutan. Dalam tahun 2004 setelah BUMN Dharma Niaga dimerger menjadi PT Perusahaan Perdagangan Indonesia, sebagai PR Managernya kami menerbitkan ITC-Newsletter, sampai saya pensiun tahun 2005.
Sebelum pensiun dari BUMN saya bergabung dengan Yayasan Bina Anak Indonesia (YBAI) dan duduk sebagai Ketua Bidang Media dan Penerbitan. Saya sungguh beruntung bekerja dengan banyak tokoh nasional di yayasan pendidikan ini. Seperti Prof DR Subroto, mantan Mentaben dan Sekjen OPEC, Jenderal Kemal Idris, Dr Maizar Rahman, mantan Sekjen OPEC dan Komisaris Pertamina, Ir Kosim Gandataruna, mantan Dirut PT Aneka Tambang (ANTAM), DR Rozik B. Soetjopto, kini Dirut Freeport dan mantan Menteri PU Kabinet Presiden Abdul Rahman Wahid (GUSDUR) Dr Rahmat Sudibyo, mantan Dirjen Migas, Ir Jeffrey Mulyono, mantan Dirut Berau Coal dan lain-lain.
Di yayasan ini sejak tahun 2002 kami menerbitkan majalah pendidikan bilingual (Indonesia dan Inggris) ”Tunas Nusantara”. Saya dipercaya jadi Pemimpin Redaksinya hingga sekarang. Yayasan pendidikan ini sejak 2002 mendirikan juga SMP dan SMK Plus Lengkong Mandiri. Dan sejak 2007 oleh Pembina Yayasan saya diminta untuk berbagi ilmu menulis dan jurnalistik dengan siswa kedua sekolah ini. Selain sebagai pengajar Ekskul Jurnalistik dan Menulis di kedua sekolah plus ini, pelatihan menulis untuk guru, mahasiswa, fresh graduated serta karyawan perusahaan juga kami lakukan.
Khusus untuk masyarakat Lamaholot (Flores Timur dan Lembata), dalam tahun yang sama 2005, kami menerbitkan majalah Sinar Lewotana untuk masyarakat Lamaholot, dan menjadi pemimpin redaksinya.
Jadikan Menulis Sebagai Panggilan dan Hidup, Bukan Karena Bakat
Tak hanya DIAN memicuku jadi jurnalis dan penerbit majalah. Penerbit Nusa Indah yang banyak menerbitkan banyak buku bermutu, turut memandu dan memotivasi diri saya untuk menjadi penulis buku. Buku-buku terbitan Nusa Indah karangan Prof Dr Gorys Keraf seperti Tatabahasa Indonesia, pelajaran untuk SLTA yang terbit tahun 1970, Komposisi (1971) Eksposisi dan Deskripsi (1981), Diksi dan Gaya Bahasa (1981). Juga buku karangan Harimurti Kridalaksana seperti Fungsi Bahasa dan Sikap Bahasa (1974); (3) Kamus Sinonim Bahasa Indonesia (1974); saya tekuni dengan serius. Bukan untuk menjadi ilmuwan bahasa atau untuk memperoleh sederet gelar, setumpuk ijazah atau sertifikat. Tetapi untuk memoles kemampuan menulis saya, sekaligus memperkaya perbendaharaan pengetahuan saya dalam mengajar Jurnalistik dan Menulis hingga saat ini.
Sejak akhir tahun 1980-an saya mulai menekuni penelitian dan penulisan khusus berkaitan dengan sejarah Jakarta, atau Jakarta Tempo Doeloe. Pada tahun 2003, terbit buku perdana saya tentang Sejarah Jakarta berjudul “Toko Merah, Saksi Kejayaan Batavia Lama di Tepian Muara Ciliwung”. Kata Pengantar oleh Prof Dr Adriaan B. Lapian, pakar maritime LIPI dan sambutan oleh Letjen TNI (Purn) Ali Sadikin, mantan Gubernur DKI Jakarta.
Buku kedua berkaitan dengan Sejarah Jakarta berjuduL ”Si Jagur, Kisah Sejarah dan Legendanya”. Terbit 2013 dengan kata Pengantar JJ. Rizal, Sejarawan Jakarta. Kata sambutan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi). Komentator buku adalah Robert Bala, kolumnis harian Kompas dan Bambang Murtianto, mantan Redaktur Obor Indonesia, kini pemilik sekaligus direktur Penerbit Insan Merdeka.
Sejumlah karya berkaitan dengan Sejarah Jakarta, digunakan oleh Dinas Pariwisata DKI dalam posisi saya sebagai nara sumber sejarah Jakarta untuk Tata Pamer Museum, seperti Museum Bahari. Antara lain Arak Batavia, Bisnis Candu di Batavia, Bisnis Prostitusi di Batavia, Perbudakan di Batavia, Pasar-pasar Tertua di Batavia, Academie de Marine di Batavia, Gerbang Batavia yang Tak Pernah Sampai Di Batavia, Padrao, Monumen Perjanjian Politik Dagang Internasional Pertama di Sunda Kelapa 1522, Ekspedisi Belanda Pertama ke Nusantara, Nahkoda dan Laksamana Asing pertama di Sunda Kelapa dan Batavia, Mata Uang Kuno Nusantara Tempo Doeloe, Mata Uang Asing Kuno Tempo Doeloe, Komoditi dagang Nusantara dan Dunia Sejak Era Sunda Kelapa dan Batavia, Bajak Laut Legendaris Dunia dan Pakaiannya. 7 Pelaut Wanita Terhebat di Dunia, Lamalera, Desa Nelayan Tradisional Penangkap Paus,dan lain-lain.
Selain bekerjasama dengan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta, sebagai nara sumber sejarah Jakarta, juga bekerja sama dengan Yayasan Warna Warni Indonesia ( WWI) pimpinan Ibu Krisnina Akbar Tanjung, khusus untuk buku-buku modul pembelajaran sejarah untuk SMP dan SMA. Atas semua karya tulis dan buku tentang Jakarta Tempo Doeloe ini, pada 6 Juni 2013, saya menerima Penghargaan dari Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta.
Selain buku seri Sejarah Jakarta, juga menulis Buku Emas YBAI (2009) yang diterbitkan oleh Yayasan Bina Anak Indonesia. Juga turut menulis untuk buku Subroto Tak Kenal Lelah (2004), dan Pendidikan Untuk Indonesia Raya, penerbit YBAI 2013. Ikut juga sebagai penulis untuk buku Jejak Karier dan Pengabdian Brigjen Pol (Purn) Drs Anton Enga Tifaona “Bagi Tuhan dan Tanah Air“, Penerbit Padma Indonesia 2009.
Semua karya tulis ini bisa terjadi tentu bukan karena kehebatan saya. Tapi semata karena Kasih Tuhan dan kehebatan Pater Alex Beding dan karya-karyanya yang sangat mempengaruhi cita-cita dan jalan hidup saya sekaligus memandu saya dengan cara yang benar, walau unik dan terkadang tidak saya pahami. Sebuah persahabatan yang “aneh” . Sama sekali tak kenal orangnya, tapi karyanya melekat erat dan menyatu pada diri.
Akan halnya kedua buku panduan doa pemberian Pater Cornelis Vermolen, Bapa Kami dan Tuhanlah Gembalaku karangan Pater Alex Beding dan adiknya Pak Marcel Beding, masih terus saya gunakan sebagai buku pegangan dalam memimpin ibadat bagi umat Paroki Katedral Bogor di Wilayah Bojonggede sejak 1997. Ibadat Jalan Salib Tuhan Jesus dalam buku Tuhanlah Gembalaku hal 283, bahkan menjadi panduan wajib saat membawa umat wilayah berziarah ke Cisantana, Sendangsono, Ganjuran, Rangkasbitung dan lain-lain. Saking meresapnya doa jalan salib ini, sehingga seorang umat, saat tiba di perhentian ke-12 di Puncak Bukit Totombok, Cisantana Kuningan tiba-tiba menangis histeris di depan Salib Kristus berteriak ”Tuhan, kenapa bukan saya yang disalibkan? Kenapa justru Engau,Tuhan?” Sungguh dahsyatnya kekuatan doa yang diramu secara puitis, indah dan mengena oleh Pater Alex dan pak Marcel Beding, seolah kita sedang omong langsung dengan Tuhan sendiri. Demikian juga halnya dengan doa pada hari tutup tahun dan pada hari tahun baru, halaman 260-283, telah jadi doa wajib keluarga dan umat setiap menanti saat-saat pergantian tahun.Ternyata Tuhan benar. Ia memang dulu memanggil saya, tetapi tidak memilih saya menjadi pastor. Cukup menjadi alat kecilnya saja di tengah umatNya di Bojonggede, kawasan Tatar Sunda dimana nama Kristus masih asing.
Saya sungguh berbahagia dan terharu saat bertemu dengan dua teman kelas saya di seminari Sandominggo, Hokeng dulu, di Sakristi Katedral Bogor. Mgr.Frans Kopong Kung, Pr, Uskup Larantuka dengan pakaian kebesaran uskupnya dan DR Bernardus Boli Udjan, SVD dalam balutan kostum liturgi Ekaristi. Saat itu ia menjabat Sekretaris Eksekutif Komisi Liturgi KWI. Kami bertugas bersama dalam perayaan ekaristi. Nadus Pastor, Frans bahkan uskup dan saya, cuma seorang prodiakon, tukang bagi-bagi hosti, layani orang sakit dan lansia selama 20 tahun tanpa jedah. Tapi saya begitu bahagia………karena masih bisa melayani Tuhan dan umatNya secara bersama. Tuhan mempertemukan kami dengan caraNya sendiri. Puji Tuhan.
Sejak Januari 2009, bersama sejumlah rekan mantan seminari yang tinggal di Wilayah Bojonggede, Paroki Katedral Bogor, menerbitkan majalah gereja, Bentara. Saya dipercaya sebagai pemimpin redaksi, disamping tugas sebagai Pembina Wilayah dan Penasehat Lingkungan. Ternyata Tuhan masih terus mau pakai saya sebagai alat-NYA. Pada tahun 2011 saya diminta menjadi Redaktur Pelaksana Tabloid Chatolic Life.
Pater Alex dan Lamalera Bafalofe
Sebuah pengalaman yang sulit saya lupakan adalah di tahun 2016. Saya ikut menulis di bukunya berjudul: “Yang Terpanggil Yang Melayani” memperingati ulang tahunnya ke-90 dimana saya juga menurunkan kisah ini dengan judul yang sama: “Pater Alex Beding, Dua Buku Tua dan Dian, Merombak Total Cita dan Jalan Hidupku”.
Setelah buku ini terbit dan beredar, tiba-tiba saya ditelpon oleh Pater Alex Beding dari Larantuka. Pater bilang beliau sangat menikmati tulisan saya, dan tak menyangka karya-karyanya begitu mempengaruhi cita-cita dan jalan hidup saya. Guru menulis saya ini bahkan mengajak saya untuk ikut menulis di buku berikutnya berjudul “Lamalera Bafalofe”. Sungguh bahagia, guru menulis saya ngajak muridnya yang “tak dikenal” menulis bareng dalam bukunya ini. Sejak itu komunikasi per telpon dengan Pater Alex, sangat lancar dan intens. Yang kami bicarakan lebih banyak tentang penulisan buku dan menulis bagi pembaca. Pater Alex mengisi saya dengan aneka petuah dan petunjuk. Beliau seperti ingin berbagi habis sama saya.
Tanggal 16 Juli 2016 Pater Alex menulis surat kesekian kepada saya tentang penerbitan buku “Lamalera Bafalofe”. Di akhir suratnya yang cukup panjang itu, Pater Alex menulis : ”Ingat Thomas, sekarang keadaan Lembata “Sakit Keras”. Kita harus tampil untuk menunjuk bahwa kita percaya masa lalu yang telah melahirkan kita untuk menjadi Sejahtera, Sehat, Pintar, Suka Kerja, Cinta Damai, Cinta Tuhan dan Cinta Sesama, Cinta Tanah Air dan Cinta Lewotana. Sekian. Salam P.Alex Beding”.
Selama bersahabat akrab dengan Dian sejak Nomor perdana hingga tahun ke 35 penerbitannya Juni 2011, Dian benar-benar telah menjadi pelita kecil tidak hanya bagi masyarakat NTT lewat sajian jurnalistik koki-kokinya di dapur redaksi pimpinan Pater Alex Beding dan penggantinya. Dian juga telah menggiring saya menjadi jurnalis, pengelola majalah dan tabloid serta penulis buku. Dengan demikian cita-citaku menjadi penulis telah, tengah dan akan terus kujalani, karena Dian terus ikut menerangi. Pater Alex dan Pengasuh Dian telah menjadi guru Jurnalistik dan Menulis yang piawai bagiku dengan cara yang unik dan tanpa digaji alias gratis. Pater Alex Beding, SVD telah mengajarkan banyak nilai positif bagi karier dan hidup saya untuk selalu tekun, telaten, professional, disiplin, bekerja keras dan memiliki komitmen yang kuat, fokus pada cita-cita dan ikhlas di dalam pengabdian. Pengaruh Pater Alex dan karyanya telah begitu kuat tertanam dalam diri saya untuk selalu setia pada idealisme menjadi seorang penulis, menjadi orang bermanfaat sekaligus menjadi alat Tuhan bagi sesama.
Dengan demikian, walaupun secara fisik saya tidak mengenal Pater Alex Beding, SVD, dan walaupun Bapak Gerardus Gawi Rebong, puluhan tahun silam konon telah meramalkan bahwa suatu saat nanti saya menjadi penulis seperti Pater Alex Beding, ternyata saya merasa begitu kecil dan tak berarti apa-apa menghadapi “kebesaran” Pater Alex Beding dan kedasyhatan tulisan dan karyanya yang telah berhasil merombak cita-cita dan jalan hidup saya, lewat karya-karya monumentalnya.
Saya semakin sadar bahwa Tuhan memang dulu memanggil saya untuk menjadi calon imam. Tetapi tidak memilih saya menjadi imam.Tuhan rupanya punya rencana lain bagi saya. Dan itulah yang saya jalani selama ini. Doa saya cuma satu.Tuhan gunakan aku sebagai alat-Mu. Itu saja.
Kepiawaian Pater Alex telah begitu banyak Membangun Manusia Pembangun yang berguna bagi sesamanya. Dalam kekecilanku aku mau terus belajar banyak hal dari Pater Alex. Termasuk terus menulis sampai tua, karena pekerjaan menulis ini tak kenal kata pensiun. Terima kasih Pater Alex, hanya kepada Tuhan Yang Maha Kuasa kuserahkan pembalasan-Nya yang terbaik bagimu, Pater.
Sabtu subuh jam 5.00 pagi 12 Maret 2022. Saya dikejutkan dengan berita duka, guru menulisku Pater Alex Beding, SVD telah berpulang ke Rumah Bapa. Meninggal di RS Kewapante dalam usia 98 tahun dua bulan. Lama saya bengong dan bingung tidak tau mau buat apa. Tiba-tiba kehilangan kata, mau ucap atau tulis apa. Teriring deraian air mata yang otomatis turun sendiri, saya cuma bisa berucap: ”Selamat Jalan. Selamat Memasuki Kebahagiaan Abadi di Surga Tuhan. Imam Pertama Tanah Lembata, Tokoh Pendidik Pembentuk Manusia Pembangun, Tokoh Pelopor Pers NTT, Rasul Pewarta Sabda dan Guru Menulisku, Pater Alex Beding SVD. Doaku mengiringi perjalanan Pater masuk ke Rumah Bapa Surgawi. Selamat menikmati Kebahagiaan Abadi Surgawi, Inspirasiku, Guruku, Pahlawanku. (***)
Penulis, Anak Kampung Lembata, tinggal di Bogor.
Tulisan dengan judul yang sama telah dimuat di buku Pater Alex Beding berjudul : ”Yang Terpanggil Yang Melayani’.