Ilustrasi Pemilu
KONSTITUSI merupakan hukum dasar yang dijadikan landasan dalam penyelenggaraan suatu negara. UUD 1945 adalah hukum dasar tertulis negeri ini yang wajib dijalankan secara konsisten, termasuk menyangkut penyelenggaraan pemilihan umum.
Pasal 22E ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa pemilu dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali. Sangat tegas disebut bahwa pemilu dilaksanakan setiap lima tahun sekali, tidak kurang dan juga tidak lebih dari lima tahun.
Semua upaya mempercepat atau menunda pemilu adalah perbuatan yang bertentangan dengan konstitusi atau inkonstitusional yang harus dicegah. Sejak Reformasi 1998 sampai saat ini, Indonesia konsisten menyelenggarakan pemilu setiap lima tahun.
Sudah lima kali digelar pemilu selama Reformasi sejak Pemilu 1999. Selama itu pula, para elite politik negeri ini sangat tertib berpikir dan tertib bertindak untuk selalu selaras dengan konstitusi.
Menyambut Pemilu 2024, segelintir elite politik, lebih khusus lagi sejumlah ketua umum partai politik, mulai tergoda bahkan sampai tergelincir mewacanakan penundaan pemilu sampai 2027. Argumentasi penundaan itu di luar nalar waras.
Ada yang menyebut bahwa penundaan pemilu merupakan masukan dari kalangan pengusaha dan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah. Pemilu ditunda satu atau dua tahun agar momentum perbaikan ekonomi ini tidak hilang dan kemudian tidak terjadi pembekuan ekonomi untuk mengganti stagnasi selama dua tahun masa pandemi.
Ada pula elite politik yang mengusulkan perpanjangan masa jabatan presiden hingga 2027 atau bahkan 2028 sesuai aspirasi para petani sawit di salah satu kabupaten.
Harus tegas dikatakan bahwa apa pun alasannya, menunda pelaksanaan Pemilu 2024 adalah melanggar konstitusi. Jika memang mau menunda pemilu, tentu terlebih dahulu mesti mengubah konstitusi. Seharusnya, tugas elite politik untuk meluruskan kembali pikiran yang tidak sejalan dengan konstitusi di dalam masyarakat.
Lebih berbahaya lagi jika penundaan pemilu itu sejatinya keinginan pribadi elite yang dikemas sebagai kemauan kelompok masyarakat. Sebab, survei Indikator Politik Indonesia pada akhir Desember 2021 menunjukkan mayoritas publik (67,2%) setuju pemilu tetap digelar pada 2024. Sebanyak 58% publik juga tak setuju masa jabatan Presiden Jokowi diperpanjang.
Presiden Jokowi sendiri, dalam berbagai kesempatan, sudah berulang kali menolak wacana perpanjangan masa jabatannya. Wacana perpanjangan masa jabatan, menurut Jokowi, ingin menampar mukanya, ingin mencari muka, atau ingin menjerumuskannya.
Patut diduga, usulan penundaan pemilu itu semata-mata untuk kepentingan elite politik itu sendiri. Bisa jadi, pemilu diusulkan ditunda karena elektabilitas yang terekam dalam berbagai hasil sigi masih nol koma.
Kita bersyukur karena masih jauh lebih banyak elite politik yang tegak lurus dalam perkataan dan perbuatan untuk menjalankan konstitusi. Mereka tidak setuju jika pemilu diunda.
Bangsa ini sangat membutuhkan elite politik yang tetap tegak lurus menjalankan konstitusi. Elite yang satu kata dengan perbuatannya. Apalagi, ketua umum partai politik yang mengusulkan penundaan pemilu justru sudah terikat dengan kesepakatan fraksinya di DPR.
DPR RI, pemerintah, dan penyelenggara pemilu pada 24 Januari 2022 sepakat bahwa penyelenggaraan pemungutan suara pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden, anggota DPR RI, DPRD provinsi, DPRD kabupaten/kota, serta anggota DPD RI dilaksanakan pada hari Rabu, tanggal 14 Februari 2024.
KPU pun, pada 14 Februari 2022, sudah secara resmi meluncurkan hari pemungutan suara Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024. Dengan peluncuran itu, tahapan pemilu juga dimulai. Hendaknya KPU tetap konsisten menyiapkan dan menjalankan tahapan pelaksanaan Pemilu 2024. Sudah saatnya para elite tidak melontarkan wacana yang malah menganggu persiapan Pemilu 2024. (e-mi/jdz)