Semoga Lembata Tidak Menjadi Kabupaten ‘Kerdil’

by -550 views

Wawancara Eksklusif dengan dr. Slamet Erikson Sitinjak (1)

Oleh Dr. Justin L. Wejak
Anak Desa Lewokukung-Baolangu, Lembata, Dosen Indonesian Studies di the University of Melbourne, Australia.

DOKTER Erik, demikian ia disapa, sempat saya wawancarai. Wawancara itu berlangsung secara virtual pada Selasa 26/10/2021 dan Rabu 27/10/2021, berfokus pada pandangan dan pengalaman Dokter Erik bekerja di Puskesmas Waiknuit, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata.

Wawancara terinspirasi oleh pemberitaan Portal berita mediantt.com tertanggal 25 Oktober 2021 mengenai stunting di Kabupaten Lembata. Menurut laporan media itu, Bupati Lembata Dr. Thomas Ola Lagoday, melihat persoalan stunting sebagai persoalan serius yang perlu segera ditanggulangi. Selain itu, ada pula tulisan tentang stunting di media-media lain misalnya di surat kabar Kompas tertanggal 3 Mei 2021 bertajuk, Menko PMK Apresiasi Penanganan Stunting di NTT; dan di koran berbahasa Inggris The Jakarta Post tertanggal 18 Juni 2021 dengan judul, Battling stunting in East Nusa Tenggara: Healthcare and knowledge access.

Usai membaca berita-berita koran itu saya lantas segera menghubungi Bupati Lembata untuk meminta ijin sekaligus rekomendasi dari beliau tentang siapa bisa saya hubungi untuk tujuan wawancara. Pak Bupati pun serta merta mengirim dua nama: Dokter Hewan selaku Kadis Kesehatan Lembata dan Dokter Erik dari Puskesmas Waiknuit. Tanpa menunda-nunda waktu saya langsung menghubungi keduanya dengan tiga pertanyaan awal terkait jumlah penderita stunting, penyebab stunting, dan upaya penanggulangan.

Menurut Dokter Erik, jumlah penderita stunting di Kabupaten Lembata per Agustus 2021 sebanyak 1804 bayi. Data terbaru Kadis Kesehatan Lembata pun membenarkan angka itu.

Lebih lanjut, Dokter Erik menjelaskan, penyebab stunting di Kabupaten Lembata antara lain: masih adanya Bumil KEK (kekurangan energi kronis pada ibu hamil), kehamilan remaja, kurangnya asupan gizi, pola asuh yang tidak benar, dan masih rendahnya perilaku hidup bersih dan sehat oleh karena masih sulitnya akses untuk mendapatkan air bersih.

Terkait upaya penanggulangan stunting di Lembata, Dokter Erik berpendapat, yang sudah dilakukan adalah memberikan tablet tambah darah kepada remaja dan ibu hamil, PMT (Pemberian Makanan Tambahan) bagi ibu hamil dan bayi yang kekurangan gizi, memantau pertumbuhan anak pada saat penimbangan di Posyandu setiap bulan, dan mengonsumsi daun kelor karena dinilai bergizi tinggi.

Sementara itu Kadis Kesehatan Lembata ketika dihubungi cuma berkomentar pendek bahwa sudah ada desain untuk menurunkan angka penderita stunting. Seperti apa desainnya tidak dielaborasi.

Tanggapan cepat dan terinci Dokter Erik mendorong saya untuk tahu lebih banyak tentang dirinya. Ia sepakat untuk diwawancarai lebih lanjut tentang pandangan dan pengalaman kerjanya di Lembata, sebuah kabupaten ‘tertinggal’ menurut standar nasional. Koran Tempo tertanggal 8 Mei 2020 melaporkan hal itu dalam tulisan berjudul, Jokowi tetapkan 62 daerah tertinggal, terbanyak di Papua.

Berikut petikan hasil wawancara selengkapnya dengan Dokter Erik.

Justin: Kapan dan mengapa Pak Dok ke Lembata?

Dokter Erik: Saya awal ke Lembata karena lulus penerimaan Dokter PTT Program Kemenkes periode Mei 2014. Saya mengikuti program PTT (Pegawai Tidak Tetap) karena ingin lebih banyak terjun langsung ke Masyarakat dari pada diam di Klinik dengan upah yang terbilang kecil.

Justin: Ceritakan sedikit tentang kesulitan-kesulitan di saat-saat awal berada di Lembata.

Dokter Erik: Kesulitan saat awal-awal saya tiba di Lembata adalah di tempat penugasan saya pada tahun 2014 di mana listrik masih menggunakan Tenaga PLTD yang kadang-kadang hidup, kadang tidak; kalau pun hidup hanya bertahan 3 jam. Beruntung saya bawa persiapan dari daerah asal saya (baca: Sumatera Utara) sebuah Lampu Emergensi yang sangat bermanfaat bukan hanya untuk digunakan sehari-hari, tetapi kadang-kadang juga digunakan untuk pelayanan pasien di malam hari bila ada pasien darurat atau persalinan.

Saya juga mengalami kesulitan dalam mendapatkan air buat mandi dan cuci pakaian dan peralatan. Tidak jarang saya harus bawa kain kotor ke kota Lewoleba untuk saya cuci atau harus cari air dari desa tetangga. Sedangkan untuk kebutuhan air minum saya biasa membeli air kemasan mineral dari kota.

Sinyal jaringan komunikasi juga demikian, sinyal hilang timbul; kalau pun ada hanya bisa buat telpon biasa, sedangkan untuk akses internet masih sangat sulit.

Justin: Apakah Pak Dok merasa betah, at home, di Lembata khususnya di Kalikasa? Jika Ya, apa yang justru membuat Pak Dok merasa betah? Dan jika tidak, mengapa tidak?

Dokter Erik: Saya cukup betah tinggal di tengah-tengah masyarakat khususnya di wilayah kerja saya ATADEI. Bahkan sedari awal penempatan saya sudah tinggal dan menginap di rumah dinas yang sudah disediakan. Saya tidak canggung sekalipun saya orang asing di sini karena saya merasa bahwa kita akan baik-baik saja selama niat, tujuan kita juga tulus untuk berbuat baik.

Dalam perjalanan sampai hari ini tidak sekalipun saya pernah meminta untuk segera dipindahkan dari tempat ini.

Yang membuat saya semakin betah lagi karena saya sudah hidup berkeluarga dan hidup dengan nyaman bersama masyarakat di lingkungan saya; saya tidak merasa asing seklipun saya orang asing bagi mereka.

Justin: Bolehkah Pak Dok bercerita sedikit tentang isu-isu kesehatan apa yang (paling) mencekam di Lembata? 

Dokter Erik: Isu-isu kesehatan yang paling mencekam mungkin masih tingginya angka kematian bayi dan ibu bersalin yang juga menjadi prioritas bukan hanya Lembata tapi untuk seluruh wilayah NTT.

Justin: Kira-kira kendala-kendala apa saja dalam pelayanan kesehatan publik di Lembata? Misal, terkait pandangan dan kepercayaan masyarakat tentang praktik-praktik gaib, fasilitas kesehatan, dll.

Dokter Erik: Kendala yang sering dialami dalam pelayanan kesehatan terkait pandangan dan kepercayaan masyarakat biasanya terjadi pada saat pengambilan keputusan untuk rujukan pasien. Masih ada penolakan karena menganggap penyakit itu karena ada kesalahan dalam rumah atau suku sehingga harus diselesaikan secara adat atau dengan seremoni sehingga pasien tidak jadi dirujuk. Dan proses pengambilan keputusan yang terlalu rumit untuk setuju atau tidak untuk dirujuk karena masih harus dibicarakan dalam keluarga atau masih menunggu keluarga yang kadang-kadang datang juga sudah terlambat.

Justin: Setelah sekian tahun berada di Lembata, kira-kira pengalaman apa yang paling menyenangkan Pak Dok? Dan adakah pengalaman tertentu yang membuat Pak Dok ingin pulang ke Sumut?

Dokter Erik: Pengalaman yang paling menyenangkan menurut saya adalah bisa melayani masyarakat, mengetahui langsung kondisi riil kehidupan masyarakat dan menjangkau mereka yang sangat jauh/terisolasi. Di sini saya berpikir bahwa saya masih berguna ada di tengah-tengah mereka yang membutuhkan.

Tidak lupa juga saya ikut bangga bisa bersama teman-teman yang ada di Puskesmas, ikut mengantarkan Puskesmas Waiknuit menjadi Puskesmas Terakreditasi Madya sehingga pelayanan yang ada semakin berkualitas dan manfaatnya benar-benar dirasakan oleh masyarakat khususnya Atadei. Tidak jarang Puskesmas Waiknuit dijadikan tolok ukur bagi Puskesmas lain.

Untuk keinginan pulang ke Sumut, hal ini sering ditanyakan oleh keluarga maupun rekan kerja. Untuk saat ini saya belum berpikir untuk kembali ke Sumut selagi tenaga saya masih dibutuhkan dan saya masih diterima dengan baik oleh masyarakat sehingga saya bisa tinggal dan hidup bersama-sama dengan nyaman.

Keluhan yang sering muncul bagi saya dan teman sejawat dokter lainnya mungkin karena masih sangat kurangnya perhatian pemerintah terhadap kita terlebih setelah kita memutuskan menjadi PNS di sini. Insentif yang rendah dan kesejahteraan yang kurang juga menjadi salah satu indikator kenapa tenaga dokter masih sangat kurang di Lembata. Beberapa kali dibuka lowongan PNS tapi pelamar sangat kurang. Sebagai contoh, kita merasa dulu sebagai dokter PTT (Pegawai Tidak Tetap) dari Kemenkes kita lebih sejahtera dibanding saat ini setelah jadi PNS.

Demikian wawancara singkat dengan dr. Slamet Erikson Sitinjak dari Puskesmas Waiknuit, Kecamatan Atadei, Kabupaten Lembata. Mudah-mudahan apa yang disampaikannya berguna bagi masyarakat, para praktisi kesehatan dan pemerintah baik di tingkat daerah maupun pusat. Terima kasih kepada Dokter Erik yang telah meluangkan waktunya berbagi pandangan dan pengalaman kerjanya di Lembata. ***


Keterangan Foto : Dokter Slamet Erikson Sitinjak saat merawat anak yang sakit di Puskesmas Waiknuit. (Foto koleksi dr Slamet)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *