Berlayar ke Lautan Lain, Mengenang 70 Tahun Pater Alex Beding SVD

by -376 views

Oleh : Pater Dr Pice Dori Ongen, SVD
Dosen STFK Ledalero, Maumere, Flores.

ALEX Beding, pastor Serikat Sabda Allah (SVD) tertua di Indonesia merayakan ulang tahun imamat ke-70, pada 24 Oktober 2021, di biara Simeon Ledalero, Flores, NTT. Dalam wawancara langsung, Yubilaris yang ditahbiskan di Nita, Maumere, Flores, 24 Oktober 1951 itu tak henti-hentinya melambungkan syukur dan pujian kepada Tuhan Sang Pemanggil abadi atas anugerah imamat.

“Memperingati hari tahbisan ke-70 ini hati saya penuh dengan pujian dan syukur yang ikhlas kepada Tuhan, karena Dialah yang memanggil saya dan bersama Dia melaksanakan misi-Nya.”

Tidak hanya itu, rasa syukur ini tersusun jelas dan rapi dalam baris-baris kalimat, tulisan tangan adik kandungnya, Macel Beding, wartawan Kompas dan tokoh nasional. Dalam sebuah buku kecil, setebal 25 halaman, imam sulung pulau Lembata itu menulis dengan rasa kagum, “Bahwa saya boleh mencapai usia yang tinggi sebagai imam dalam hidup adalah bagi saya sesuatu yang luar biasa.” Dua adik kandungnya, Pastor Bosco Beding SVD, imam pernah menjadi anggota Lembaga Sensor Film dan Sr Benedikta, SJ, biarawati Katolik.

Kegembiraan itu dihayatinya secara luas dan terbuka. Artinya tak terbatas hanya untuk dirinya sendiri. Sukacita karena 70 tahun imam bagi putra kelahiran Lamalera, Lembata itu semata-mata adalah ramat Allah. Karena itu kegembiraan luar biasa berlaku untuk siapa saja; kaum keluarga, para sahabat kenalan, umat Allah di mana pun berada, dan bahkan para pendidik dan pemimpin.

Pastor kelahiran 13 Januari 1924 itu menjelaskan bahwa untuk tiba pada usia imamat sekian sepuh itu bukan semata-mata jasanya. Menegaskan sikap kerendahan hatinya, putra kampung nelayan Lamalera ini sungguh yakin bahwa seperti para rasul Yesus waktu itu, dirinya juga adalah hasil doa Yesus. Karena itu menjadi imam bukanlah alasan untuk bermegah.

Menjelaskan hal ini, pendiri majalah Kunang-Kunang di Penerbit Nusa Indah Ende itu mengutip kata-kata Santo Agustinus beberapa abad lalu tentang hakikat imamat. “O, imam betapa kau berkuasa oleh rahmat imamat; padahal kau hanyalah nihil!” Dari sudut rahmat, sebetulnya seorang imam, pelayan Tuhan bukanlah apa-apa. Tapi biar bagaimana pun, bersyukur pada usia imamat setinggi ini bukanlah hal sekunder.

Jebolan Fakultas Bahasa dan Sastra Universitas Gadjah Mada itu sangat jelas mengekspresikan syukur dalam karya tulisnya beberapa tahun terakhir. Pada hari ulang tahun SVD Indonesia ke-100 pada 2013, imam angkatan ketujuh Seminari Tinggi Santo Paulus Ledalero ini mengenang karya pendidikan sebagai harta paling berharga dalam dirinya. Jelasnya, “Tulisan kecil ini hanyalah sebuah sharing bernada syukur di dalamnya saya mau melihat titik-titik sentuhan, di mana kongregasi misioner SVD telah menerima diriku yang kecil dan hina ini untuk dibina dan dibentuk menjadi seorang anggotanya dan melibatkan saya juga dalam karya perutusan.”

Syukur tak terhingga didasarkan atas dua hal. Pertama, untuk satu masa lalu dan masa kini yang sarat kemajuan di bidang pendidikan, teristimewa pendidikan calon imam misionaris. Kedua, untuk suatu perutusan yang masih sarat buah, juga di usia senja sekalipun.

Syukur Untuk Karya Pendidikan

Ada dua peristiwa besar yang menandai kelahiran imam sulung pulau Lembata ini. Alex lahir ketika dalam gereja Katolik, Ensiklik Maximum Illud, baru berumur 5 tahun sejak pengumumannya 30 November 1919 oleh Paus Benediktus XV di Roma. Dokumen resmi ini dikenal juga sebagai magna carta keterbudakaan gereja kepada dunia. Lewatnya Paus menetapkan pendidikan imam pribumi dalam gereja Katolik di seluruh dunia, dengan kualitas yang sama seperti di Eropa.

Pada 1920, setahun sesudah ensiklik itu, SVD menyelenggarakan Kapitel Umum istimewa. Serikat yang sejak kematian pendiri Arnoldus Janssen, cenderung berkiblat ke Eropa dalam hal pendidikan para misionaris itu, bertekad untuk membuka diri kepada semua bangsa dan kebudayaan di dunia. Serikat Jerman yang berdiri di atas tanah milik Belanda itu resmi menjadi serikat internasional.

Pada tahun yang sama, misionaris SVD Pater Bernardus Bode, SVD tiba di Lamalera, Lembata. Dari tangan misionaris ini, Alex Beding menerima pembaptisan. Inilah langkah awal orang seasal Prof Dr Gorys Keraf itu mengikuti suara Tuhan, meninggalkan pekerjaan nelayan dan pergi menjadi penjala manusia di ‘lautan lain’ .Angin segar keterbukaan membawa konsekuensi berarti bagi gereja Indonesia yang waktu itu masih sangat eurosentris.

Hampir semua misionaris datang dari Eropa sehingga terkesan iman pun didatangkan dari benua putih itu. Seminari dan panti pendidikan imam pun hanya terpusat di Eropa. Makanya ketetapan Maximum Illud waktu itu dirasakan sama sekali baru. Bisa dibayangkan sikap awal keterbukaan para pionir untuk menerima, menyambut, dan hidup bersama dengan putra-putra Flores dan Timor yang datang dari kampung dan masih sangat sederhana dalam cara hidup.  Satu konsekuensi berdampak langsung pada Yubilaris Alex Beding.

Pada 1926, hanya dua tahun sesudah kelahirannya seminari pertama di Nusa Tenggara didirikan di Sikka dekat Kota Maumere. SVD yang baru berusia 13 tahun dipercayakan oleh uskup untuk mengelola dan menanganinya. Penerimaan dan bimbingan bagi para calon segera diterapkan. Seminari muda ini kemudian dipindahkan ke Mataloko dan berubah menjadi seminari Santo Yohanes Brechmans Todabelu. Pada 1936 Alex Beding, yang sudah berada di bawah didikan SVD di kota Larantuka, diterima masuk ke seminari yang sama bersama 11 temannya oleh Uskup Henricus Leven, SVD.

Dengan penuh syukur imam yang menyaksikan berdirinya Seminari Tinggi Ledalero sejak awal itu berterima kasih kepada lembaga pendidikan yang sama, kepada Seminari Mataloko; kepada SVD yang telah menerima dirinya dan membimbingnya berlayar ke ‘lautan lain’ serta kepada banyak umat Allah yang telah mendukung dengan banyak doa dan perhatian nan ikhlas.

Perutusan Yang Sarat Buah

Kiranya tidak berlebihan mengulangi kata-kata pemazmur, pendoa dengan semangat khas orang Yahudi berikut ini dan mengenakannya pada figur Alex Beding, “Pada masa tuapun mereka masih berbuah” (Mazmur 92,15). Ibarat seorang nelayan yang tinggalkan kampung, Alex berlayar masuk ke ‘lautan lain’, menjadi penjala manusia. Panggilan misionernya langsung ditandai dengan perutusan untuk belajar bahasa dan sastra pada 1952 di UGM, Yogyakarta dan kemudian dilanjutkan ke Universitas Indonesia. Setelah pengembaraan akademis berakhir, pelbagai tugas dan tanggung jawab tinggi diembannya.

Putra pertama dari 12 bersaudara itu pernah menjadi pengajar dan pendidik di seminari Mataloko. Dalam komunitas internasional yang terbiasa dengan figur kepemimpinan orang Eropa, Alex pernah menjadi rektor pribumi pertama. Dari tangan Mgr Gabriel Manek, SVD, uskup pribumi pertama di Nusa Tenggara, Alex menerima jabatan itu dan menjalankannya dengan baik pada 1960-1965.

Dalam bidang komunikasi, matra khas Serikat yang dipilihnya, Alex meninggalkan jejak kentara. Dia dikenal sebagai pendiri penerbitan Nusa Indah Ende. Tujuannya untuk menyebarkan buku-buku dan majalah seperti DIAN, dan majalah bulanan anak-anak KUNANG-KUNANG. Pengalaman unik, darinya Alex belajar berlayar ke ‘lautan lain’ nan luas, dialaminya dalam perjalanan pulang dari kursus penyegaran di Eropa. Alex berkesempatan merayakan Ekaristi dan berkotbah dalam bahasa Belanda di depan televisi negeri itu.

Suatu kesempatan istimewa untuk boleh berbicara di depan publik luas, tanpa pembedaan agama. Pada usianya yang ke-97 Alex terus giat dan aktif menulis artikel dan buku. Dengan cara ini, dia menyebarkan Injil dan melayani kebutuhan masyarakat luas dalam hal pengetahuan dan kebenaran. Selain menyiapkan tulisan khusus mengenang 70 tahun imam, pastor yang pernah mengunjungi Tanah Suci Yerusalem itu menulis buku tentang peran Bunda Maria dengan teologi dan spiritualitas akar rumput.

Tapi untuk apa terus menyumbang di usia senja? Dengan terus berkontribusi, Alex ingin membantu orang-orang seusianya; para orangtua, di rumah istirahat atau rumah pribadi, mewujudkan pesan Paus Fransiskus, untuk melihat masa lansia sebagai berkat bagi gereja, nusa dan bangsa.

Sumber: https://m.mediaindonesia.com/opini/442167/berlayar-ke-lautan-lain-mengenang-70-tahun-pater-alex-beding-svd

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *