Oleh : Yeremias Jena
Putra Lembata, bekerja sebagai dosen Filsafat dan Etika di Unika Atma Jaya, Jakarta.
WACANA presiden tiga periode sudah ditolak pihak-pihak terkait, bahwa selain kontra konstitusi, mengakomodasi satu tokoh yang dinilai baik dan berprestasi sebagai alasan pembenar kekuasaan dapat membahayakan masa depan demokrasi di Indonesia. Roh pembatasan kekuasaan dua periode sebagaimana diamanatkan UUD 1945 tidak semata-mata soal pembatasan kekuasaan per se, tetapi juga soal regenerasi dan kaderisasi calon-calon pemimpin nasional. Presiden Jokowi sendiri menentang rencana amandemen UUD 1945 untuk mengegolkan rencana presiden tiga periode sebagai “menampar muka saya sendiri”.
Tetapi bagaimana kita bisa membaca aspirasi sebagian kecil masyarakat, sebut saja warga Nusa Tenggara Timur yang menginginkan Presiden Jokowi tiga periode? Ketika mengunjungi daerah terdampak bencana alam di Adonara dan Lembata, beberapa warga tidak hanya mendoakan kesehatan Jokowi. Mereka juga berteriak agar Jokowi jadi presiden tiga periode. Viktor Laiskodat, Gubernur NTT, mengakui adanya aspirasi ini, tetapi sekaligus juga menegaskan bahwa itu tidak sesuai konstitusi.
Masalahnya, apakah aspirasi sebagian kecil masyarakat itu tidak lebih dari sebuah wishful thinking yang harus diabaikan? Dalam konteks warga NTT, mengapa aspirasi ini muncul? Apakah aspirasi semacam ini tidak perlu dianggap serius karena bertentangan dengan konstitusi? Atau, jangan-jangan aspirasi ini justru sedang menyingkapkan sebuah realitas sosio-politik yang lebih fundamental?
Melampaui Kepemimpinan Legal
Bagi saya, mengabaikan aspirasi ini sama saja dengan mereduksikan diskursus politik pada aspek legalitas. Benar bahwa legitimasi legal-demokratis adalah dasar penjustifikasi bagi kekuasaan Presiden Jokowi. Bahwa Jokowi telah dipilih secara demokratis dalam sebuah pemilihan umum langsung. Dan bahwa Jokowi terikat pada durasi kekuasaan yang secara legal adalah dua periode maksimal.
Dari perspektif etika politik, justifikasi kekuasaan hanya berdasarkan legitimasi legal bukanlah prasyarat kekuasaan yang memadai. Pertanyaan soal mengapa seorang penguasa pantas dipilih kembali untuk periode kedua dapat dijawab, antara lain, dengan merujuknya pada legitimasi etis kekuasaan. Artinya, seorang penguasa pantas dipercaya kembali memimpin di periode kedua karena keberhasilannya merealisasikan kekuasaan secara legitim, baik etis maupun legal.
Jika disepakati bahwa perwujudan keadilan sosial adalah dimensi etis yang paling berkorelasi dengan legitimasi kekuasaan etis, maka harus dikatakan bahwa Presiden Jokowi – fakta bahwa dia terpilih lagi untuk periode kedua – tidak sekadar bertindak legal dalam menjalankan kekuasaannya, tetapi juga bertindak etis.
Konkretnya, Jokowi telah berupaya keras mewujudkan keadilan sosial, dan itu sungguh dirasakan masyarakat. Berbagai survei kepuasaan warga atas kinerja pemerintahan Jokowi membenarkan hal ini. Dalam arti itu, bagi saya, kekuasaan Jokowi tidak hanya terjustifikasi secara legal, tetapi juga etis. Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa Jokowi telah melampaui kekuasaan legal menuju kekuasaan etis.
Makna Aspirasi Warga
Dalam konteks inilah hendaknya aspirasi warga terhadap tiga periode kekuasaan Presiden Jokowi seharusnya dimaknakan. Saya mengusulkan tiga perspektif sebagai bahan pertimbangan. Pertama, amandemen UUD 1945 hanya untuk mengakomodasi seorang penguasa yang saat ini memang baik justru berpeluang menjadi slippery slope bagi praktik politik ke depan. Apa jadinya jika kekuasaan tiga periode jatuh ke tangan penguasa yang tidak pernah berhasil merealisasikan kekuasaan etis, tetapi mampu mempertahankannya hanya berdasarkan sentimen-sentimen primordial-rasial tertentu? Dalam arti itu saya termasuk dalam kelompok yang menolak amandemen UUD 1945 hanya demi memperpanjang kekuasaan Presiden Jokowi.
Kedua, aspirasi sebagian warga negara seperti orang NTT itu justru menjadi imperatif bagi partai politik dan kelompok-kelompok kewargaan untuk memunculkan calon-calon pemimpin yang berpotensi merealisasikan kekuasaan politik yang legal dan etis. Sejalan dengan ini, publik sebenarnya juga berharap agar Jokowi menyatakan semacam dukungannya terhadap tokoh/sosok tertentu. Argumen bahwa proses demokrasilah yang akan memunculkan sosok/tokoh calon pemimpin tidak selamanya benar, terutama jika kultur politik yang dianut partai-partai politik di Indonesia dipertimbangkan secara serius. Endorsement Jokowi atas tokoh/sosok tertentu justru dapat bermakna ganda. Di satu pihak, dukungan ini adalah sebentuk keinginan untuk memastikan estafet kekuasaan dan keberlanjutan pembangunan yang sudah dimulai selama sepuluh tahun kepemimpinan. Di lain pihak, endorsement ini dapat menjadi kekuatan pendobrak atas kultur partai politik yang atau mendukung dinasti politik dan/atau oligarki politik, atau memunculkan calon-calon pemimpin di menit-menit terakhir menjelang pemilihan umum.
Ketiga, dalam konteks aspirasi sebagai rakyat NTT, legitimasi etis kekuasaan Jokowi tidak hanya terbatas pada upaya dia mewujudkan keadilan sosial di wilayah itu (bendungan-bendungan dan infrastruktur menjadi rujukannya). Lebih dari itu, kepemimpinan Jokowi menegaskan pentingnya pemimpin yang inklusif, multikulturalis, dan nasionalis. Dalam sejarah berdirinya RI, elemen-elemen yang disebutkan terakhir inilah yang menjadi argumen kontra dan daya tawar terhadap ditetapkannya “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta di tahun 1945.
Pada akhirnya, wacana kekuasaan tiga periode harus dimaknakan sebagai hasrat untuk melahirkan calon-calon pemimpin NKRI yang legitim secara legal-formal, tetapi juga secara etis, dalam arti mewujudkan keadilan sosial, menjadi pemimpin bagi semua orang, merangkul, inklusif, dan nasionalis. Sosok kepemimpinan seorang Jokowi telah menginspirasi lahirnya mimpi-mimpi ini. (***)