Drs. Petrus Seran Tahuk
Kupang-Dili-Darwin bakal didesain menjadi Kota Kembar Tiga di selatan Katulistiwa. Kohesi sosial warga tiga kota ini amat kental karena sudah lama saling kenal. Karena itu, Badan Pengelola Perbatasan Daerah Provinsi NTT sedang mendesain segitiga emas itu (golden triangle) menjadi Kota Kembar Tiga.
KALAU kita merujuk sejarah, maka ‘perpisahan’ Negara Republik Demokratik Timor Leste (RDTL) dengan Nusantara (Indonesia), khususnya Timor Barat atau Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), terjadi akibat perseteruan Belanda dan Portugis yang memperebutkan pasar rempah di Eropa pada abad pertengahan.
Puncak perseteruan itu, pada tahun 1904 Belanda dan Portugis membuat perjanjian penguasaan Pulau Timor, yakni Portugis berkuasa di bagian timur dan Belanda di bagian barat. Tahun 1941, kesepakatan itu diperkuat Mahkamah Internasional di Denhaag, Belanda. Ketika wilayah Kepulauan Nusantara merdeka dari Belanda tahun 1945, Timor Timur belum merdeka dari Portugis. Negara Eropa yang terkenal miskin itu masih menggenggam erat Timor Timur sampai dengan tahun 1975 ketika negeri matahari terbit itu lepas, merdeka dan bergabung dengan Indonesia menjadi provinsi ke-27 ketika itu.
Selama 34 tahun bergabung dengan Indonesia, sebenarnya provinsi bungsu itu mendapat perhatian teramat istimewa dari Pemerintah Pusat. Agenda pembangunan dengan dukungan dana besar-besaran mengalir deras ke Timor Timur.
Tetapi dengan jajak pendapat 30 Agustus 1999, Timor Timor lepas dari pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Mayoritas warga provinsi itu memilih merdeka dan berpisah dari Indonesia. Negara baru itu pun lahir di ujung milenium dua.
Sejak itulah Timor Timur dan Indonesia, khususnya Provinsi Nusa Tenggara Timur, dibatasi oleh teritori daratan dan lautan. Satu daratan, dua negara. Satu tanah (tanah Timor), dua bendera. Tetapi batas itu batas teritori. Batas wilayah. Batas administrasi pemerintahan. Sebaliknya batas kultural tidak ada. Batas kekerabatan atau kekeluargaan tidak ada. Batas suku tidak ada.
Timor Timur yang kemudian tampil dengan nama Republik Demokratik Timor Leste tetap orang Timor. Bahasa mereka sama dengan sebagian bahasa orang Timor di Belu, Malaka dan Timor Tengah Utara (TTU). Budaya mereka satu dan sama dengan budaya orang di Timor Barat. Genealogi mereka sama, yakni orang Timor. Singkat kata, kultur mereka satu dan sama: kultur Timor dengan segala kekhasan, ragam dan keunikannya.
Kesamaan kultur itulah yang juga menjadi alasan mengapa sesama orang Timor di dua negara berbeda ini jarang terlibat pertikaian. Hidup dan kehidupan orang Timor di dua negara berbeda ini tenang dan nyaman saja.
Kondisi seperti ini niscaya menjadi modal sosial dan modal kultural yang sangat penting menjalin hubungan antarkedua negara. Timor Timur boleh lepas, tetapi peluang kerja sama saling menguntungkan tidak boleh ikut terkubur. Teritori boleh terpisah, tetapi semua kebutuhan hidup tetap sama. Penduduk Timor Leste makan nasi, orang NTT juga makan nasi.
Peluang kerja sama yang sama juga terbuka lebar dengan Australia Utara (Darwin). Sudah berbilang puluhan tahun, banyak orang Timor mengadu nasib di Kota Darwin. Banyak dari mereka bahkan memilih menjadi warga negara Australia. Demikianlah, Darwin, Timor Timur dan NTT memiliki beragam kesamaan yang seyogyanya bisa dikonversikan menjadi peluang kerja sama banyak sektor semisal perdagangan, transportasi, pariwisata dan budaya.
Kawasan di tiga kota itu, Kupang, Darwin dan Dili dalam skema kerja sama trilateral ini kemudian bersama-sama membentuk apa yang disebut sebagai golden triangle atau segitiga emas. Pengejawantahan kerja sama tiga negara itu sangat penting dilakukan tidak hanya untuk meraih benefit perdagangan atau nilai ekonomis, tetapi juga dan terutama benefit budaya, yakni menguatnya jalinan dan ikatan kekerabatan warga tiga negara ini.
Provinsi NTT dalam kerja sama trilateral itu memiliki posisi sangat strategis. Dengan Timor Leste, NTT mengambil peran penting di sektor perdagangan. Hampir semua kebutuhan harian warga Timor Leste dipasok dari Indonesia. Banyak pedagang NTT ikut memasok dan meramaikan lalu lintas perdagangan dengan Timor Leste. Ini peluang sangat besar menjadikan NTT, Kota Kupang khususnya, sebagai pelabuhan transit barang-barang dari semua wilayah Indonesia, Jawa khususnya, sebelum masuk ke Timor Leste.
Gubernur NTT, Viktor Bungtilu Laiskodat (VBL), pernah melontarkan sebuah gagasan hebat. Selama ini hasil pertanian dan kelautan, juga produk-produk kerajinan NTT, memilih Jawa sebagai kiblat pasarnya. Gubernur VBL menegaskan bahwa sebaiknya produk-produk dari NTT dipasarkan di Australia melalui Darwin dan ke Timor Leste. Tentu saja dengan harga yang lebih menguntungkan.
Timor Leste adalah negara baru. Baru seumur jagung. Belum banyak yang bisa diharapkan dari negara untuk memenuhi kebutuhan warganya. Potensi alam negara itu pun minim. Nyaris semua kebutuhan harian dipasok dari Indonesia. Ini peluang besar bagi NTT menjalin kerja sama antarnegara dengan Timor Leste dalam kontrak kerja sama.
Provinsi NTT punya banyak hasil laut. Komodi perkebunan dan pertanian seperti kopi, pisang, kemiri, kakao, bawang, jagung banyak di NTT. Hasil-hasil dari bumi NTT ini bisa dengan mudah diekspor ke Timor Leste.
Dengan Darwin di Australia Utara, NTT punya ikatan kekerabatan. Sudah lama jalinan kerja sama ini terjadi dan berjalan. Ada pertukaran pelajar SLTP/SLTA. Ada pertukaran pemuda. Ada kunjungan pejabat pemerintah.
Dengan waktu tempuh cuma sekitar 45 menit terbang dari Bandara El Tari ke Darwin, sebenarnya terbuka peluang besar untuk sektor pariwisata.
Di bawah kepemimpinan Gubernur Viktor Bungtilu Laiskodat dan Wakil Gubernur Josef A. Nae Soi (JNS), tidak sulit mengejawantahkan mimpi dan obsesi meraup keuntungan di golden triange itu. Mimpi dan obsesi itu belum perlu yang besar-besar. Yang kecil dan sederhana bisa dilakukan. Misalnya, menggelar Kupang Expo saban tahun pada perayaan HUT Kemerdekaan RI. Australia dan Timor Leste ikut diundang hadir memamerkan atau mempromosikan kekayaan negaranya. Sebaliknya juga sama. Expo yang sama juga digelar di Darwin dan Dili. Jika diselenggarakan secara rutin, even-even seperti ini niscaya membentuk branding atau merek sendiri dan menarik minat orang. Daerah Istimewa Yogyakarta memiliki even terkenal dan sudah punya merek yakni Sekaten. Para wisatawan di seluruh dunia sudah tahu jadwal sekaten saban tahun. Dan, setiap kali sekaten digelar, Kota Keraton itu sesak dengan manusia dari seluruh penjuru dunia. Kamar-kamar hotel, baik berbintang maupun melati, penuh.
Rugi besar peluang ini disia-siakan. Kupang-Darwin-Dili, tiga kota di selatan katulistiwa ini bisa didesain menjadi ‘kota kembar tiga’ seiring kohesi sosial warga di tiga kota yang sudah lama saling kenal mengenal ini. Harmoni tercipta ketika dengan mudah mendengar lagu Indonesia Raya dinyanyikan di Dili dan Darwin, Patria ao Povo, lagu kebangsaan Timor Leste terdengar nyaring di Kupang dan Darwin. Dan Advance Australia Fair dengan mudah bisa didengar di Dili dan Kupang.
Di titik inilah Badan Pengelola Perbatasan Daerah Provinsi NTT di bawah kepemimpinan Drs. Petrus Seran Tahuk, dapat memainkan peran yang strategis dan efektif dalam semangat NTT Bangkit NTT Sejahtera. Janganlah Golden Triangle itu hanya bisa menjadi paradiso perduto (surga tersembunyi) di tengah sekian banyak regulasi yang membatasi usaha dan upaya kita dalam membangun ini daerah. Semoga pandemic Corona Virus Desease (Covid) 19 ini cepat berlalu. Salam Sehat! Salam Batas (bangkit sejahtera). (advetorial kerjasama BPPD Prov NTT dengan mediantt.com)