Ujian Kemaslahatan Pilkada

by -421 views

HARI ini sampailah kita pada ujian sesungguhnya soal kemaslahatan pilkada. Sesuai jadwal, setelah rangkaian verifikasi sejak 7 September, hari ini KPU menetapkan pasangan calon kepala daerah dalam rapat pleno tertutup. Penetapan itu menjadi ujian kemaslahatan sebab pilkada yang tidak patuh pada protokol kesehatan hanya membawa ancaman kesehatan se-Nusantara.

Adanya kepala-kepala daerah yang terpilih tetap bukan harga setimpal jika justru banyak muncul klaster baru covid-19.

Sebab itu, pembuktian kemaslahatan pilkada sudah harus ditunjukkan sejak hari ini juga. Mereka yang lolos menjadi paslon kepala daerah mutlak menghindari perayaan yang menyebabkan kerumunan massa. Paslon yang tetap menggelar perayaan layak untuk segera ditinggalkan konstituen. Mereka bukan saja egois, melainkan juga bebal akan segala kehilangan bangsa ini akibat pandemi.

Dalam pilkada di tengah masa wabah kali ini, tiap-tiap elemen masyarakat memang semestinya ikut menjadi pengawas setiap tahapan pilkada. Sebab, harus kita akui, Peraturan KPU (PKPU) Nomor 10 Tahun 2020 ibarat macan ompong. Peraturan itu memuat berbagai ketentuan pelaksanaan Pilkada 2020 di masa pandemi covid-19, tapi tanpa sanksi tegas.

Tak mengherankan jika berbagai pelanggaran mudah terjadi. Di masa pendaftaran saja, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) mencatat terjadi pelanggaran protokol kesehatan di 243 dari 270 daerah yang menggelar pilkada. Hampir pasti pelanggaran serupa bakal terus terjadi karena mereka yang melanggar juga terus bebas melenggang.

Tidak hanya tanpa kekuatan sanksi, PKPU Nomor 10 Tahun 2020 itu pun sesungguhnya aturan yang sangat longgar, jika tidak mau disebut mengecilkan ancaman pandemi. Bagaimana tidak, PKPU bahkan masih mengizinkan konser musik. Pernyataan Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian, kemarin, yang hanya membolehkan konser musik virtual dalam pilkada, tidak sepenuhnya bisa menghentikan bahaya yang sudah terjadi akibat aturan longgar dalam PKPU.

Ketidaktegasan dalam PKPU 10/2020 itu tetaplah menjadi bahaya yang bisa berakibat fatal dalam upaya perang melawan korona. KPU dan pemerintah mestinya menyadari bahwa pesta demokrasi di 270 daerah tetaplah ancaman kesehatan se-Nusantara.

Dengan pergerakan manusia yang tetap tinggi maka penularan ke wilayah-wilayah lain hanya butuh hitungan hari. KPU pun sepantasnya dapat berkaca dari klaster penularan yang terjadi di pimpinan mereka sendiri dan di pejabat-pejabat daerah.

Lebih jauh lagi, dengan ratusan pelanggaran yang sudah terjadi dan laju kasus nasional yang belum juga mereda, pemerintah harusnya lebih serius dalam menjamin keamanan pilkada.

Presiden Joko Widodo sudah sepantasnya mendengarkan masukan banyak pihak agar mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk memuat sanksi bagi peserta Pilkada 2020 yang melanggar protokol kesehatan. Permintaan yang bahkan datang dari komisioner KPU sendiri sudahlah cerminan nyata akan lemahnya PKPU 10/2020.

Ketika pemerintah berkukuh tetap melaksanakan pilkada maka sepantasnyalah juga membuktikan kesungguhan dalam melindungi rakyat. Adanya anggapan bahwa perppu tidak dibutuhkan ataupun terlalu tinggi untuk mengatur pelaksanaan tahapan pilkada, justru sebuah kekeliruan.

Anggapan bahwa perppu tidak perlu ada sesungguhnya bertolak belakang dengan keinginan Presiden bahwa aturan di masa pandemi semestinya lebih proaktif dan progresif. Perppu bentuk nyata regulasi yang proaktif dan progresif. (e-mi/jdz)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *