KADISBUDPAR dan BOBROKNYA BIROKRASI LEMBATA

by -1,765 views

Oleh : Basilius Fransisko Hugu
Aktivis PMKRI Cabang Kupang

KARIR sebagai Aparatur Sipil Negara (ASN) sejatinya merupakan bagian dari kekuasaan yang tindak tanduknya berimplikasi terhadap masyarakat luas. Masyarakat memiliki tuntutan dan harapan yang besar kepada aparat pemerintah. Saking tingginya harapan tersebut, tidak mengherankan bila perilaku yang kurang terpuji dari aparat pemerintah akan menjadi sorotan tajam, menjadi bahan sindiran, bulan-bulanan, hinaan, cemoohan, bahkan cacian dari publik.

Beberapa hari belakangan, publik Lembata di kagetkan dengan tindakan tak terpuji yang datang dari aparat pemerintah dalam hal ini Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lembata. Untuk diketahui bahwa, Kadis saat itu terlambat datang ke kantor sehingga Sekretaris Dinas mengambil inisiatif untuk memimpin upacara apel bendera. Entah apa yang merasuki, saat upacara sedang berlangsung Kadis datang dan menghentikan serta membubarkan upacara apel bendera tersebut. Pemberhentian upacara apel bendera tersebut dikala sedang pembacaan teks pancasila oleh petugas.

Akibat peristiwa tersebut, sekretaris dinas Kebudayaan dan Pariwisata yang saat itu memimpin apel bendera di-BAP dan dinonjob dari jabatannya dengan alasan yang tak logis. Kebobrokan dari seorang kepala dinas inilah menuai banyak kontraversi. Sebagai seorang warga negara Indonesia yang baik, harusnya Kepala Dinas membiarkan upacara apel bendera berlangsung hingga selesai walaupun di pimpin oleh sekdis. Bukan malah menghentikan, apalagi menghentikan disaat pembacaan teks Pancasila.

Aksi yang dilakukan oleh seorang pejabat eselon II ini, bagi penulis merupakan aksi yang melecehkan atau merendahkan martabat pancasila sebagai ideologi bangsa Indonesia. Dimanakah sikap nasionalisme dan patriotisme dari seorang ASN? Masih ingatkah kita dengan si Joni, bocah asal silawan kabupaten Belu yang berani memanjat tiang bendera demi menyelamatkan bendera merah putih. Lebih mulia sikap si Joni ketimbang seorang Kepala Dinas.

Sebagai seorang Aparatur Sipil Negara (ASN), kadisbudpar mestinya menghormati pancasila sebagai Ideologi Bangsa sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 4 Tahun 2014 dalam pasal 23 huruf a yang berbunyi: “Setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah”.

Adapun sanksi pidana bagi yang menghina lambang Negara sebagaimana tertuang dalam pasal 68 UU nomor 24 tahun 2009: “Setiap orang yang mencoret, menulisi, menggambari atau membuat rusak Lambang Negara dengan maksud menodai, menghina, atau merendahkan kehormatan Lambang Negara sebagaimana dimaksud dalam pasal 57 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).”

Pengamalan Pancasila dalam kehidupan sehari-hari dapat dilakukan secara objektif dan subjektif. Pengamalan secara objektif adalah melaksanakan dan menaati peraturan perundang-undangan sebagai norma hukum negara yang berdasarkan Pancasila, sedangkan pengamalan secara subjektif adalah menjalankan nilai-nilai Pancasila yang berwujud norma etik secara pribadi atau kelompok dalam bersikap dan bertingkah laku pada kehidupan sehari-hari dalam berbangsa dan bernegara.

Ricocur (1990) mendefinisikan etika sebagai tujuan hidup yang baik bersama dan untuk orang lain di dalam institusi yang adil. Dengan demikian etika lebih dipahami sebagai refleksi atas baik/buruk, benar/salah yang harus dilakukan atau bagaimana melakukan yang baik atau benar, sedangkan moral mengacu pada kewajiban untuk melakukan yang baik atau apa yang seharusnya dilakukan.
Integritas publik menuntut para pemimpin dan pejabat publik untuk memiliki komitmen moral dengan mempertimbangkan keseimbangan antara penilaian kelembagaan, dimensi-dimensi pribadi, dan kebijaksanaan di dalam pelayanan publik (Haryatmoko, 2001). Jika dikaitkan dengan perilaku kadis maka boleh dikatakan bahwa kadis mengalami degradasi moral dan tak layak menjadi pemimpin. Dalam konteks Indonesia, menurut Azyumardi Azra, nilai-nilai etika sebenarnya tidak hanya terkandung dalam ajaran agama dan ketentuan hukum, tetapi juga dalam social decorum (kepantasan sosial) berupa adat istiadat dan nilai luhur sosial budaya termasuk nilai-nilai luhur yang terkandung dalam ajaran Pancasila.

Sebagian besar pejabat publik masih mewarisi kultur kolonial yang memandang birokrasi sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara memuaskan pimpinan. Beragam cara ditempuh demi melayani dan menyenangkan pimpinan walaupun cara demikian keliru. Loyalitas hanya diartikan sebatas menyenangkan pimpinan, atau berusaha memenuhi kebutuhan peribadi pimpinannya.

Hal demikian juga terjadi di kabupaten Lembata. Aksi yang dilakukan seorang kadis ini boleh dibilang merupakan gambaran betapa bobroknya birokrasi di kabupaten Lembata. Kultur birokrasi di era reformasi ini bukannya lebih transparan malah masih mewarisi kultur kolonial. Para kadis yang memiliki hubungan baik dengan kepala daerah menggunakan kuasanya untuk mengintimidasi dan mendiskriminasi bawahannya. Sebagai misal sekdis yang di nonjob karena hal sepele demikian dan masih banyak kasus lainnya.

Hemat penulis, peningkatan kinerja organisasi tidak mungkin dapat terwujud di kabupaten Lembata karena ulah para pejabat publik. Sehingga, perlu adanya perubahan mindset dari seluruh pejabat publik. Bahwasannya pejabat publik bukan penguasa melainkan pelayan bagi masyarakatnya. Dan juga pejabat publik mesti menyadari bahwa jabatan publik adalah amanah yang harus di pertanggungjawabkan kepada masyarakat dan kepada Tuhan.

Perubahan mindset yang juga harus dilakukan adalah perubahan sistem manajemen, mencakup kelembagaan, ketatalaksanaan, budaya kerja, dan lain-lain demi mendukung terwujudnya good governance. Mestinya seorang Kepada Dinas menjadi contoh bagi bawahannya bukan menunjukkan kebobrokannya. Atas fenomena ini, penulis boleh beranggapan bahwa Kepala Dinas hanyalah sebuah jabatan bukan pemimpin. Jabatan kadisbudpar yang di emban barangkali tidak melalui suatu tahap seleksi sesuai regulasi namun berkat balas jasa politik.

Berdasarkan pasal 23 Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 secara jelas telah mengatur kewajiban ASN yakni setia dan taat pada Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan pemerintah yang sah; melaksanakan tugas kedinasan dengan penuh pengabdian, kejujuran, kesadaran, dan tanggung jawab; menunjukkan integritas dan keteladanan dalam sikap, perilaku, ucapan dan tindakan kepada setiap orang, baik di dalam maupun di luar kedinasan.

Bertolak dari regulasi yang ada, maka secara jelas tindakan dari kepala dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Lembata telah melanggar kewajibannya sebagai Aparatur Sipil Negara. Olehnya, bagi penulis Kepala Dinas Budpar Lembata mesti di beri sanksi atas tindakannya. Selain itu juga, bagi para pejabat publik mesti memahami regulasi yang berkaitan dengan ASN sehingga dalam melaksanakan tugas dan kewajiban sebagai ASN tidak bertindak semena-mena. (*)

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *