Nyawa Rakyat di Tangan Bansos

by -395 views

Ancaman KPK yang akan menuntut penyalah guna bansos dengan hukuman mati tampaknya tidak cukup menggentarkan.

SEJUMLAH survei menunjukkan masyarakat di Tanah Air lebih takut kelaparan ketimbang terinfeksi virus korona. Data puluhan orang meninggal dan ratusan hingga seribu lebih orang tertular covid-19 yang diumumkan setiap hari tidak mengubah urutan ketakutan itu.

Kematian 2.500 jiwa hanya dalam tempo tiga bulan tampak begitu jauh di mata. Masyarakat Indonesia tidak sendiri. Kelaparan menghantui penduduk di berbagai negara selama masa pandemi yang hingga kini tidak diketahui kapan akan berakhir.

Badan PBB World Food Programme memperkirakan lebih dari 250 juta penduduk dunia akan mengalami kelaparan akut per akhir tahun ini. Sekitar 130 juta lainnya berada dalam posisi rentan.

Ketika orang harus memikirkan bagimana bisa makan hari itu, tidak ada lagi tempat untuk memikirkan hal yang lain. Mereka cenderung tidak segan melanggar protokol kesehatan agar bisa makan. Itu sebabnya peranan bantuan sosial (bansos) begitu krusial dalam penanganan wabah covid-19.

Sayangnya, penyaluran bansos di negeri ini sangat karut marut. Data yang usang membuat penyaluran bansos banyak tidak tepat sasaran. Itu pun masih diperparah dengan penyelewengan-penyelewengan dengan berbagai modus. Mulai dari penggelembungan harga bansos, pemotongan, hingga manipulasi data sasaran.

Ancaman KPK yang akan menuntut penyalah guna bansos dengan hukuman mati tampaknya tidak cukup menggentarkan. Sejauh ini, polisi telah menemukan delapan kasus dugaan penyelewengan bansos di Banten dan Sumatra Utara. Di Simalungun, Sumatra Utara, misalnya, ditemukan pemotongan jatah beras sebanyak 2 kilogram per penerima.

Data yang usang dan potensi penyelewengan sesungguhnya bisa diperbaiki dan diminimalkan melalui transparansi. Kuncinya ada di daerah. Bansos dari pemerintah pusat pun sangat bergantung pada data daerah. Ada beberapa kepala daerah yang berinisiatif menempelkan data penerima bansos di tiap kantor kepala desa atau kelurahan. Di situ warga dilibatkan untuk ikut aktif mengawasi. Bila terdapat yang tidak layak, data sasaran bansos bisa segera diketahui dan dilaporkan untuk diperbaiki.

Demikian pula jika ada warga yang semestinya layak mendapatkan bantuan malah tidak terdaftar. Besaran dan bentuk bansos pun semestinya dirinci dan diumumkan ke warga. Dengan begitu, penerima bantuan dapat mengetahui secara pasti apa yang semestinya mereka dapatkan. Inisiatif kebijakan seperti itu hanya mendapatkan acungan jempol atau kalimat pujian dari pemerintah pusat. Kenapa tidak lantas menjadikannya sebagai prosedur tetap di seluruh daerah?

Artinya, semua pemda wajib menerapkannya, termasuk mengumumkan kanal-kanal pengaduan yang bisa dipakai warga. Pujian saja tidak akan berarti apa-apa untuk perbaikan penyaluran bansos dan pencegahan penyelewengan di daerah lain. Bahkan, itu tidak ubahnya melakukan pembiaran. Menerapkan dapat pujian. Tidak menerapkan, ya semoga tidak ada penyelewengan. Pasrah sekali!

Kita berharap instrumen-instrumen pemerintah seperti Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan juga bergerak aktif mendeteksi penyelewengan. Tidak sekadar duduk-duduk menunggu umpan balik atau aduan masyarakat. Penyaluran bansos yang tepat sasaran dan tepat jumlah ibarat nyawa. Bukan hanya bagi rakyat dalam kelompok miskin dan rentan, melainkan juga untuk keberhasilan pengendalian wabah covid-19. Penularan bisa dihambat, nyawa seluruh rakyat terselamatkan. (e-mi/jdz)           

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *