Kritik DPRD NTT dan Kegelisahan Rakyat di Tengah Pandemi Covid-19

by -551 views

“Saya minta pak kaban sampaikan kepada pak gub, data harus klir. Kalau data tidak klir, jangan disalurkan dulu. Pengeluaran dana APBD yang begitu besar harus bisa dirasakan oleh masyarakat. Kalau penyalurannya tetap membuat masalah di masyarakat, saya rasa pemerintah gagal”.

RUANG sidang Komisi III DPRD NTT, Rabu (9/6), tampak tegang. Ada Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Badan Keuangan Daerah (BKD) NTT tentang anggaran tanggap darurat di tengah pandemi Covid-19. Leonardus Lelo, Wakil Ketua Komisi III, membuka rapat dengan pengantar yang menohok pemerintah. Ia membeberkan kegelisaan dan keluhan rakyat yang tak berdaya karena terdampak Covid-19. Apalagi, sampai saat ini, menjelang pemberlakuan New Normal di NTT per 15 Juni 2020, dana bantuan sosial atau jaring pengaman sosial, belum juga dicairkan. Kendalanya pun amat klasik. Dari dulu itu-itu saja; data yang belum beres.

“Pemerintah kita ini kerja apa saja, masa mau masuk era new normal tapi bantuan sosial kepada rakyat yang terdampak corona ini belum juga dicairkan. Dari dulu data kita selalu amburadul, tidak pernah beres,” tegas politisi Partai Demorat yang selalu bicara blak-blakan itu.

Tak hanya Leo. Hampir semua anggota Komisi III geram dan kecewa. Karena pemerintah tidak tanggap terhadap penderitaan dan kegundahan rakyat di tengah pandemi corona ini. Dana hasil refocusing dan realokasi yang telah disepakati bersama untuk jaring penganan sosial dan pemberdayaan ekononi rakyat, belum cair hanya gara-gara masalah data yang tidak jelas. Masih menunggu data dari kabupaten/koita.

Wajar saja mereka marah. Sebab, menurut Kepala BKD NTT, Zakarias Moruk, alokasi dana tanggap darurat sebesar Rp 710 miliar oleh Pemerintah Provinsi (Pemprov) NTT belum dicairkan. Padahal, beberapa hari lagi NTT berlakukan New Normal.

Zaka Moruk mengakui, hingga saat ini hanya Pemerintah Pusat yang telah mencairkan dana JPS dan bantuan langsung Sembako. “Selama ini dana yang bisa disalurkan hanya dari pusat, sedangkan dari APBD kabupaten maupun propinsi belum sama sekali,” kata Zaka Moruk, menjawab pertanyaan beberapa anggota Komisi III yang mempertanyakan realisasi dana tanggap darurat Covid-19.

Moruk menjelaskan, dari total alokasi dana tanggap darurat Covid-19 Rp 810 M, alokasi untuk pencegahan dan penanganan Covid-19 sekitar Rp 100 M yang telah dicairkan. “Sampai hari ini sudah dicairkan sekitar Rp 80 miliar lebih ke Dinas Kesehatan, RSUD, Badan Kesbangpol, Dinas Sosial dan Kominfo yang merupakan OPD pendukung. Sedangkan alokasi dana Rp 105 miliar untuk JPS (Jaringan Pengaman Sosial) dan Pemberdayaan Masyarakat Rp 605 miliar belum dicairkan karena kami masih menunggu data dari pemerintah kabupaten/kota,” jelas Moruk.

Penjelasan Moruk memantik kekesalan Wakil Ketua Komisi III, Viktor Mado Watun. Dengan suara agak tinggi, Viktor Mado berkata; “Saya heran, Pemprov NTT ini kerjanya apa saja selama 3 bulan ini. Dari pertemuan sebelumnya, alasannya sama saja. Data belum ada. Gubernur dan Wagub kerjanya apa saja sehingga tidak bisa hadir dalam dalam Paripurna? Dewan Rapat Paripurna, Wagub jalan ke Maumere dan keliling Flores. Kerja apa ini? Kita DPRD sebagai lembaga kecewa sekali”.

Menurut Mado Watun, Gubernur Laiskodat harusnya memimpin langsung kegiatan pencegahan dan penanganan Covid-19. “Gubernur dimana? Kita DPRD ini dalam situasi covid seperti ini harus diberitahu, kalau gubernur dan wakil gubernur tidak ada. Harusnya gubernur memberikan perhatian serius terhadap penanganan Covid-19. Seperti yang di Jawa Barat, gubernur yang mengumumkan tentang Covid. Gubernur memimpin langsung penanganan Covid-19 di lapangan,” timpal politisi PDIP ini.

Menurut dia, seharusnya ada data yang valid sebelum dana JPS dan Pemberdayaan Ekonomi disalurkan. “Soal data, tadi pak Kaban jelaskan belum ada data tapi mau salurkan uang. Aduh … ini kerja orang gila. Tidak ada data tapi kita mau salurkan uang APBD yang begitu besar. Sebenarnya untuk pandemi covid ini, data harus clear dari tingkat terendah (dari desa/kelurahan, red). Dan gubernur harus berdiri sebagai komandan,” tegas Mado Watun.

Masalah data warga penerima bantuan yang belum valid, menurut Mado Watun, dapat diselesaikan dengan cepat jika gubernur bersikap tegas. “Tidak akan berkepanjangan jika gubernur bertindak tegas terhadap para kepala daerah yang belum memasukan data. Harus ada sanksi tegas. Karena itu saya pesan melalui Pak Kaban, kami minta agar Pak Gubenur mengambil peran untuk menyelesaikan masalah data ini dari kabupaten/kota agar tidak menimbulkan konflik di masyarakat di saat seperti ini,” tandas Mado Watun.

Mado Watun menjelaskan, masalah data calon penerima bantuan dapat diselesaikan dengan sederhana. “Saya berpikir sederhana, kalau ada 200 kk di desa maka disharing APBD II tanggulangi berapa? Dana desa berapa? Pusat berapa? Propinsi berapa? Tidak usah pakai prosentase tapi pakai sharing begitu. Tapi disepakati besarannya Rp 600 ribu semuanya,” saran dia.
Menurut Viktor, harusnya bantuan itu sudah harus disalurkan kepada masyarakat NTT yang sangat membutuhkan di saat masa pandemi Covid-19.

“Saya minta pak kaban sampaikan kepada pak gub, data harus clear. Kalau data tidak clear jangan disalurkan dulu. Minimal pengeluaran dana APBD yang begitu besar harus dirasakan oleh masyarakat. Kalau penyalurannya tetap membuat masalah di masyarakat, saya rasa pemerintah gagal. Karena itu kami minta minimal gubernur harus jadi komandan untuk menyelesaikan masalah data dan penyaluran bantuan kepada masyarakat dalam jangka waktu secepatnya,” pesan dia.

Kritik senada juga disampaikan Anggota Komisi III DPRD NTT, Jhon Halut. “Sedikit lagi sudah diberlakukan new normal, tapi sampai saat ini belum ada penyaluran bantuan, padahal seharusnya sudah dicairkan sebagian dananya. Bagi saya ini tidak masuk akal. Realokasinya cepat tapi realisasinya sampai saat ini tidak ada. Bahkan mungkin sampai akhir tahun pun tidak ada realiasai kalau masih menunggu data. Sampai saat ini, hanya dana untuk APD (Alat Pelindung Diri) saja yang sudah dicairkan,” kritiknya.

Wakil Ketua Komisi III, Leonardus Lelo juga menyoroti data tidak valid yang selalu menjadi alasan Pemprov untuk tidak menyalurkan bantuan JPS dan Pemberdayaan Masyarakat. “Saya heran dinas sosial kabupaten/kota ini kerja apa saja? Menurut Kemensos, data itu menjadi kewenangan kabupaten/kota, pusat hanya menyetujui. Tiap 6 bulan diperbaharui, 1 tahun 2 kali, tapi model pendataan seperti ini kacau sekali,” kesal Leo.

Refocusing itu, sebut Lelo, tujuannya untuk pemberdayaan masyarakat terdampak “Tidak bisa refocusing semaunya saja. Karena itu saya ingin ada prioritas. Contohnya jalan, apakah proyek jalan ini berkorelasi langsung dengan peningkatan ekonomi masyarakat? Apa penting kita bangun jalan? Penting tapi di saat pandemi covid seperti ini, belum tentu berkorelasi dan mendorong pertumbuhan ekonomi,” tuturnya.

Ia malah berharap, ada skema pemberdayaan ekonomi masyarakat dari dana Covid-19 Rp 605 miliar dari masing-masing Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dibantu Bapeda. “Bukan kita refocussing semau kita. Oh pak gub punya begini. Dinas mau begini. Tidak boleh semaunya. Tapi harus pakai analisis yang bagus. Saya yakin tingkat pertumbuhan akan terukur,” tegas Lelo. (jdz/st)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *