Oleh : Yusa Djuyandi
Kepala Pusat Studi Keamanan Nasional dan Global Universitas Padjadjaran
PELANGGARAN kedaulatan RI di Laut China Selatan oleh kapal nelayan China yang dilindung kapal penjaga keamanan China, merupakan persoalan yang perlu dianggap serius oleh seluruh komponen bangsa di negeri ini. Upaya intervensi yang dilakukan kapal laut keamanan China terhadap kapal patroli Indonesia yang menangkap kapal nelayan China, merupakan hal yang tidak dapat dibenarkan secara hukum laut internasional (Unclos).
Adapun kemudian aksi protes dan peringatan yang dilayangkan pemerintah Indonesia kepada Kedutaan Besar China dapat dinilai sebagai sebuah langkah politik yang tegas dalam upaya penegakan kedaulatan negara.
Intervensi kapal patroli keamanan China yang berusaha melindungi kapal nelayannya dari tangkapan kapal patroli Indonesia, sebenarnya tidak terlepas dari upaya Negeri Tirai Bambu tersebut untuk kembali menegaskan klaimnya atas Laut China Selatan.
Klaim China memang kembali memanaskan situasi hubungan antarnegara yang juga memiliki batas di wilayah laut itu. Klaim itu juga kembali membuka peluang atas munculnya konflik antarnegara. Memanasnya kembali kisruh Laut China Selatan telah dimulai kembali sejak 2015. Saat itu China menentukan kembali peta perbatasan lautnya yang meluas sampai pada beberapa titik wilayah baru.
Dalam titik baru itu, Indonesia menjadi salah satu negara yang dirugikan sebab di dalamnya terdapat titik yang meliputi wilayah di Kepulauan Natuna. Tindakan pemerintah China yang membuat peta dengan titik baru di banyak wilayah Laut China Selatan, juga sebelumnya telah memunculkan reaksi keras dari negara-negara lain, seperti Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia. Penyebarluasan wilayah baru ini terjadi karena China berpatokan pada klaim mereka atas Kepulauan Spratly, yang sebenarnya masih dalam status sengketa dengan Filipina serta Vietnam.
Klaim sepihak China atas Pulau Spratly memang merugikan banyak negara yang memliki batas di Laut China Selatan. Ini juga yang kemudian memunculkan reaksi keras Amerika Serikat (AS) dengan mengerahkan kapal perang ke kawasan sengketa pada Oktober 2015. AS sendiri mempunyai kepentingan atas teritori Laut China Selatan karena memiliki pangkalan militer di Filipina. Sehingga, klaim sepihak China akan dapat merugikan AS dalam memobilisasi armada perangnya.
Secara geopolitik, posisi Pulau Spratly bagi China memang sangat strategis karena dapat memberikan banyak keuntungan, baik dari aspek politik dan pertahanan maupun dari segi ekonomi. Jika pulau itu berhasil dikuasai secara mutlak oleh China, secara legal batas wilayah mereka akan bertambah, yang berarti juga kerugian bagi negara-negara lain.
Bagi kebanyakan negara-negara di Asia Tenggara, klaim atas dominasi China di Laut China Selatan sudah dirasakan dengan mulai banyaknya kapal-kapal laut China yang melanggar batas wilayah negara. Pelanggaran itu tidak hanya dari kapal nelayan mereka, tapi juga kapal patroli yang notabene digerakan pemerintah China untuk memantau perairan.
Dampak bagi Indonesia
Perairan Natuna bagi Indonesia memiliki arti yang sangat penting dan strategis. Sebab, perairan dan kepulauannya merupakan batas terluar dari NKRI yang menjadi penentu dari keberdaulatan negara.
Apabila kemudian wilayah ini menjadi objek sengketa atau dilanggar batas wilayahnya, kedaulatan NKRI kembali dipertaruhkan, dan tentunya kita tidak ingin kembali mengulangi kesalahan yang sama beberapa tahun lalu ketika harus kehilangan Sipadan dan Ligitan.
Selain berdampak bagi kedaulatan negara, perairan Natuna juga menyimpan kekayaan alam yang cukup melimpah. Selain daripada hasil laut, perairan di sekitar Kepulauan Natuna juga kaya akan gas yang dapat dimanfaatkan bagi pasokan energi dalam negeri.
Masuknya kapal-kapal China ke wilayah perairan Indonesia dan adanya perlindungan dari kapal patroli mereka, telah menunjukkan adanya upaya untuk menentang hukum laut internasional, khususnya terkait dengan Zona Ekonomi Eksklusif milik Indonesia.
Atas dasar kondisi itu memang sudah sewajarnya pemerintah Indonesia kemudian memberikan teguran yang keras kepada pemerintah China. Sensitivitas persoalan Laut China Selatan kini dengan kata lain tidak lagi menyangkut persoalan China dengan negara-negara seperti Vietnam, Filipina, Brunei Darussalam, dan Malaysia.
Keikutsertaan Indonesia secara aktif dalam mengatasi persoalan di Laut China Selatan seharusnya juga tidak lagi hanya sebatas sebagai penengah. Namun, juga aktif menjadi aktor yang mencegah Negeri Tirai Bambu itu untuk memperluas wilayah kekuasaannya secara sewenang-wenang.
Untuk mengatasi persoalan itu, upaya diplomasi melalui komunikasi dengan negara-negara lain di Asia Tenggara, termasuk dengan negara peng-klaim yaitu China, mutlak segera dihidupkan kembali. Upaya ini merupakan cara awal yang dapat ditempuh untuk menghindari adanya gesekan yang lebih parah di wilayah perairan.
Memperkuat basis pertahanan
Tidak dapat dimungkiri bahwa upaya diplomasi merupakan cara yang paling bijaksana untuk mengatasi konflik di Laut China Selatan. Cara ini dapat menghindari terjadinya benturan atau konflik fisik antarnegara. Namun demikian, upaya untuk memperkuat armada tempur di laut, darat, dan udara dalam rangka menjaga kedaulatan perairan dan pulau terluar juga merupakan hal yang penting.
Memperkuat armada tempur dan menempatkannya pada wilayah perbatasan merupakan bagian dari strategi pertahanan yang efektif. Terutama, untuk menghalau segala bentuk ancaman yang datangnya dari luar. Sebagaimana gangguan yang dilakukan kapal Patroli China ketika menabrak kapal patroli milik aparat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) RI di tahun 2016.
Pada saat itu kapal patrol KKP menggiring kapal nelayan China yang melanggar batas wilayah perairan namun diganggu dan ditabrak kapal Patroli China.
Kembali terjadinya gangguan dan ancaman dari kapal patroli China yang terjadi di penghujung 2019 menjadi indikator bahwa China tidak menganggap serius nota protes pemerintah, sebagaimana yang juga pernah dilayangkan pada 2016. Untuk itu agaknya Indonesia selain harus menggunakan cara soft power (diplomasi) juga perlu mempersiapkan cara hard power (kekuatan tempur).
Penempatan kapal dan pesawat patroli TNI-AL dan AU secara permanen di perbatasan Laut China Selatan dan perairan Natuna, juga diperlukan dalam rangka mengimbangi kekuatan patroli negara lain. Dan bagi penulis adanya penempatan armada patroli TNI-AL dan AU, tidak dapat disebut sebagai provokasi selama tidak dikerahkan secara berlebihan dan tidak melanggar batas wilayah negara lain.
Penempatan kapal patroli TNI merupakan sebuah kebutuhan dalam rangka menegakkan kekuatan dan kedaulatan negara, dan ini menjadi bagian yang tidak terpisahan dari upaya diplomasi pemerintah.
Dalam rangka memperkuat basis pertahanan negara, ke depannya pemerintah bersama DPR juga perlu merancang kebijakan strategis pertahanan negara. Salah satu langkah yang kemudian dapat dilakukan ialah dengan menyediakan anggaran untuk menambah unit alat utama sistem senjata (Alutsista) bagi TNI.
Penguatan Alutsista bagi TNI ialah bagian dari upaya yang dapat dilakukan pemerintah dan DPR dalam menunjang fungsi pertahanan negara.
Penguatan ini juga, di sisi lain, dapat dilakukan dengan terus mengembangkan industri peralatan teknologi pertahanan yang sudah ada di dalam negeri. (*)