KUPANG – Garuda adalah burung mitologis yang secara resmi menjadi lambang NKRI sejak tahun 1950. Sosoknya berupa burung, sejatinya adalah elang jawa, satwa endemik Indonesia. Namun ironisnya, keberadaan burung yang menjadi simbol nasional dan juga terlindungi itu, populasinya terus merosot tajam. Jika tak segera diikuti upaya pencegahan secara serius, Garuda atau elang jawa akan benar benar punah sekitar lima tahun lagi atau tahun 2025.
Demikian antara lain sari buku “Garuda – Mithos dan Faktanya di Indonesia” (2019) karya Zaini Rakhman. Buku yang cetakannya didukung Kementerian LHK dan Pertamina, menyertakan lima artikel pengantar. Di antaranya dari Presiden Joko Widodo, Menteri LHK Siti Nurbaya dan pakar lingkungan hidup Indonesia Emil Salim. Paparan sari buku setebal 140-an halaman itu disampaikan Frans Sarong, pensiunan wartawan Kompas, yang juga penerima piagam penghargaan peduli lingkungan konservasi melalui publikasi jurnalistik, dari Ditjen KSDAE Kementerian LHK. Frans Sarong mendapatkan buku tersebut dari pemberian Dirjen KSDAE Wiratno, sekitar dua pekan lalu.
Terisa 325 pasang
Gambaran Garuda amat mirip dengan elang jawa (Nisaetus bartelsi). Bernama elang jawa karena persebarannya terutama di Pulau Jawa.
Karena kemiripannya dengan Garuda, maka elang jawa ditetapkan sebagai simbol satwa nasional, sebagaimana dikukuhkan melalui Kepres No. 4/1993. Kepres itu juga sekaligus menetapkan elang jawa sebagai satwa dilindungi karena populasinya kian terancam akibat perburuan liar untuk perdagangan serta kerusakan habitannya.
Menurut catatan, populasi elang jawa di habitatnya di Jawa dewasa ini tersisa sekitar 325 pasang. Sementara penurunan populasinya dilaporkan amat ekstrim, sekitar 22 pasang per tahun. Itu berarti – jika tanpa upaya pencegahan berarti dan serius – keberadaan elang jawa akan benar benar punah lima tahun lagi atau tahun 2025 (hal. 51).
Presiden Joko Widodo – melalui artikel pengantarnya dengan wanti wanti menantang. Kata Jokowi, jika elang jawa di kemudian hari benar bebar punah, dikhawatirkan anak cucu tak akan tahu lagi bahwa Garuda Pancasila yang mencengkeram erat dan kuat sesanti (wejangan) Bhineka Tunggal Ika, merupakan perwujudan elang jawa.
Garuda atau elang jawa memiliki nilai sejarah, kultural, estetik, ekonomis dan ekologis ketika hidup bebas di lanskap hutan alam Indonesia. Ketika nimpi itu terwujud sepenuhnya, maka elang jawa serentak menjelma menjadi Garuda yang melindungi bangsa dan Ibu Pertiwi sebagai perwujudan NKRI.
Menteri Siti Nurbaya menjelaskan, Garuda yang menjadi lambang NKRI, adalah elang jawa. “Elang jawa itu manifestasi dari Garuda,” tegasnya.
Menyongsong kehadiran buku tersebut, Wiratno turut berkomentar. Kata dia, dalam dunia sains dan upaya konservasi keanekaragaman hayati, Garuda adalah perwujudan dari jenis burung raptor (pemangsa) yang lebih dikenal bernama elang jawa. Satwa itu memang berkarisma tinggi. Selain ukuran fisiknya yang cukup besar serta pemangsa tingkat tinggi, juga terhubung dengan mitologi sebagai tunggangan Dewa Wisnu.
“Sebagai simbol NKRI, Garuda memang tidak akan pernah lepas dari keseharian bangsa Indonesia. Anak- anak bangsa akan dipenuhi semangat patriotisme apabila dalam setiap aktivitasnya dikaitkan dengan Garuda Pancasila”, begitu kata Wiratno (hal. 126).
Siti Nurbaya mengakui, penyelamatan elang jawa yang adalah manifestasi dari Garuda, mustahil terwujud jika hanya oleh pemerintah, dalam hal ini Kementerian LHK dan kementerian terkait lainnya. Penyelamatan Garuda atau elang jawa menuntut keterlibatan semua pihak: pemerintah bergandengan tangan dengan LSM terkait bersama masyarakat.
Emil Salim mengingatkan
tantangan pelestarian keanekaragaman hayati termasuk elang jawa, yang harus dicarikan solusinya. Salah satunya adalah masih kuatnya pandangan bahwa upaya pelestarian itu berseberangan dengan usaha perbaikan kesejahteraan masyarakat. (jdz)