Frans Skera Tetap “Kuning” Meski Kalah Musda

by -182 views

Oleh Frans Sarong
Wakil Ketua Golkar NTT

NAMA lengkapnya Frans Xaverius Skera, lazim disapa Frans Skera, kelahiran Maubesi, Timor Tengah Utara, 3 Desember 1943. Ayah tiga anak itu adalah tokoh Golkar era 1980-an – 1990-an, yang berpikiran kritis. Karakter khasnya itu tetap menempel kuat hingga usia senjanya, 75 tahun, ketika tim buku ini mewawancarainya di Kupang, Sabtu, 24 November 2018. Salah satu buktinya, sudah menulis sejumlah buku. Satu di antaranya berjudul Ciri Khas & Warisan Pemimpin Pemerintahan Provinsi Nusa Tenggara Timur dari El Tari ke Lebu Raya (penerbit Gita Kasih, 2017).

Selain kritis, Frans Skera dikenal sebagai sosok tegas, berintegritas tinggi dan konsisten terkait sikap politiknya. Buktinya, tetap “kuning” hingga usia sepuh, meski pernah “getir” akibat gerilia “faksi” dalam sebuah musyawarah daerah atau Musda Golkar NTT, belasan tahun sebelumnya.

Menyebut kata “faksi” yang berarti kelompok dalam suatu partai politik, terasa serta merta melambungkan angan-angan pada sebuah disertasi doktor yang “diadili” kesahiannya di Universitas Indonesia, Jakarta, Februari 2012. Disertasi itu judulnya: “Analisis Dinamika Faksionalisme Partai Golkar di Era Reformasi”, karya ilmiah seorang sahabat bernama Imanuel Blegur, yang kini bergelar doktor dan diandalkan sebagai salah seorang pemikir Golkar di tingkat pusat. Putra asal Alor, NTT itu sejak akhir Oktober 2018, bertstatus anggota DPR RI melalui mekanisme PAW, menggantikan pendahulunya, Setya Novanto.

Kata dia – melalui disertasinya itu – Golkar sejatinya partai faksional. Jejaknya dari Sekber Golkar 1964, memang terlahir melalui integrasi ratusan faksi fungsional. Faksionalisme internal Partai Golkar berpotensi melahirkan dua dampak, ada negatifnya, tetapi ada pula positifnya. Negatifnya: dalam tubuh Golkar terjadi pembelahan dari pusat hingga daerah. Konflik antarelite pun tidak terhindarkan. Lalu, pengelolaan partai menjadi tidak efektif dan citra Golkar pun ternoda. Dampak negatif lainnya, memunculkan gerakan eksodus sejumlah elite Golkar membentuk partai baru seperti PKPI, Nasdem, Demokrat, Gerindra, Hanura dan lainnya, termasuk yang terakir Partai Berkarya.

Selain negatif, faksionalisme dalam tubuh Golkar – kata Ima Blegur – juga memunculkan banyak dampak positifnya. Sebut misalnya, partai semakin demokratis dan dinamis. Golkar kian matang dan kuat mengelola friski internalnya. Proses agregasi artikulasi dan akomodasi internalnya pun semakin efektif. “Politik klientelisme terus mengalami penggerusan, dan sebaliknya rekrutmen politik internal semakin berkualitas,” jelas Imanuel Blegur.

Faksionalisme Golkar selalu muncul dalam dua momen utama, seperti suksesi kepemimpinan partai Golkar melalui Munas, Munaslub, Musda atau Muspimcam. Juga ketika suksesi kepemimpinan nasional dan daerah seperti pilpres dan pilkada.

Menghadapi jebakan faksi itu, Imanuel Blegur menyarankan dua hal penting kepada jajaran pimpinan Golkar di semua level. Pertama, harus fokus meminimalisasi berbagai dampak negatif tersebut. Namun pada saat yang sama, juga harus terus berusaha mengoptimalkan berbagai dampak positifnya!

Tanda Keadaban Tinggi

Kembali ke Frans Skera. Ia termasuk elite Golkar NTT, yang pernah getir akibat jebakan faksi. Kisahnya berawal dari Musda Golkar NTT tahun 2004. Saat itu, Frans Skera – seturut penuturannya – masuk nominasi menduduki kursi ketua. Ada tiga calon yang ikut bertarung. Pada pemilihan tahap pertama, Frans Skera berhasil meraih suara terbanyak. Namun setelah skors lebih dua jam, dukungan suara tiba tiba berubah. Melalui pemilihan tahap kedua yang menyisakan dua calon, Frans Skera malah kalah telak.

Berbeda denga sejumlah elite Golkar lainnya, Frans Skera tidak melakukan gerakan eksodus. Keteladanannya adalah sikap pilitiknya yang sungguh konsisten, tetap kuning hingga usia tuanya. Menghadapi kegagalan Musda 2004, Frans Skera tetap tampil dengan kepala tegak. Ia sadar keterbatasan “isi tas” menjadi penyebab kekalahan. Atau sebaliknya, bukan karena kompetensinya lemah, pengalaman minim atau integritas pribadi ternoda!

Cermati rekam jejaknya. Ia eks SMP-SMA Seminari Lalian Belu tahun 1950-an dan bergelar S2 program studi Antropololi UI (1997). Bergabung dengan Golkar sejak berstatus mahasiswa IKIP Sanata Dharma Yogayakarta tahun 1960-an, Frans Skera muda pernah menjadi Ketua KNPI NTT (1979-1983). Setelah menduduki sejumlah jabatan harian di Golkar NTT, ia terpilih menjadi Anggota DPR RI dua periode (1987-1997). Sementara di lingkungan eksekutif, Frans Skera terakhir menduduki jabatan Kepala Badan Diklat NTT sejak Maret 1998 hingga pensiun, 3 Desember 2003.

Meski kalah “tak terhormat” dalam Musda Golkar tahun 2004, tidak secuil pun niat meninggalkan Golkar menghampiri Frans Skera. Penopang sikannya adalah karena ia sungguh menyadari bahwa Golkar-lah partai yang membesarkan dirinya. Juga karena sikap konsisten tetap bersama Golkar adalah tanda tingginya keadaban dan martabat dalam berpolitik.

Lebih dari itu, Frans Skera memilih bergabung dengan Golkar, pada awalnya karena tuntunan dua tokoh idolanya. Mereka adalah Pastor Joseph Beek SY dan Hari Tjan Silalahi, yang ketika itu sebagai Direktur Utama Center for Srategic and International Studies atau CSIS di Jakarta. Konon, kedua tokoh itulah yang mempunyai andil sangat berharga bersama Angkatan Darat membidani kelahiran dan membesarkan Golkar sejak berstatus Sekber. Perjumpaan dengan dua tokoh itulah yang meyakinkan Frans Skera bahwa bergabung dengan Golkar merupakan pilihan tepat untuk kiprah politik ke depan.

“Apapun badai yang menghadang, saya dan keluarga tetap kuning,” begitu tegas Frans Skera yang pernah tugas belajar pada Departement of Administrative Studies Victoria University of Mancherster di Manchester Inggris (1974-1975).

Terinspirasi tuntunan kedua tokoh, Pastor Joseph Beek dan Hari Tjan Silalahi, Frans Skera memahami politik sebagai pilihan riil yang harus ditekuni guna memperjuangkan aspirasi kepentingan masyarakat luas, apa pun golongan, suku atau agamanya. Pilihannya adalah bergabung dengan Golkar karena partai ini memang dibangun menjadi rumah bersama bagi seluruh elemen masyarakat dengan segala perbedaanya. Alasan lainnya karena Golkar mengemban misi dan karya mulia: sebagai pengawal Pancasila, NKRI dan UUD 45. Di negara majemuk seperti Indonesia, hanya Pancasila yang mampu mempedomani gerak langkah bangsanya memecahkan berbagai persoalan demi terwujudnya masyarakat adil dan makmur.

Kaderisasi

Frans Skera aktif bersama Golkar sejak 1973. Setelah lima tahun bergabung, ia dipercayakan sebagai Wakil Sekertaris DPD I Golkar NTT (1978) bersama Titus Ully sebagai ketuanya. Saat yang sama ia dipercayakan sebagai Ketua KNPI NTT periode 1979-1984. Pengurus KNPI era kepemimpinannya adalah sosok sosok muda yang kemudian hari menduduki berbagai jabatan penting di NTT. Sebut misalnya Wilem Nope menjadi Bupati TTS. Lainnya, Timo Langgar (Bupati Sumba Barat), Umbu Mehang Kunda (anggota DPR RI dan Bupati Sumba Timur). Lalu Felix Pullu, Acry Deo Datus, Mell Adoe, Raymundus Lema dan lainnya menjadi anggota dan menduduki sejumlah jabatan di DPRD NTT. Contoh itu sekadar bukti yang menyiratkan kaderisasi yang berjalan serius dan efektif.

Kata Frans Skera, Golkar dewasa ini amat berbeda dengan Golkar masa lalu dari sisi perekrutan kadernya. Golkar era Orde Baru tak sulit mendapatkan kader terbaiknya, karena mudah direkrut dari generasi muda pegawai negeri sipil atau dari para aktivis mahasiswa.

Sebaliknya, Golkar era reformasi sudah lepas dari garis komando. PNS dan juga militer termasuk kepolisian tidak agi berada di belakang Golkar. Golkar juga tidak lagi menjadi pilihan idola kalangan eks aktivis mahasiswa yang terpanggil berpolitik, karena sudah hadir banyak parpol lain.

Karena itu, Frans Skera berharap Golkar terutama di NTT supaya melakukan terobosan kreatif merekrut para kadernya. Salah satu bentuknya agar secara berkala menggelar diskusi atau dialog yang melibatkan pemuda atau kalangan mahasiswa. Tema dan bahannya disiapkan oleh kalangan pemuda mahasiswa itu sendiri. Agar lebih seru, sekali sekali kelompok mahasiswa jurusan sama namun dari kampus berbeda, diberi kesempatan mendiskusikan tema tertentu., misalnya tentang kemiskiman. Gokar NTT juga disarankan menggelar lomba cerdas cermat tentang pengetahuan umum, dengan hadiah menarik bagi kalangan pemuda mahasiswa pemenangnya.

Sepuluh tahun menjadi pengurus DPD I Golkar dan satu garus periode sebagai Ketua DPD I KNPI NTT, merupakan modal berharga bagi Frans Skera mengantarkan dirinya ke Senayan sebagai anggota DPR/MPR RI dua periode ( 1987-1997 ). Ini satu contoh bagus untuk diteladani betapa partai politik sangat menghargai kadernya yang berjuang demi organisasi dan tujuannya. Penghagaan itu tentu saja bagi kalangan kader yang teruji melalui PDLT alias prestasi, dedikasi, loyalitas dan tidak ternoda.

Frans Skera melihat tahapan karier politik seperti ia alami dulu sungguh beda dengan sekarang. Belakangan atau sejak memasuki era roformasi, seseorang bisa tiba tiba menjadi caleg asalkan yang bersangkutan berduit atau figur publik.

Ia juga menyinggung mahalnya ongkos politik membiayai pemilihan langsung sejak tahun 2005. Kondisi itu justru menjadi pemicu maraknya kasus korupsi di Indonesia. Seturut pemicunya itu, Frans Skera berpendapat system pilkada sebaiknya ditinjau ulang. Ia malah menyarankan, pemilihan kepala daerah kembali dilakukan oleh DPRD seperti sedia kala. Begitu juga keberadaan gubernur, cukup ditetapkan oleh Mendagri. (*)