Di saat masyarakat adat Lewohala bersiap menggelar pesta kacang, datang kabar buruk dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, bahwa Ile Lewotolok berada dalam status waspada. Warga adat tak panik. Tokoh adat pun tak gentar. Pesta kacang tetap dilakukan. Mereka memaknai itu sebagai pesan magis dari Ile Lewotolok. Apa itu?
Seperti diberitakan kompas.com, Sabtu (7/10) malam, Kepala pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Kasbani mengatakan, Gunung Ile Lewotolok, Kabupaten Lembata, naik status dari level normal (I) menjadi waspada (II). Peningkatan status ini dilakukan setelah memperhatikan analisis data visual dan kegempaan.
“Berdasarkan hasil analisis visual dan kegempaan maka pada tanggal 7 Oktober 2017 pukul 20.00 Wita, Gunung Ile Lewotolok dinaikkan statusnya dari normal ke waspada,” kata Kasbani di Denpasar, Sabtu (7/10/2017).
Menurutnya, Gunung Ile Lewotolok memiliki potensi bahaya lontaran batu pijar dan abu lebat, longsoran material lapuk dari puncak gunung, awan panas yang mengarak ke sektor timur dan tenggara serta gas vulkanik berbahaya.
Dengan adanya peningkatan status ini, Kasbani mengimbau agar masyarakat, pendaki dan wisatawan tidak melakukan pendakian. “Dengan kenaikan status ini kami mengimbau masyarakat untuk tidak beraktivitas pada zona perkiraan bahaya dalam area kawah Gunung Ile Lewotolok dan di seluruh area dengan radius 2 km,” kata Kasbani.
Walau demikian, masyarakat di sekitar gunung diharapkan tetap tenang. Seluruh pihak juga diimbau tetap menjaga kondusivitas suasana di Lembata. “Masyarakat jangan terpancing berita yang tidak jelas sumbernya atau hoaks, dan tidak terpancing isu-isu tentang erupsi Gunung Ile Lewotolok yang tidak jelas sumbernya,” kata Kasbani.
Berita ini sejatinya dianggap biasa saja. Sebab, para tokoh adat Lewohala yang bermukim di lereng gunung Ile Lewotolok sama sekali tak gentar dengan perubahan status itu. Sebab, ada keyakinan kaut bahwa para leluhurnya bersemayam di gunung tersebut.
“Tanpa mengabaikan peringatan dari BMKG, kami tentu tetap waspada. Tetapi kami yakin kalau gunung yang kami percaya tempat bersemayamnya leluhur, tidak akan membuat susah anaknya,” tutur tokoh adat Lewohala, Gabriel Lele kepada Yogi Making dari aksiterkini.com di sela acara ritual adat di kawasan rumah adat Lewohala di lereng gunung Ile Lewotolok, Minggu (8/10/2017).
Sebagai masyatakat adat, sambung dia, kami juga percaya bahwa selama menjalin hubungan kami dengan alam, mungkin saja ada tindakan yang membuat alam tempat bernaungnya, leluhur marah. “Karena itu, perubahan status Ile Lewotolok adalah bentuk peringatan kepada kami generasi Ile Ape untuk menjaga hubungan dengan baik. Menjaga alam seperti menjaga diri kami sendiri. Atau bisa kita bilang, Jangan sampai kita ambil dari alam sesuka hati, lalu kita lupa merawat dan jaga alam,” ucap dia, santai.
Pesta kacang tahun ini memang persis bertepatan dengan pengumuman perubahan status Ile Lewotolok dari BMKG. “Kami orang Lewohala melaksanakan ritual sora uta (pesta kacang), dan ritual ini adalah ritual syukur atas hasil panenan yang kami peroleh selama setahun, sekaligus sebagai ajang rekonsiliasi antara kami sesama anak Lewohala, baik itu dalam rumpun keluarga (suku) dan klen, juga menjadi ajang rekonsiliasi antara kami dengan alam,” tegasnya.
Dia mengungkapkan harapannya agar hubungan masyarakat dengan alam bisa kembali terjalin baik. “Kami berharap dengan acara ini kekecewaan alam terhadap kami anak Lewohala dan anak Ile Ape umumnya, bisa kita perbaiki kembali,” ucap Gabriel Lele.
Dia merasa tidak perlu takut jika leluhur sedang marah. “Kenapa kita harus takut kalau leluhur marah? Tidak. Justru ketika leluhur kecewa, tugas kita adalah periksa kesalahan dan perbaiki kembali hubungan dengan alam,” tandasnya.
Marsel Tuan, tokoh adat Lewohala lainnya justeru memandang perubahan status sebagai hal positif. “Perubahan status yang kami tandai dengan semburan api, menurut kami itu tanda alam, dimana menunjukan tahun baik. Artinya, kalau kami sebagai petani panenan tahun depan akan baik,” ujarnya.
Dia berharap, semua pihak bisa melakukan introspeksi diri berkaitan dengan perubahan status Ile Lewotolok. “Bisa juga karena alam kecewa dengan perilaku manusia, seperti kejadian beberapa tahun silam dimana status gunung meningkat dan sempat membuat panik warga di beberapa desa. Hal ini karena informasi yang kami dapat adalah, ada oknum tertentu yang mengambil belerang di daerah atau tempat terlarang,” tandas Marsel Tuan.
Dia menegaskan bahwa masyarakat adat Lewohala tetap melaksanakan pesta kacang. “Ini ritual tahunan yang wajib dilaksanakan untuk syukur terhadap hasil panen dan bentuk terima kasih kami kepada leluhur yang sudah menjaga dan melindungi kami,” tegas dia.
Tidak Mati Sembarangan
Dikutip dari laman aksiterkini.com, Komunitas masyarakat adat Lewohala di Kecamatan Ile Ape dan Ile Ape Timur, Lembata, tetap menggelar pesta kacang di Lereng Gunung Ile Lewotolok. Mereka sama sekali tak terpengaruh dengan status Ile Lewotolok, yang naik dari level normal (I) menjadi waspada (II).
“Ritual pesta kacang tetap dilakukan masyarakat adat Lewohala. Masyarakat sama sekali tidak terpengaruh dengan gempa yang terjadi dan berbagai peringatan yang disampaikan,” jelas Kepala Desa Kolontobo, Kecamatan Ile Ape, Philipus Payong Lamatapo, kepada aksiterkini.com, Minggu (8/10).
Menurut dia, masyarakat adat Lewohala memiliki keyakinan tobo tana, bonga ili. “Keyakinan tobo tana bonga ili itu sangat kuat dalam masyarakat adat Lewohala. Gempa ataupun kepulan asap yang keluar dari kawah gunung Lewotolok dipercaya sebagai tanda bahwa musim tanam sudah dekat. Dan, orang tidak mati sembarangan. Hanya yang punya kesalahan dalam hidup bisa mati sia-sia jika terjadi bencana,” ujarnya, menjelaskan.
Kepercayaan tobo tana bonga ili, kata dia, mewajibkan warga masyarakat adat Lewohala untuk menggelar upacara pesta kacang secara rutin setiap tahun. “Ini menyangkut hasil panen pada musim tanam nanti. Sehingga kami wajib memberi makan leluhur. Kehidupan kami juga sudah diatur oleh leluhur, lera wulan tana ekan. Tanah dan gunung adalah sumber kehidupan kami masyarakat adat Lewohala,” tandas Philipus Payong Lamatapo.
Disinggung soal peringatan Kepala pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG), Kasbani agar masyarakat, pendaki dan wisatawan tidak melakukan pendakian, dia mengatakan, saat ini agak sulit melarang masyarakat adat Lewohala untuk tidak mendaki menggelar upacara adat. “Apalagi, posisi rumah adat Lewohala masih terhalang oleh sebuah bukit. Sehingga kalau larva keluar, posisi kami agak terlindungi,” ujarnya. (*/jdz)