Silaturahim Menuju Rekonsiliasi

by -193 views
Presiden Joko Widodo (ketiga kanan) didampingi Menkopolhukam Wiranto (ketiga kanan), Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin (kedua kanan) dan Mensesneg Pratikno (kanan) menerima pimpinan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) di Istana Merdeka, Jakarta, Minggu (25/6). GNPF-MUI bertemu Presiden Joko Widodo dalam rangka silaturahmi serta meminta adanya komunikasi dengan Presiden. ANTARA FOTO/Puspa Perwitasari/hp/17

RAMADAN betul-betul bulan berkah. Tak cuma bagi individu muslim, keberkahan Ramadan juga mengalir ke kehidupan bangsa dan negara meski bulan suci itu telah lewat.

Kita bersyukur Ramadan yang penuh damai telah membuat kehidupan sosial setidaknya dalam sebulan terakhir penuh kedamaian. Selama Ramadan, hubungan antaranak bangsa yang sebelumnya cukup kental dengan ketegangan bahkan menjurus perpecahan berubah wajah menjadi hubungan sangat menyejukkan.

Betul bahwa aroma pertikaian belum sepenuhnya sirna, terutama di media sosial, tetapi secara umum kekerabatan sesama anak bangsa kembali terjalin. Toleransi yang sesungguhnya memang menjadi jati diri kita kembali unjuk eksistensi.Tiada persoalam berarti yang menjadi onak dan duri di tengah masyarakat.

Toleransi semakin menampakkan wujudnya saat umat Islam merayakan hari kemenangan, yakni Hari Raya Idul Fitri. Di sejumlah tempat, pengurus gereja menyediakan lahan parkir untuk saudara-saudara mereka kaum muslim yang hendak menjalankan salat Idul Fitri. Kebajikan mereka sangatlah membantu, sama ketika beberapa masjid menyediakan lahan parkir buat saudara-saudara mereka kaum kristiani ketika beribadah Natal.

Sungguh Ramadan dan Idul Fitri membuat negeri ini sejuk. Kehidupan sosial dan politik pun semakin adem dan diharapkan akan kian kondusif setelah para elite memanfaatkan momentum Idul Fitri untuk mengikis sisa-sisa pertikaian. Mereka saling memaafkan, saling membuka hati untuk rekonsiliasi.

Teladan paling gamblang akan kuatnya hasrat merajut kembali tenun persatuan diperlihatkan Presiden Joko Widodo. Dua hari lalu, Jokowi membuka pintu Istana lebar-lebar sebagai arena silaturahmi sesama anak bangsa. Tak cuma dengan para tokoh dan rakyat kebanyakan, Presiden bahkan menerima sejumlah pihak yang selama ini menjadi “lawan’-nya. Salah satunya yakni pimpinan Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI).

GNPF MUI adalah salah satu motor utama demonstrasi bertajuk Aksi Bela Islam untuk menuntut Basuki Tjahaja Purnama ditindak secara hukum karena dinilai telah melakukan penodaan agama. Aksi digelar berjilid-jilid, diikuti jutaan orang, dan punya andil besar bagi munculnya ketegangan nasional. Aksi itu bahkan kemudian “menyenggol” dan menyudutkan Jokowi. Ada sekat tebal tercipta bahwa Jokowi dan kelompoknya serta GNPF MUI dan kubunya berada di posisi yang bersebarangan, bahkan bermusuhan.

Namun, sekali lagi, momentum Ramadan dan Idul Fitri mampu menipiskan sekat itu. Kita angkat topi untuk Presiden Jokowi yang dengan kebesaran jiwa bersedia menerima dengan lawan-lawannya termasuk GNPF MUI. Kita patut mengapresiasi Presiden Jokowi yang dengan jiwa besar membuang jauh-jauh dendam dan sakit hati untuk menjalin silaturahmi dengan semua kelompok.

Tegas kita katakan, itulah watak mulia yang semestinya memang ada dalam diri pemimpin negara. Presiden Jokowi telah menunjukkan eksistensinya sebagai pemimpin tertinggi di Republik ini, pemimpin yang tidak hanya untuk mereka yang menjadi pendukung tetapi juga buat para penyandung.

Dengan pertemuan itu, segala perbedaan sikap dan pandangan bisa dicarikan titik temu, segala buruk sangka pun dapat disingkirkan lewat tabayyun. Lewat pertemuan itu, GNPF MUI bisa mengonfirmasi langsung bahwa Jokowi memang tak mencampuri kasus hukum Ahok, juga bahwa Jokowi selama ini bekerja keras untuk membantu ekonomi umat. Ibarat tak kenal maka tak sayang, pertemuan antara Presiden dan GNPF MUI menepis suara-suara miring soal sikap Jokowi terhadap umat Islam.

Kita boleh berharap, pertemuan Jokowi dan GNPF MUI akan semakin memperlebar jalan bagi upaya untuk menyatukan seluruh anak bangsa yang sempat terkotak-kotak. Setelah sebelumnya juga beberapa kali bertemu dengan para ulama dan tokoh-tokoh lintas agama, kita berharap pertemuan-pertemuan seperti itu terus dilakukan dengan para pemangku kepentingan lainnya. Dengan begitu, perbedaan akan kian mudah disatukan dan saling curiga akan semakin gampang ditiadakan.

Dengan menyatukan sikap dan pandangan, bangsa ini tak akan terus terusan tersandera oleh urusan yang semestinya tak lagi menjadi urusan. Kita pantang terus berkubang dalam perdebatan dan pertentangan menyangkut masalah-masalah sepele dan persoalan ecek-ecek.

Seperti yang berulangkali ditegaskan oleh Presiden, bangsa ini sudah seharusnya bersatu untuk melakukan terobosan-terobosan besar agar tak semakin tercecer dalam persaingan global. Malu rasanya ketika negara-negara lain sudah bicara soal Mars, soal planet lain pengganti bumi untuk tinggal manusia ke depan, kita masih berdebat masalah SARA.

Dengan pertemuan antara Presiden dan GNPF MUI kita mengapungkan asa agar tak ada lagi gejolak yang tak perlu sehingga pemerintah bisa fokus penuh membangun bangsa. Namun, kita juga mengingatkan, pertemuan seperti itu tak boleh menjadi alasan atau bahan pertukaran untuk menggugurkan masalah hukum yang menjerat beberapa orang.

Akan menjadi preseden teramat buruk jika kemudian Presiden sebagai kepala negara menegasikan masalah hukum mereka yang selama ini sekubu dengan GNPF MUI. Biarkan tangan-tangan hukum terus bekerja untuk menuntaskan kasus-kasus hukum itu demi tetap terjaganya marwah kita sebagai negara hukum.

Silaturahim menuju rekonsiliasi di saat Ramadan dan Idul Fitri masih mengalirkan berkah memang kita perlukan untuk betul-betul menyatukan bangsa yang sempat terbelah. Namun, penegakkan hukum juga tak bisa ditawar jika kita ingin menjadi negara maju dan beradab. (miol/jdz)

Foto : Presiden Jokowi bertemu GNPF MUI.