JAKARTA – Ketika bangsa ini memilih jalan reformasi, harapan dan keyakinan akan terciptanya kehidupan yang lebih baik dan lebih berkualitas menjulang tinggi. Namun, meski sudah 19 tahun era reformasi berjalan, keinginan itu sepertinya malah makin jauh dari angan-angan.
Orde reformasi merupakan salah satu perjalanan terpenting negeri ini. Pada Mei 1998 lalu, kita memasuki era kebebasan setelah selama puluhan tahun hidup dalam kekangan Orde Baru yang otoriter.
Era reformasi ialah era baru, era ketika setiap orang dihargai betul haknya. Era reformasi ialah era terang ketika setiap warga negara bisa menjadi subjek, tak lagi sekadar objek pembangunan.
Dengan begitu menjanjikannya era reformasi, asa terhadap perbaikan segala segi kehidupan begitu kuat. Ada harapan besar ekonomi akan tumbuh merata dan berkeadilan. Ada harapan besar hukum betul-betul menjadi panglima sekaligus menunjukkan supremasinya. Pun, demokrasi yang menjamin penuh kebebasan bakal menjadi pedoman berbangsa dan bernegara.
Namun, harus kita katakan, meski sudah hampir dua dekade orde reformasi berjalan, segala harapan dan keyakinan itu masih jauh dari kenyataan. Ekonomi memang terus tumbuh. Kesenjangan antara si kaya dan yang tak berpunya pun kian menyempit walau masih terbilang lebar. Hukum yang di masa Orde Baru menjadi bumper kekuasaan tak jarang masih tajam ke bawah dan majal ke atas. Kepatuhan hukum sebagian elite memudar. Dia yang selama ini doyan menuntut orang dihukum, ketika terkena kasus hukum, malah ngeles dengan sejuta dalih.
Korupsi juga tetap menjadi hobi para pejabat pengelola negara yang rakus. Pragmatisme politik pun tetap merajalela.
Soal demokrasi? Mustahil disangkal bahwa reformasi benar-benar telah membuka keran kebebasan. Bahkan, kebebasan itu bergerak liar seakan tanpa batas. Demokrasi menjadi lepas kendali, bahkan harus jujur kita nyatakan telah berubah menjadi instrumen yang malah mengancam eksistensi NKRI.
Atas nama demokrasi di era reformasi, orang merasa bisa menyuarakan apa saja, bebas menebar fitnah, sampai menghina pemimpin negara. Atas nama demokrasi di era reformasi, orang merasa berhak bertindak semaunya kendati tindakan itu membahayakan negara.
Situasi bangsa terkini ialah bukti nyata bahwa reformasi sebenarnya telah salah arah. Reformasi yang semestinya menjadi jalan menuju Indonesia yang besar, bersatu, dan demokratis, justru berpotensi sebaliknya. Oleh sebagian kalangan, reformasi dibajak dan dibelokkan demi kepentingan pribadi dan golongan. Oleh sebagian pihak, demokrasi dimanfaatkan secara serampangan untuk sekadar merebut kekuasaan.
Demokrasi bahkan mulai menjauh dari rasionalitas. Untuk berkuasa, tidak sedikit elite yang tak malu menempuh segala cara termasuk mengusung senjata politik identitas. Padahal, selama masih ada yang memainkan SARA untuk memenangi kontestasi, yang terjadi sejatinya ialah kemunduran dan keterbelakangan berdemokrasi.
Reformasi yang salah arah hanya melahirkan demokrasi kebablasan yang alih-alih menyatukan, tapi justru berpotensi memecah belah bangsa. Kita tak ingin bangsa ini tercerai-berai, tetapi bukan berarti kita harus meninggalkan demokrasi. Kita sudah berada di point of no return, titik yang tak mungkin kembali ke belakang, ke era otoritarianisme.
Menjadi kewajiban seluruh anak bangsa, terutama para elite, untuk kembali meluruskan arah reformasi. Membuang jauh-jauh politik identitas ialah cara terbaik agar reformasi berjalan di rel yang benar. Berdemokrasi secara bertanggung jawab ialah kiat paling hebat agar reformasi betul-betul bermaslahat buat rakyat.
Bila kita semaunya mengisi orde reformasi, bukan tak mungkin pemikiran bahwa lebih enak hidup di zaman Orde Baru makin lama makin mengakar kuat. Jika itu yang terjadi, siap-siap saja kita kembali ke masa jahiliah. (miol/jdz)
Foto: Ilustrasi