Di tengah makin moderennya dunia pendidikan dengan segala fasilitasnya yang memadai, masih ada juga wajah dunia pendidikan di pedalaman Sikka yang amat memprihatinkan. Gedung sekolah seadanya saja. Semua serba kekurangan. Guru honor pun hanya dibayar Rp 50 ribu per bulan. Ironi di hari pendidikan nasional tahun ini.
MAUMERE – SDN Klatang di Dusun Blawuk, Desa Nebe, Kecamatan Talibura. Sekolah ini jauh dari keriuhan, dan boleh dibilang terletak di daerah terpencil. Segumpal masalah ada di sana, dari lantai tanah, bangunan darurat, tenaga guru, perpustakaan, sampai kepada masalah honor guru.
Sekolah ini berdiri tahun 2007 dengan status sekolah kaki dari SDK Kajowain, Desa Wailamung, sekitar 3 kilometer jaraknya. Selama menjadi sekolah kaki, SDN Klatang hanya punya tiga rombongan belajar yakni Kelas 1, Kelas 2, dan Kelas 3.
Sejak 2014, sekolah ini resmi otonom usai mendapatkan keputusan definitif dari Bupati Sikka Yoseph Ansar Rera. Praktis, rombongan belajar pun mulai bertambah. Kini sudah ada lima rombongan belajar dengan tambahan dua rombongan belajar yaitu Kelas 4 dan Kelas 5.
Jumat (28/4), media ini bersama Tovik Koban dari TVOne dan Ruben Riantobi dari TVRI, didampingi Pastor Paroki Nebe Romo Yan Farokah mendatangi sekolah ini. Kepala SDN Klatang Paulus De’e dan sejumlah guru menyambut dengan hangat.
Ada dua bangunan yang berdiri terpisah. Satu bangunan permanen, dengan tiga ruangan belajar, masing-masing untuk kelas 1, 2, dan 3. Khusus untuk ruangan belajar kelas 1, terpaksa disekat dua bagian lagi, untuk ruangan kepala sekolah dan ruangan guru. Batasan sekatnya menggunakan lemari-lemari yang berisi buku-buku perpustakaan.
Sementara satu bangunan lain terdiri dari dua ruang untuk kelas 4 dan 5. Bangunan ini boleh dibilang bangunan darurat. Tiang-tiang bangunan dari kayu dan bambu. Sedangkan dinding dan atap dari belahan bambu. Seluruh biaya bangunan darurat ini swadaya orangtua murid.
Alvares Bunga Rolan, seorang pelajar Kelas 4 mengaku tidak nyaman mengikuti kegiatan belajar mengajar di bangunan darurat. Namun apa boleh buat, dia dan kawan-kawan berjumlah 8 orang di kelas itu terpaksa bertahan demi mendapatkan ilmu pengetahuan.
“Terus terang kami merasa tidak nyaman belajar di sekolah ini. Lantai masih tanah, atap dan dinding pakai pelupuh, bangku juga begini saja, buku-buku tidak ada, ya semoga ada perhatian dari Presiden Jokowi biar kami bisa belajar seperti teman-teman di sekolah yang lain,” ungkap Fariz yang bercita-cita menjadi Imam.
Untuk tahun ini, pemerintah telah mengalokasikan dana APBD TA 2017 untuk pembangunan 2 ruang kelas baru. Nantinya satu ruangan difungsikan untuk Kelas 6 sehingga bisa menghadapi ujian nasional dengan layak, dan satu ruangan lagi sebagai ruang kepala sekolah.
Tenaga guru, menjadi masalah penting. Hanya ada 7 guru, di mana 2 guru PNS, 1 guru kontrak, dan 4 guru honor komite. Di antara guru honor komite, ada 2 orang tamatan SMA.
Kepala Sekolah SDN Klatang Paulus De’e, mengatakan, ia masih membutuhkan beberapa guru PNS. “Saya sudah beberapa kali minta bantuan tenaga guru PNS dari Dinas Pendidikan Kepemudaan dan Olahraga Sikka, namun sampai sekarang belum dipenuhi,” kata kepsek.
Honor Guru Komite Rp 50.000
Ironi pendidikan di sekolah-sekolah terpencil, tidak hanya dialami para siswa. Realita yang sama juga dirasakan para guru, terutama guru kontrak dan guru honor komite. Seperti yang dialami Apolonia Nango, guru honor komite pada SDN Klatang. Setiap bulan dia hanya menerima insentif Rp 50.000.
Insentif yang sudah kecil itu ternyata tidak dia terima setiap bulan. Biasanya setelah 3-4 bulan baru dia terima sekalian. Hal ini karena sangat tergantung dari kesanggupan orangtua murid membayar uang komite. Sudah menjadi lazim dan dimaklumi, orangtua murid di sekolah ini baru bisa menyelesaikan uang komite setelah berhasil menjual jambu mente, kemiri, atau hasil perdagangan, perkebunan dan pertanian.
Honor yang sudah kecil, lalu terimanya juga 3-4 bulan sekali, terkadang membuat ibu 4 anak ini mengeluh. Apalagi kalau disandingkan dengan kebutuhan dia untuk urusan rumah tangga. Suaminya, Wilibrordus, hanya buruh bangunan yang tidak punya penghasilan tetap.
Kepala Sekolah SDN Klatang Paulus De’e yang ditemui di sekolah itu, Jumat (28/4), mengaku rendahnya pembayaran insentif guru honor komite. Kondisi ini sering dikeluhkan para guru yang bersangkutan. Sebagai pimpinan, dia selalu memberikan motivasi, terutama melihat realitas kehidupan orangtua murid.
Sebanyak 46 murid di sekolah itu diwajibkan menyetor uang komite sebesar Rp 270.000 per satu tahun. Dari uang komite itulah, sekolah membayar insentif guru honor komite. Di sekolah ini terdapat 4 orang guru honor komite dan 1 orang guru kontrak daerah.
Bertahan
Lalu apa yang membuat Apolonia Nango bertahan di sekolah itu? Ternyata perempuan asal Nangapanda, Kabupaten Ende ini punya alasan tersendiri. Sejak kecil, ia memang bercita-cita menjadi guru, yang tugasnya mengabdi dan mencerdaskan bangsa. Karena itu meskipun dengan insentif kecil, dia mengaku bertahan untuk mengabdikan kemampuannya bagi anak-anak yang membutuhkan ilmu pengetahuan.
Sadar karena hanya tamatan SMA, sambil mengajar di SDN Klatang, Apolonia juga tengah melanjutkan studi pada Universitas Terbuka di Kewapante. Sayangnya, karena pendapatan yang kecil, sementara kebutuhan kuliah termasuk transportasi yang tinggi, maka dia berhenti sementara di tiga semester terakhir. Tetapi dia tetap berniat untuk menyelesaikan studi sampai selesai.
Hal lain yang juga mendorong dia untuk terus bertahan di SDN Klatang yakni soal perhatian pemerintah. Rupanya tanah yang kemudian menjadi tempat berdirinya sekolah ini adalah merupakan tanah warisan dari orangtua suaminya, yang adalah turunan asli di wilyah itu.
“Ini tanah warisan orangtua suami saya, sampai sekarang belum dibayar habis oleh orangtua murid. Rencananya kalau ada waktu saya mau bertemu Bupati atau Kepala Dinas untuk menyampaikan ini, sekaligus meminta perhatian dari pemerintah untuk mempetimbangkan nasib saya,” ungkap Apolonia Nango.
Apolonia termasuk guru yang rajin dan aktif mengajar. Setiap hari dia ke sekolah dengan berjalan kaki saja, karena rumahnya di Watubura hanya kurang lebih 300 meter dari sekolah. Dia sudah menjadi guru honor komite sejak 2009. Oleh sekolah dia dipercayakan menjadi Guru Kelas 2 dengan siswa 11 orang. Dia mengajar semua mata pelajaran, kecuali Pendidikan Agama dan Pendidikan Jasmani. (vicky da gomez)
Ket Foto: Meski hanya menerima insentif Rp 50.000 tiap bulan, Apolonia Nango, guru honor komite pada SDN Klatang ini tetap semangat melaksanakan kegiatan belajar mengajar untuk mencerdaskan asnak-anak sekolah di wilayah terpencil.