LAMALERA – Ada yang berbeda dalam ritual pembukaan musim Leva tahun 2017 ini di Lamalera, Lembata. Di tengah makin terkikisnya tradisi ola nue (melaut) dengan jonsonisasi, maka nelayan Lamalera pun menjadi pasrah, dan lebih percaya pada mesin.
“Saat ini orang Lamalera lebih percaya pada mesin. Saat dapat ikan, bagian untuk orang susah dan anak yatim piatu tidak lagi diberikan karena bagian tersebut untuk mesin. Ola Nue (melaut) sudah diganti dengan mesin. Anak-anak muda saat ini tidak lagi dayung, maunya ikut di perahu dengan mesin. Apakah kita pasrah saja. Dimana pendidikan kita untuk melestarikan budaya, Ina Tao Ama Gene. Apakah iman leluhur yang kita anut: Percaya pada Allah (Alepte) atau iman yang dibangun berdasarkn sistem modernisasi yang sedang menghempas dan menyingkirkan kita menjadi orang asing di warisan budaya leluhur ini? Dan karena terasing dari budaya, maka kita gampang tertangkap jerat-jerat hukum,” begitu kata Pater Pieter Dile Bataona, SVD, ketika menjadi Selebran Utama misa Leva di Kapela Santo Petrus dan Paulus, Lamalera, Minggu, 1 Mei 2017.
Uniknya, dalam misa agung itu, Pater Dile yang didampingi Romo Bernard Kedang, Pr, dan Romo Leo Lewokrore, Pr, membacakan injil dan membawa kotbahnya dalam Bahasa Lamalera, sehingga pesannya sangat menggugah nelayan Lamalera, serta semua undangan, termasuk pejabat-pejabat dari Kabupaten Lembata. Tampak pula wisatawan asing dan domestik.
Sehari sebelumnya, di tempat yang sama, Pantai Lamalera, diadakan misa arwah untuk nelayan yang meninggal di laut. Nama-nama mereka sebanyak 39 orang yang meninggal sejak tahun 1917 dibacakan secara khusus. Sebelum misa diakhiri, dilakukan upacara arung lilin dan bunga di laut Lamalera.
Dikutip dari aksiterkini.com, seluruh umat yang hadir larut dalam suasana khusuk. Komentator Theo Bataona juga mengantar umat mengikuti misa dalam bahasa Lamalera. Dalam pernyataan tobat, tuan tanah, Lamafa, Tena Alep (pemilik perahu), Ume Alep (Yang mengatur pembagian ikan), Pnete Alep (perempuan Lamalera) menyampaikan seluruh isi hati mereka. Apa yang mereka lakukan selama musim leva yang berlalu. Dalam bahasa Lamalera, mereka memohon pengampunan Tuhan atas semua kesalahan tersebut. Lagu Ampuni Ya Tuhan mengiringi pernyataan tobat mereka di hadapan altar Kaple St Petrus Paulus Lamalera.
Dalam kotbahnya Pater Dile Bataona mengatakan, dalam injil Yesus mengingatkan bahwa Allah menginginkan semua orang percaya pada putera-NYA. Dulu, ketika agama belum dikenal Lamalera, nenek moyang kita sangat percaya bahwa Allah sudah menyediakan ikan di laut untuk hidup. “Seperti kata Rm Leo kemarin di misa arwah, kita mengambil di tempat yang tidak kita tanam dan kita menuai hasil dari tempat yang tidak kita semai. Allah sudah menyiapkan semuanya. Kita juga berdoa begini saat ada ikan paus: Bao di kperek, puke ribu ratu, bao depe lodo, levo prae malu mara, muge ana kide knuke, gereja hiir kae, gereja hir kae”.”
Pater Pieter juga mengingatkan, “Apa yang harus kita lakukan? Percaya seperti nenek moyang kita atau ikut irama modernisasi, motornisasi yang membuat kita semakin jauh dari semangat iman leluhur kita. Irama motornisasi yang justru membuat kita semakin miskin dalam setiap sendi kehidupan. Semakin miskin karena kita melepas anak suku, mereka tidak dapat bagian karena mereka tidak punya tenaga untuk ikut melaut. Kita semakin miskin karena ikan-ikan harus diuangkan untuk beli minyak solar mesin. Apa yang kita lakukan dilihat-NYA. Semoga leva tahun ini sukses seiring kepercayaan kita yang sungguh-sungguh pada Bapa.”
Misa diakhiri dengan pemberkatan seluruh perahu dan laut yang menjadi medan pencarian selama kurang lebih enam bulan ke depan, juga pelepasan Praso Sapang sebagai tanda mengawali musim lefa tahun ini atau tena fule. (*/che)
Ket Foto : Pater Pieter Dile dan Romo Bernard Kedang didampingi Romo Leo, sedang memberkati laut setelah misa leva, Minggu, 1 Mei 2017.