Cegah Radikalisme Masuk Ruang Kelas

by -145 views

ADA sebuah aksioma yang patut direnungkan terkait dengan Hari Pendidikan Nasional yang diperingati pada hari ini. Aksioma itu menyebutkan rusaknya moral dan tumpulnya etika sosial masyarakat disebabkan semakin suburnya praktik anomali di sekolah. Sekolah, termasuk kampus, mestinya menjadi persemaian nilai kejujuran, kesederhanaan, dan sikap egaliter.

Di sana para siswa dan mahasiswa belajar tentang demokrasi, kejujuran, dan kebebasan berpendapat. Sekolah harus menjadi tempat toleran terhadap realitas keanekaragaman yang ada di masyarakat. Jujur dikatakan bahwa toleransi menjadi barang istimewa di sekolah. Disebut istimewa karena radikalisme di lingkungan akademis, diakui atau tidak diakui, memang cukup menguat, terutama karena sekolah dan universitas ialah lahan subur kaderisasi.

Cara yang dipakai pun bukan lagi mencuci otak, melainkan dengan mengambil hati. Tidak perlulah berdebat soal kenyataan pahit itu. Bukankah belum lama ini Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) mendeteksi gelagat pengajaran bermuatan radikalisme di sekolah-sekolah, bahkan ada yang sejak usia dini? Jauh lebih penting ialah memberikan perhatian dan pendampingan yang lebih besar kepada peserta didik dalam membentuk dan menumbuhkan pola pikir dan perilaku toleran.

Kiranya perlu dibukakan ruang aktivitas yang positif sehingga bisa mencegah tumbuhnya pemikiran dan perilaku destruktif dan radikalisme. Pendidikan kebinekaan harus diperkuat kembali di sekolah-sekolah. Siswa jangan hanya memahami Bhinneka Tunggal Ika dalam Pancasila sebagai pengetahuan, tetapi juga dibimbing untuk mengimplementasikannya dalam kehidupan sejak dari sekolah.

Peluang untuk mendidik kebinekaan sesungguhnya masih terbuka luas. Mayoritas generasi muda menolak tindakan radikalisme berbasis agama. Mereka meyakini bahwa agama tidak mengajarkan kekerasan. Itulah fakta yang terekam dalam hasil survei International NGO Forum on Indonesian Development (INFID) dan Jaringan Gusdurian pada penghujung tahun lalu.

Hasil survei Setara Institute yang dirilis tahun lalu juga setali tiga uang. Survei di kalangan pelajar SMA negeri di Jakarta dan Bandung menyebutkan mayoritas siswa menolak organisasi keagamaan yang hendak menggantikan Pancasila. Mereka juga kontra dengan pelarangan pendirian rumah ibadah, mengafirkan kelompok lain, dan menentang penggunaan kekerasan dalam memperjuangkan keyakinan.

Persoalan serius saat ini ialah bagaimana sikap toleran generasi muda dikawal dan dirawat karena merekalah yang nantinya akan menggantikan generasi sekarang. Jika prinsip toleran tidak dirawat, di masa depan mereka bisa terjebak pada masalah eksklusivitas dan menolak perbedaan yang kini kian merebak di tengah masyarakat. Jujur diakui bahwa eksploitasi perbedaan dilakukan secara terstruktur dan masif selama pemilihan kepala daerah, utamanya di Jakarta.

Kita tidak sudi jika generasi muda meniru anomali perilaku politik para elite yang dipertontonkan secara terang benderang selama proses pilkada berlangsung. Tidak kalah pentingnya ialah melakukan literasi media sosial di kalangan generasi muda. Semakin banyak orang, termasuk generasi muda, terpapar oleh informasi berisi ujaran kebencian di media sosial.

Karena itulah, tidak ada cara lain, negara harus mengambil sikap tegas dalam menghadapi beredarnya ujaran kebencian secara tertulis dan lisan yang dapat mengancam keamanan dan ketertiban masyarakat. Peringatan Hari Pendidikan Nasional pada hari ini hendaknya mendorong lembaga pendidikan untuk senantiasa menampilkan wajah ramah dan toleran terhadap keragaman di negeri ini. Jangan biarkan paham radikal dan intoleransi masuk ke ruang kelas sekolah dan kampus. (miol/jdz)

Foto : Ilustrasi