JAKARTA – Hari-hari ini konsep dan praktik toleransi di Indonesia kembali memperoleh pujian. Akan tetapi, di hari-hari ini juga, toleransi di Indonesia sesungguhnya sedang mendapat ujian. Pujian datang dari luar, sedangkan ujian justru muncul dari dalam. Pujian pertama diungkapkan Presiden Prancis Francois Hollande saat bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Rabu (29/3). Ia memuji kemampuan Indonesia sebagai negara berpenduduk muslim terbesar di dunia menjaga nilai-nilai toleransi dengan baik di tengah keberagaman.
“Melalui konsepsi Islam yang dimiliki Indonesia sebagai suatu cara untuk hidup bersama-sama, kuat menghadapi ancaman terorisme, tapi tanpa diskriminasi terhadap agama mana pun,” kata Hollande. Berikutnya, Duta Besar Amerika Serikat Joseph R Donovan ketika menyambangi Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh di Kantor DPP NasDem, Jakarta, kemarin, menyatakan apresiasinya terhadap Islam di Indonesia yang ia nilai moderat dan modern. Islam yang menghargai keragaman masyarakat, menghargai keyakinan orang lain, dan toleran.
Apresiasi dari dua negara sekuler itu kian melengkapi pujian yang sebelumnya dilontarkan Raja Salman bin Abdulaziz al-Saud, pemimpin Arab Saudi yang merupakan negara Islam, saat ia mengunjungi Tanah Air, awal Maret lalu. Waktu itu ia menyebut Indonesia bisa menjaga stabilitas karena ada harmoni dan toleransi agama. Sebagai warga negara Indonesia, kita tentu patut berbangga dengan pengakuan dan puja-puji itu. Semua itu memperlihatkan bahwa toleransi di Indonesia yang berdiri di atas fondasi kebinekaan dan keberagaman memang tidak salah kita jadikan sebagai pilihan dan pijakan.
Pujian ibarat siraman energi positif untuk kita semakin memperkukuh persatuan. Energi itu amat penting karena pada saat yang sama, harus diakui, toleransi yang dipuji-puji dunia luar tengah dijangkiti virus perusak. Toleransi yang diacungi jempol oleh banyak pemimpin dunia itu sedang dalam cobaan karena turunnya penghormatan terhadap perbedaan dan keberagaman. Dulu, perbedaan dianggap berkah, tapi sekarang tidak lagi. Dulu, perbedaan dan keragaman dipandang sebagai elemen pembangun persatuan, tapi kini malah dijadikan alasan untuk menciptakan sekat dan pengotak-ngotakan.
Saat ini sepertinya banyak orang mulai tidak menyadari bahwa keberagaman merupakan realitas kita, realitas bangsa Indonesia. Masa depan toleransi kian mendapat ujian cukup berat karena bertumbuh suburnya virus sektarianisme dan radikalisme. Islam yang damai dan menenangkan yang selama ini menjadi modal terpenting dari praktik toleransi di Indonesia malah acap dijadikan alasan untuk melakukan aksi radikal. Karena itu, penting bagi kita untuk membaca pujian-pujian terhadap toleransi di negeri ini dengan kacamata yang lain.
Jadikan pujian itu sebagai energi sekaligus reflektor dan cambuk bahwa semangat menyemai toleransi tak boleh kalah melawan gerakan-gerakan antikeberagaman, antikemajemukan, dan radikalisme yang cenderung menguat saat ini. Dalam konteks ini, kita sangat sepakat dengan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang menyatakan kita mesti mengedepankan pemahaman agama yang moderat karena moderasi itu paling relevan dengan kemajemukan Indonesia. Hanya dengan moderasi kita bisa menghargai dan menghormati perbedaan. (miol/jdz)
Foto : Presiden Jokowi dan Presiden Perancis Francois Hollande saat bertemu di Istana Negara.