Kunjungan Pejabat di ‘Musim Pilkada’

by -166 views

(Perspektif Viktus Murin)

PARA pejabat pemerintahan mulai dari level pejabat pusat, provinsi hingga ke kabupaten/kota, dianjurkan untuk lebih sering terjun ke lapangan di tengah-tengah masyarakat agar mampu merekam permasalahan riil masyarakat. Dengan turun ke lapangan, para pejabat yang lazim disebut pemimpin masyarakat itu mampu memperoleh informasi langsung dari masyarakat mengenai permasalahan sosial-ekonomi yang sedang membelit kehidupan masyarakat.

Blusukan, begitu istilah yang dikenal di era pasar bebas media seperti beberapa tahun terakhir ini. Aksi blusukan ini akan sangat efektif hasilnya apabila dilakoni oleh figur pejabat/pemimpin yang memang menjadi ‘media darling’. Namun demikian, di era media sosial seperti sekarang ini, aksi blusukan juga mengundang tafsir sinis bahwa lakon ini tak lebih tak kurang merupakan bagian dari ‘taktik pencitraan’ belaka.

Dulu, jauh sebelum era medsos, pekerjaan turun ke lapangan ini ala pejabat ini sudah sering dilakukan oleh para pamongpraja. Beberapa istilah yang maknanya sepadan dengan blusukan, pernah dikenal di masa dulu diantaranya “turba” (turun ke bawah). Ada juga istilah yang lebih ‘jadul’ yakni “tourne”. Maknanya sama, berkunjung ke lapangan; masuk dari satu desa ke desa atau dari kampung ke kampung, untuk memantau kemajuan suatu program pembangunan. Tujuan dari kunjungan lapangan para pejabat ini sesungguhnya mulia, yakni mengetahui dari dekat masalah-masalah riil yang sedang dihadapi masyarakat, masalah-masalah yang  kentara karena berada langsung di depan batang hidung!

Kunjungan kerja  ke lapangan ala pejabat serta-merta berubah menjadi masalah serius apabila dibungkus dengan tujuan yang tidak murni, misalnya dengan membawa ‘misi’ politik praktis. Kunjungan para pejabat yang dilakukan pada musim pilkada’ dengan demikian tidak akan menyelesaikan masalah masyarakat yang ada di depan batang hidung, tetapi justru menambah masalah baru secara psiko-sosial. Sangat mungkin masyarakat akan menilai diam-diam perihal ketulusan, kredibilitas, dan kewibawaan para pejabat yang datang mengunjungi mereka.

Kunjungan para pejabat di ‘musim pilkada’ memang rada-rada aneh lantaran terlihat lebih intensif, sistemik, dan masif! Patut untuk diragukan tujuan dari kunjungan para pejabat di ‘musim pilkada’ sebab kunjungan tersebut bersifat instan dan cenderung mengelabui.

Mengingat tipologi sosial masyarakat yang berpola patron-klien, maka sangat mungkin masyarakat tidak akan membahasakan secara verbal kesan mereka tentang para pejabat yang datang berkunjung dengan gaya ‘sinterklas’. Tetapi, diam-diam, sangat mungkin akan muncul kasak-kusuk, kenapa gaya lama para pejabat di zaman Orde Baru, malah tambah subur di zaman reformasi sekarang ini? Turun bertemu masyarakat pada saat-saat musim pemilu, lalu melakukan klaim politik mengenai jasa-jasa politik parpol asal di daerah yang dikunjungi. Peduli amat, apakah pembangunan di daerah itu benar-benar berhasil atau malah sebaliknya amburadul dari berbagai dimensi dan konteks. Yang terpenting lakukan klaim dulu. Tidak apa-apa, bukankah tipologi masyarakat politik di negeri ini adalah penurut, peniru, plus pemaaf?

Menyoal Netralitas ASN

Semasa Yuddy Chrisnandi masih menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi (Menpan-RB), dia telah mengeluarkan Surat Edaran bernomor B/2355/M.PANRB/07/2015 yang intinya melarang Aparatur Sipil Negara (ASN) terlibat kampanye sebagai bagian dari aktivitas politik praktis.

Surat Edaran Menpan-RB  itu merupakan penegasan Undang-Undang Nomor 5 tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara, Undang-undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Otonomi Daerah, serta Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 53 tahun 2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil. Jika melanggar, maka para pelanggar aturan tersebut  akan dikenai sanksi sesuai dengan UU Nomor 5 tahun 2014 dengan ancaman  hukuman diberhentikan dengan tidak hormat.

Demikianlah seharusnya bahwa ASN tidak boleh ikut berkampanye untuk kepentingan kelompok politik atau partai politik tertentu. Pertanyaan pun muncul, apabila para pejabat pemerintah turun ke daerah-daerah pada ‘musim pilkada’ dengan menggunakan fasilitas negara, membagi-bagi bantuan karitatif berupa sumbangan atau bantuan sosial, dan atau modus bantuan serupa, lalu secara taktis menitipkan atau meminta masyarakat untuk memilih paket tertentu atas sentimen ikatan emosional satu partai, apakah tindakan yang tidak elok seperti ini dapat dikategorikan sebagai ‘kampanye politik’? Walahualambisawab. Entahlah!

Dalam perkembangan terkini, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan revisi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang ASN menjadi RUU Inisiatif DPR dalam Sidang Paripurna pada pekan terakhir Januari 2017. Kendati isu krusial perihal poin revisi menyangkut tuntutan honorer yang meminta diangkat menjadi PNS, namun terbuka lebar kemungkinan revisi terhadap ketentuan-ketentuan lainnya yang masih memberi celah kepada ASN untuk ‘bermain politik secara halus’, seperti terlihat dalam lakon para pejabat di musim pilkada hari-hari ini.

Dalam kesempatan lain, sebagaimana diberitakan media massa, dalam forum Rapat Koordinasi antara Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan sejumlah instansi pada pekan pertama Februari 2017, yang  membahas kesiapan terakhir penyelenggaraan Pilkada Serentak 2017, Dirjen Otda Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), Soni Sumarsono menegaskan bahwa pihaknya fokus untuk menyoroti persoalan netralitas ASN dalam pilkada serentak.

Dirjen Otonomi Daerah Soni Sumarsono, sebagaimana dikutip media, menyatakan bahwa untuk mengawasi dan menjaga netralitas ASN, pihaknya membutuhkan uluran tangan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dalam hal pengawasan terhadap perilaku ASN. Persoalannya, apakah para pengawas pilkada daerah memiliki kemampuan untuk menegur atau memberi teguran kepada para pejabat yang secara intensif, masif, dan sistemik  melakukan blusukan dengan tendensi politik praktis?  Entahlah. Walaualambisawab!

Fenomena Lokal?

Bagaimana dengan fenomena politik lokal, diantaranya di Lembata yang juga sedang akan menyelenggarakan pilkada? Memasuki musim pilkada seperti sekarang ini, apakah Lembata juga ramai dikunjungi oleh para pejabat di atas level kabupaten, entah pejabat provinsi atau pejabat pusat? Entahlah. Walaualambisawab!

Bila memang ramai dikunjungi para pejabat, maka masyarakat Lembata memiliki “momentum positif” untuk menguji konsistensi para pejabat tersebut dalam merespon pembangunan di kabupatennya. Apakah kunjungan para pejabat tersebut hanya bersifat musiman, sebagai taktik atau siasat mengambil hati rakyat dalam rangka kepentingan sesaat. Atau, sebaliknya kunjungan para pejabat itu benar-benar dalam kerangka menerapkan prinsip akuntabilitas atau pertanggungjawaban kepada rakyat?

Bersamaan dengan itu, apakah institusi penyelenggara pemilu khususnya badan yang diberi wewenang oleh undang-undang sebagai pengawas pemilu,  secara cermat dan rensponsif melakukan pemantauan terhadap pergerakan para pejabat yang turun berkunjung, apakah kunjungan itu murni merupakan agenda kerja pemerintahan atau justeru ada kepentingan politik praktis yang sedang diusung dalam kaitannya dengan momentum pilkada? Semuanya terpulang pada para penyelenggara pemilu sendiri, apakah mau menjaga martabat atau kewibawaan lembaga sesuai tupoksi yang sudah diatur undang-undang, atau membiarkan saja kewibawaan itu tergerus di mata publik.

Perspektif ringan yang saya tulis ini, sejatinya merupakan  apresiasi saya terhadap Redaksi MEDIANTT.Com yang secara kritis mengamati gerak kemajuan peradaban demokrasi lokal. Melalui perspektif ini, saya ingin berbagi sekeping “kenangan” saat saya ikut menjadi kontestan Pilkada Lembata 2011 yakni sebagai calon wakil bupati dari paket Titen mendampingi calon bupati Herman YL Wutun.

Pada saat itu, enam tahun yang telah lewat, saya bukan hanya menyaksikan maraknya kunjungan para pejabat provinsi ke Lembata, tetapi juga ikut menyambut langsung kehadiran Gubernur NTT di pintu kampung leluhur saya, di Ailiuroba, Desa Benihading, Kecamatan Buyasuri, dalam rangka penyerahan bantuan pengembangan prasarana gereja Ailiuroba. Itulah sekeping “kenangan” saya yang sangat saya syukuri. Mengingat dengan kepingan kenangan itu, saya justru menjadi lebih mampu untuk mencermati sekaligus menelisik fenomena unik kunjungan para pejabat di ‘musim pilkada’!  (***)

*) Viktus Murin, Kolumnis/Kini, mengabdi sebagai Tenaga Ahli DPR RI.