Memilih Pemimpin Yang Bebas Korupsi

by -212 views
promoblb

BANYAK kemajuan telah dicapai dalam pilkada di negeri ini. Pilkada makin dekat dalam menciptakan pemerintahan yang sesuai dengan kehendak rakyat. Jalannya ialah dengan memudahkan rakyat untuk memilih calon pemimpin.

Harus diakui, pilkada barulah sekadar pintu masuk. Pilkada bukan filter yang menyaring integritas calon pemimpin tersebut. Filter itu mestinya ada di tangan rakyat yang memiliki hak pilih. Peraturan perundangan belum bisa diharapkan sebagai filter. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota masih bersikap lunak, bahkan sangat lunak, terhadap terduga korupsi. Mereka masih bisa bertarung dengan gagah di pilkada.

Memilih pemimpin yang antikorupsi dan punya komitmen memerangi korupsi seharusnya menjadi panduan bagi 41,2 juta pemilih yang menggunakan hak pilih pada 15 Februari. Menyelisik lebih dalam soal rekam jejak antikorupsi perlu menjadi acuan dalam memilih pemimpin di 101 daerah yang menggelar pilkada serentak.

Kita sebagai rakyat tidak bisa pasif. Malah semestinya, sebagai prajurit demokrasi, kitalah yang menciptakan filter untuk menyaring pemimpin berintegritas. Sudah saatnya kita menolak calon kepala daerah yang terindikasi melakukan korupsi. Jangan sampai sosok yang tercela terpilih dalam pilkada.

Terlebih jika kita melihat dari banyaknya sosok tercela yang justru terpilih di pilkada. Hasilnya, hanya dalam masa singkat kepemimpinan, mereka telah tersangkut berbagai kasus, terutama korupsi.

Sejak 1999 hingga 2016, sudah ada 357 kepala daerah dan wakil kepala daerah yang tersangkut kasus hukum, mayoritas terkait dengan kasus korupsi. Belum lama ini, misalnya, kita juga menyaksikan Bupati Klaten yang terpilih dari Pilkada 2015 menjadi terduga korupsi.

Bupati Klaten Sri Hartini terjaring operasi tangkap tangan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi. Tidak hanya terjerat korupsi, Sri Hartini melanggengkan dinasti politik di sana. Dengan belajar dari contoh kasus yang memalukan itu, sudah saatnya rakyat menciptakan filter sendiri. Pertama, tentunya rakyat harus menjadi pemilih cerdas yang awas terhadap rekam jejak calon pemimpin.

Meski seorang terduga ataupun terdakwa korupsi masih bisa maju dalam pilkada sesuai dengan undang-undang, rakyat harus sadar sepenuhnya bahwa hal itu sudah merupakan indikasi dari kebobrokan integritas. Rekam jejak ini juga bukan hanya menyangkut kiprah di sebuah institusi, melainkan juga perilaku dalam proses kampanye pilkada itu sendiri. Adanya dugaan praktik politik uang semestinya dapat dilihat sebagai indikasi buruk ketidakjujuran.

Permisif terhadap calon pemimpin yang tersangkut oleh kasus korupsi ataupun politik uang sama saja dengan memelihara penyakit bangsa. Rakyat telah berjudi dengan masa depannya sendiri. Peran rakyat sebagai penentu keberhasilan pemilu sesungguhnya bukan muluk. Tidak sedikit negara di dunia telah membuktikan keterkaitan itu.

Ibarat orangtua, rakyatlah yang sesungguhnya paling berperan dalam melahirkan pemimpin yang berkualitas. Jika orangtua bersikap toleran terhadap karakter-karakter buruk, demikian pula sosok yang akan hadir di tengah-tengah mereka. Karena itu, marilah kita menjadi rakyat yang bisa melahirkan pemimpin yang bersih dari ketidakjujuran dan korupsi. (miol/jdz)

Foto : Ilustrasi