Setop Teror Bom Gereja!

by -145 views

SAMARINDA – Pekik tangis warga nonmuslim di Kelurahan Sengkotek, Kecamatan Loa Janan Ilir Samarinda, pecah, usai sebuah bom molotov meledak di halaman depan Gereja Oikumene, Minggu 13 November 2016. Lima anak yang tengah bermain pun menjadi korban dan kondisinya mengkhawatirkan.

Kabar ini, memang mengejutkan. Di jejaring sosial tak perlu waktu lama, isu teror bom gereja di Kalimantan Timur itu meluas. Buktinya, dengan mudahnya foto-foto terkait aksi bom gereja itu pun bisa ditemui.

Ragam pendapat pun bersilangan soal teror bom gereja tersebut. Mayoritas menghujat dan tidak sedikit yang kemudian mengaitkannya dengan isu keagamaan.

Tentunya, bersamaan dengan itu, hujatan pun ikut mengalir deras. Apalagi, dibumbui dengan munculnya foto anak-anak korban bom dan terduga pelaku yang ketika dibekuk sedang mengenakan kaos oblong yang bertuliskan ‘Jihad’.

“Jika di dunia makin banyak yang berpindah ke Islam, di Indonesia malah sebaliknya… tanya kenapa?” tulis salah satu akun facebook di laman komentar menanggapi berita VIVA.co.id yang berjudul Gereja di Samarinda Dilempar Bom.

Tersirat jelas, bahwa representasi konstruksi opini pengguna jejaring sosial itu cukup menakutkan. Komentar itu, seperti menyimpulkan bahwa aksi-aksi terorisme di Indonesia, faktanya kini telah membangun sikap phobia Islam dan menggejala di publik.

Sejauh mana kebenaran itu, jelas butuh pendalaman lebih lanjut. Yang jelas, komentar itu dan konstruksi opini yang dituliskannya menjadi salah satu bentuk posisi publik, terkait munculnya teror-teror yang berkaitan dengan keagamaan.

Tidak Ada Kekerasan dalam Agama

Masifnya kabar teror bom gereja di jejaring sosial, memang cukup memanas. Di twitter, isu soal Gereja Oikumene pun menjadi puncak percakapan. Sejumlah akun terlihat merespons dengan emosional kasus ledakan bom gereja yang disebut-sebut untuk pertama kalinya terjadi di Samarinda tersebut.

Karena itu, Said Aqil Siroj, ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama pun mencoba meredam isu itu dengan menekankan bahwa apa yang terjadi di Samarinda, memang pantas dikutuk. Namun, kata Said, apa yang telah terjadi itu jangan sampai dikaitkan dengan isu keagamaan.

“…Tidak ada kekerasan dalam beragama, dan tidak ada agama dalam kekerasan,” tulis akun twitter resmi milik Said Aqil yang diunggahnya dua jam berselang terjadinya ledakan di Gereja Oikumene Samrinda.

Cuitan ketua salah satu ormas Islam terbesar di Indonesia itu pun menuai reaksi. Ratusan retweet mengalir dari apa yang menjadi perhatian Said Aqil. Meski begitu, uniknya dari puluhan respons atas imbauan Said, faktanya netizen yang membalas status itu, justru masih saja mengaitkannya dengan isu Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama, atau Ahok yang sedang tersandung isu penodaan agama.

“Ya saya juga mengutuk itu, tapi akok menghina AlQuran mengatakan Alquran bohong ko diam seribu bahasa. Ada apa ini?” tulis akun bernama hamim janim @hamim_janim di linimassa Said Aqil Siroj.

Presiden Joko Widodo pun ikut berupaya menghindarkan publik untuk terjebak isu provokasi terkait keagamaan meluas. Dalam pernyataannya, Jokowi menyebut bahwa siapa pun pelaku bom haruslah diusut tuntas. “Dilakukan sebuah penegakan hukum yang tegas. Mengusut secara tuntas pelaku,” kata Jokowi.

Tak terkecuali, Kapolri Jenderal Tito Karnavian. Ia juga mengisyaratkan, agar publik berhati-hati terhadap isu provokasi di balik ledakan bom tersebut. Tito meminta, agar publik mempercayai penegak hukum untuk menelusurnya. “Tolong masyarakat tenang. Percayakan kepada penegak hukum,” kata Tito.

Buruknya Deradikalisasi?

Lalu, apakah kemudian isu bom gereja ini cukup didiamkan begitu saja? Secara prinsip untuk yang berkaitan dengan isu provokasi memang patut dihindari. Sebabnya, ini secara tidak langsung telah menanam teror dan membuat publik, justru mengalami ketakutan tidak terkontrol dan memberi ruang komunikasi massa baru bagi teroris.

Hanya saja, memang yang patut diperhitungkan dalam bom gereja di Samarinda ini adalah pelakunya, Juhanda, atau Jo (37). Lelaki berambut gondrong dengan baju kaos oblong hitam bertulis Jihad dan tertangkap warga usai meloncat ke Sungai Mahakam itu bukanlah orang baru.

Ya, Juhanda sudah populer sebelumnya di 2011. Ia adalah mantan perancang bom modus baru, yakni bom buku. Juhandalah yang merakit dan mendalangi teror bom di Pusat Penelitian Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di Tangerang lima tahun silam.

Atas perbuatan itu, Juhanda pernah diganjar penjara selama 3,5 tahun pada 2012. Namun, karena ia berlaku baik, lelaki yang hanya menamatkan pendidikan hingga SMA itu akhirnya bebas pada 2014, dengan remisi pada saat Idul Fitri.

Usai kebebasannya sekira Juli 2014, Juhanda pun hilang tak berbekas. Namun, ia kembali muncul beberapa bulan kemudian di Kota Parepare Sulawesi Selatan.

Saat itu, pria yang pernah berprofesi sebagai buruh harian itu kembali tertangkap polisi. Perkaranya, Juhanda rupanya menyimpan sejumlah atribut kelompok Islam radikal di Suriah, atau ISIS dan disebut-sebut hendak membunuh istrinya yang meninggalkannya usai dinikahi di Lapas Klas I Tangerang.

Juhanda pun kembali diciduk polisi tepat pada 1 September 2014. Dan entah mengapa, kemudian Juhanda dibebaskan. Kata kepolisian setempat, Juhanda tidak bisa dipidana hanya karena membawa bendera ISIS.

Apalagi, tidak ada bukti yang mengaitkan Juhanda mengajak orang untuk bergabung dengan ISIS, atau gerakan radikal. Karena itu, Juhanda pun dibebaskan dan sejak itu juga dia menghilang.

Hingga akhirnya terjadilah ledakan bom di Gereja Oikumene Samrinda Kalimantan Timur pada 13 November 2016. Dan, siapa nyana, pelaku yang tertangkap itu rupanya Juhanda, yang telah beberapa tahun menghilang.

Ya, Juhanda berulah lagi. Lima anak-anak yang bermain di halaman gereja menunggu orangtuanya beribadah menjadi korban Juhanda. “Ini sudah terorisme. Kami akan dalami jaringan mana pelaku ini,” kata Kapolda Kalimantan Timur Safaruddin, usai menjenguk para korban bom.

Tak pelak, terbongkarnya siapa Juhanda menjadi sorotan. Sebab, apa yang dilakukan Juhanda menjadi bukti bahwa ternyata program deradikalisasi untuk mantan terorisme, ternyata seperti tak membuahkan hasil.

Juhanda menjadi contoh itu. Berselang dua tahun dibebaskan dari penjara dengan kasus yang sama, ia pun kembali membuat teror serupa dan melukai sejumlah orang.

Lalu, bagaimana dengan sikap Polri soal munculnya Juhanda ini? Kepolisian sepertinya enggan membahas ini lebih jauh. Hanya saja, mereka memastikan telah memperkirakan jaringan Juhanda dalam pergerakan terorisnya.

“J diduga terkait jaringan teroris kelompok JAD (Jamaah Ansharut Daulah) Kalimantan Timur, yang memiliki koneksi dengan jaringan Anshori Jawa Timur,” kata Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Boy Rafli Umar di Jakarta.

Yang jelas, terlepas dari itu. Kemunculan Juhanda, memang menjadi sebuah bukti bahwa persoalan terorisme itu tak segampang dikira. Hal inilah yang sebelumnya sudah dipaparkan mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Din Syamsuddin beberapa waktu lalu.

“Deradikalisasi malah membentuk radikalisme baru,” kata Din April lalu.

Karena itu, kata Din, penanganan terorisme tidak bisa mengandalkan deradikalisasi semata. Sebab, hal itu melupakan bahwa ada faktor lain selain agama yang membelit seorang mantan teroris.

Isu soal kemiskinan, kesnejangan sosial adalah hal yang tak bisa dilupakan begitu saja kepada seorang mantan teroris. Terorisme, kata Din, harus dipandang sebagai hal yang muncul karena beragam faktor seperti kemiskinan dan tindakan pemerintah sendiri terhadap orang-orang yang disebut teroris yang cenderung menekan.

“Saya meyakini, terorisme tidak bisa diberantas, jika tidak dengan cara yang komprehensif. Kalau sekarang, cara kita menangani terorisme justru melanggengkan terorisme itu sendiri,” kata Din. (asp/jdz)

Ket Foto : Kondisi bocah yang menjadi korban teror bom di Gereja Oikumene Samarinda, Minggu, 13 November 2016.