Tak Realistis, Penaikan Tunjangan DPRD Ditunda

by -138 views

JAKARTA – Di tengah seretnya penerimaan negara, muncul permintaan dari kalangan DPRD agar pemerintah menaikkan tunjangan mereka, para wakil rakyat di daerah. Alasannya, sejak era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang dimulai pada 2004, tunjangan DPRD belum pernah naik.

Bak gayung bersambut, Presiden Joko Widodo menyatakan telah menyetujui Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Kedudukan Keuangan dan Administratif Pimpinan dan Anggota DPRD. PP tersebut bakal memberi jalan bagi penaikan tunjangan.

Akan tetapi, Presiden menambahkan, pengesahan PP tersebut masih ditunda mengingat pemerintah tengah berupaya keras menghemat belanja negara. Ada nuansa keprihatinan yang menuntut semua lembaga pelat merah, tidak terkecuali DPRD, memaklumi sekaligus menunjukkan empati.

Lagi pula, bagi masyarakat kebanyakan, penghasilan anggota DPRD sudah cukup jauh di atas standar hidup yang layak di Republik ini. Tidak ada salahnya bersabar hingga perekonomian negara membaik. Pun, lazimnya penaikan penghasilan mengikuti kenaikan kinerja. Jika ditilik lebih jauh, kinerja DPRD secara umum minim prestasi. Bahkan, rendahnya peran DPRD dalam proses legislasi dan penganggaran di daerah turut membuat indeks demokrasi Indonesia menurun sepanjang tahun lalu.

Berdasarkan studi Badan Pusat Statistik (BPS), Indeks Demokrasi 2015 hanya berada di angka 72,82 atau lebih rendah ketimbang capaian 2014 sebesar 73,04. Belum lagi anggota DPRD yang terjaring tindak pidana korupsi seakan tidak ada putusnya. Sejak 2010 hingga Maret 2010, tercatat ada 42 anggota DPRD yang tepergok melakukan korupsi.

Tentu saja, penghasilan dengan 10 jenis tunjangan yang diatur dalam PP Nomor 37 Tahun 2006 tidak cukup untuk menunjang gaya hidup mewah layaknya pengusaha kaya raya, gaya hidup yang kerap dikejar dengan menggadaikan integritas. Bagi mereka yang tidak segan menggarong uang rakyat, penghasilan yang layak tidak ada batasnya. Sia-sia pula jika nafsu mereka diupayakan untuk diredam melalui penaikan tunjangan. Bahkan, ancaman penindakan tampaknya tidak membuat mereka takut sehingga roda korupsi terus berjalan.

Kita perlu mengingatkan kembali, menjadi pelayan publik bukan untuk mengejar gaya hidup mewah. Bukan pula untuk melindungi kepentingan segolongan orang. Walaupun klise, inti kerja pelayan publik ialah pengabdian, tetapi tetap diganjar dengan penghidupan yang layak oleh negara. Layak dengan tolok ukur yang wajar, sesuai tingkat kesejahteraan rakyat.

Ketika kesejahteraan rakyat meningkat yang didorong kinerja pelayan publik, tidak ada salahnya muncul tuntutan penaikan tunjangan. Akan tetapi, di saat perekonomian tengah lesu dan masyarakat kebanyakan pun harus mengencangkan ikat pinggang, tuntutan semacam itu hanya melukai hati rakyat. Publik pun berharap Presiden konsisten bersikap prihatin dengan tidak tergesa-gesa mengesahkan penaikan tunjangan pejabat. Jangan menyerah pada desakan yang tidak mempunyai empati keprihatinan anggaran. (mi/jdz)

Foto : Sejumlah anggota dewan terlihat tidur saat sidang paripurna.