JAKARTA – Komisi XI DPR RI menilai, postus APBN saat ini tidak realistis, dan cenderung keluar dari logika. Karena itu, Ketua Komisi XI Melchias Markus Mekeng mengingatkan pemerintah agar di masa mendatang tidak lagi ambisius dalam menentukan target penerimaan APBN. Pemerintah boleh saja melakukan ekspansi tapi harus realistis. Sebab jika tidak realistis, maka terpaksa mencari jalan keluar melalui utang, yang berakibat tidak bertumbuhnya ekonomi rakyat.
Penegasan itu disampaikan Mekeng, Kamis akhir pekan lalu, saat memimpin Rapat Kerja dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani di Gedung Nusantara I DPR/MPR Senayan, Jakarta.
Selain membahas perihal rencana pemangkasan anggaran Kementerian/Lembaga dan Transfer Daerah, Raker Komisi XI juga membahas perihal perkembangan capaian atau hasil dari kebijakan Tax Amnesty.
“Postur APBN saat ini tidak realistis dan cenderung keluar dari logika. Menaikkan angka 10 triliun saja sudah susah apalagi 200 triliun?” sanggah politisi Partai Golkar dari Dapil NTT-1 itu, menanggapi penjelasan Menkeu Sri Mulyani mengenai terobosan pemerintah dalam menyeimbangkan target penerimaan.
Menkeu Sri Mulyani dalam paparannya di hadapan Komisi XI mengatakan, kondisi perekonomian dunia diwarnai oleh adanya kondisi ‘stagnasi sekuler’. Untuk itu, diperlukan penyesuaian akibat lingkungan dunia yang berubah, ditandai dengan munculnya fenomena ‘penuaan’ kondisi ekonomi di Tiongkok. “Indonesia sendiri sedang berada dalam posisi penguatan ekonomi nasional. Sehubungan dengan ini diperlukan kebijakan fiskal yang berdampak signifikan terhadap tujuan yang telah ditetapkan. Stagnasi sekuler berdampak langsung pada dimensi penerimaan APBN khususnya dari sektor pajak diantaranya sub-sektor pertambangan dan penggalian.
Perihal inflasi, Sri Mulyani mengatakan, hampir semua negara saat ini mengalami inflasi menurun. Setiap negara maunya mengelola inflasi rendah dan tidak masuk dalam area deflasi. Dia menunjuk sektor pertanian berperan penting dalam menjaga stabilitas inflasi. Dalam pada itu, repatriasi diharapkan bisa menjadi sumber-sumber investasi seiring dengan berkurangnya belanja konsumsi masyarakat.
Menyinggung kondisi penerimaan negara, Menkeu Sri Mulyani mengatakan, fenomena pelambatan ekonomi tidak terjadi secara massif. “Tidak semua daerah mengalami pelambatan ekonomi, misalnya Kalimantan bertumbuh tetapi Papua negative growht. Sumatera dan Jawa masih cukup lumayan. Sedangkan Sulawesi cukup tinggi,” ujar Sri Mulyani.
Menunda DAU, Bukan Memotong
Menkeu Sri Mulyani di hadapan Komisi XI juga menjelaskan perihal rencana pemotongan sejumlah item anggaran pada pos Kementerian/Lembaga, dan dana Transfer Daerah. Dia memastikan bahwa pemerintah tidak memotong Dana Alokasi Umum (DAU) tetapi menunda pencairannya. Berkaitan dengan penghematan Transfer Daerah, dan Dana Desa, sedikitnya ada 187 daerah yang terkena penghematan.
Penundaan DAU itu juga dirancang sesuai dengan kategori dimana kategori Sangat Tinggi ditunda hingga 40 persen, kategori Tinggi sebesar 30 persen, dan kategori Cukup Tinggi 20 persen. “Gaji dan tunjangan tidak dapat dipotong. Bansos dan bantuan untuk kelompoik miskin pun tidak dipotong,” tegas Sri Mulyani.
Sri Mulyani juga menjelaskan, penghematan alokasi anggaran Kementerian/Lembaga pada prinsipnya dilakukan secara selektif dan berdasarkan pada sisa anggaran yang belum terserap. Langkah penghematan tidak menyentuh domain infrastruktur, tapi pada item-item teknis seperti rapat-rapat dan lain sebagainya. “Kementerian Keuangan sendiri juga merupakan satu dari 15 kementerian besar yang anggarannya dipotong. Anggaran Kemenkeu yang dipotong mencapai sekitar Rp 3,5 triliun,” tegas ekonom wanita terkemuka jebolan Universitas Indonesia ini.
Pada peruntukan taktis tertentu, Sri Mulyani mengakui, Kemenkeu bahkan meminjam dari kas Pemda DKI sekitar Rp.12 triliun dengan cara menunda dulu realisasi DAU untuk DKI ke tahun berikutnya.
Menanggapi penjelasan Menkeu Sri Mulyani, para anggota Komisi XI dari sepuluh fraksi yang mengikuti Raker, umumnya menyoroti kecerobohan pemerintah dalam hal postur APBN yang ambisius, tidak realistis, tidak kredibel, dan bahkan cenderung mustahil. Kendati begitu, sejumah anggota Komisi XI tetap memberikan apresiasi kepada Menkeu Sri Mulyani yang berani mengambil langkah-langkah penghematan guna menyeimbangkan neraca APBN.
Kehadiran Sri Mulyani dalam Kabinet saat ini dianggap lebih bisa menormalkan regulasi keuangan yang berpengaruh kepada stabilitas ekonomi. Perihal Tax Amnesty, umumnya Anggota Komisi XI berpandangan bahwa masih terdapat kelemahan mendasar dalam strategi sosialisasi oleh aparat pajak. Di daerah-daerah para Wajib Pajak justru mengalami syndroma ketakutan lantaran menganggap Tax Amnesty sebagai ancaman. Menkeu Sri Mulyani pun mengakui masih sejumlah kelemahan itu, dan berjanji segera melakukan penataan. (*/jdz)
Ket Foto : Ketua Komisi XI DPR RI, Melchias Markus Mekeng.