Kampung Adat Namata Yang Sakral dan Keramat

by -664 views

Sabu Raijua punya destinasi wisata tradisional, yang masih sangat kental dengan nuansa adat dan ritual. Kampung adat Naimata, sebuah area dengan batu megalitik berkekuatan gaib. Bagi orang Sabu, kampung itu sakral dan keramat. Tempat pemujaan terhadap leluhur dan orang yang telah meninggal.

Rabu 17 Agustus 2016, usai meliput peringatan HUT Proklamasi RI ke-71 di halaman Kantor Bupati Sabu Raijua, di Menia, mediantt.com bersama belasan wartawan Kupang berwisata ke Kampung Adat Namata, di Desa Raeloro, Kecamatan Sabu Barat, yang juga salah satu bukti sejarah peradaban agama Jingtiu yang memuja dewa-dewa. Untuk itu, Sabu Raijua sering disebut Negerinya para dewa.

Jaraknya dari pusat Kota Seba, hanya sekitar 3 km. Di kampung itu, wisatawan bisa menikmati suasana alam dan perkampungan yang masih memegang teguh adat dan tradisi nenek moyang. Di sana ada batu megalitikum, yang punya kekuatan gaib. Menurut cerita, datangnya batu-batu itu berkat panggilan dari leluhur untuk dijadikan alat pemujaan. Uniknya, pengunjung tidak boleh memperlakukan batu itu secara sembarangan, apalagi menginjaknya karena bisa menimbulkan penyakit pada saat meninggalkan Kampung Namata.

Keindahan dari susunan batu megalitikum dan rumah adat Sabu merupakan sajian yang sulit didapatkan di tempat lain. Di kampung itu, penduduk melakukan beberapa upacara adat, seperti upacara perkabungan untuk menghormati leluhur dan orang yang telah meninggal. Juga, ada upacara menurunkan hujan, menghilangkan penyakit, dll. Di dalam kampung tersebut, pengunjung atau wisatawan dianjurkan untuk memakai pakaian khas mereka yaitu selimut dan sarung motif Sabu yang disediakan warga.

“Kampung adat Namata adalah tempat upacara ritual yang dibuat upacara perkabungan dari pemangku adat (mone ama) yang meninggal, mengusir bala penyakit dan menurunkan hujan,” kata Penjaga Kampung Namata, Beni Keina, kepada wartawan, Rabu 17 Agustus 2016.

Ia bercerita, kampung adat Namata adalah perkampungan yang di dalamnya ada megalitik dan didiami oleh para pemangku adat (mone ama). Megalitik itu digunakan sebagai media tempat melakukan ritual dan pemujaan para dewa leluhur. “Tempat ini masih keramat,” ujarnya.

Menurut dia, menurut kepercayaan mereka ada 9 pemangku yang mendiami kampung adat Namata yakni, Deo Rai (kepala), Pulodo (dewa matahari), Rue (dewa penyakit), Bekka Pahi (dewa bumi), Maukia (dewa kesuburan) Kenuhhe (dewa laut). “Di kampung Namata ini mereka lakukan kekuasaan adat,” ujarnya.

Konon, batu-batu yang ada di dalam perkampungan Namata memiliki kekuatan magic sangat tinggi seperti batu panggilan secara gaib dan sihir. “Di sini masih sangat gaib, pengunjung atau wisatawan yang masuk tidak boleh sembarang menginjak batu-batu itu karena kalau salah injak pulang bisa sakit,” katanya, mengingatkan.  

Ritual Pemau do Made

Dari Kampung Namata juga terungkap cerita, bahwa bagi masyarakat Sabu dan Raijua yang masih menganut kepercayaan Jingtiu, maka kematian adalah proses menuju dunia keabadian atau nirmawa/surga. Artinya, jika seseorang meninggal dunia, maka masih ada sejumlah proses ritual yang harus dilakukan oleh keluarga yang masih hidup. Penganut Jingitiu meyakini bahwa roh orang yang meninggal dunia akan melenggang ke nirwana bila telah dilakukan penyucian arwah atau pemau do made. Ritual ini ditandai dengan korban sembelian mulai dari ternak kecil hingga yang besar, tergantung strata sosial seseorang.

Ritual “Pemau do Made” dilakukan selama tiga hari berturt-turut. Hari pertama, semua keluarga dari orang yang meninggal berkumpul, dengan membawa ternak dan makanan berupa beras atau kacang hijau. Kaum perempuan bertanggungjawab mengumpulkan makanan berupa beras, sementara para lelakinya bertanggungjawab mengumpulkan ternak.

Setelah semuanya berkumpul, maka pada hari kedua dilakukan ritual penyucian bagi setiap orang yang telah meninggal di kuburan mereka masing masing, yang ditandai dengan batu. Kuburan orang mati yang masih jingitiu berbentuk bulat. Setiap keluarga dari yang meninggal seperti anak, istri atau kakak adik dan ibu bapaknya memakai pakaian adat dengan motif tertentu sesuai strata sosialnya.

Mereka diterima oleh orang yang paling dituakan dalam kampung sambil melafalkan mantra keramat agar yang telah meninggal tidak boleh lagi mengganggu keluarga yang masih hidup karena mereka akan disucikan jalannya menuju nirwana. Mereka sudah berbeda alam dengan dunia orang hidup.

Ritual ini ditandai dengan memasak berbagai jenis makanan mulai dari beras merah, kacang hijau, kacang hitam, beras ketan, maupun sorgum dalam sebuah peruik tanah. Yang memasaknya adalah wanita-wanita tua dan selama proses memasak tidak boleh berbicara. Setelah itu, beberapa pemangku adat telah menyiapkan seekor domba putih di pintu luar kampung sebelah barat untuk dipotong menjadi dua.
Domba putih yang dipotong dua ini adalah lambang persembahan dan kurban bakaran bagi sang khalik sebagai tanda penyucian bagi mereka yang telah meninggal. Binatang korban ini tidak boleh dimakan oleh orang yang satu suku dari orang yang ada dalam kampung tersebut karena akan mendatangkan malapetaka,” kata tokoh masyarakat dan pelaku adat Sabu Timur, Huki Tade.

Pada malam hari, bagi orang mati yang meninggalkan istri atau suami, dilakukan ritual khusus dimana mereka berpakaian putih dari kaki hingga kepala menyerupai pocong, kemudian dibawa keluar kampung pada tengah malam dengan nyanyian adat dan tangisan ratapan menuju tempat pembuangan barang barang yang kotor dan berdosa. Setelah dari situ mereka dimasukkan ke rumah adat lalu disucikan dengan air dan asap dupa.

Pada hari ketiga, dilakukan prosesi bunuh binatang untuk dibagikan kepada setiap orang yang datang membawa sumbangan, baik itu berupa ternak, beras atau uang. Ratusan binatang akan dipotong kemudian dibagikan dalam sebuah tempat yang dalam bahasa sabu di sebut “pai”.

Malam harinya digelar kegiatan yang mengekspresikan kegembiraan berupa permaian lompat alu, juga tarian Pedoa secara massal. Ritual penyucian arwah ini akan dikatakan genap dan selesai setelah tiga kali purnama. Ritual ini disebut “Dabo Rao”.

Ternak yang belum dibunuh pada ritual “pemau do made” akan dibunuh pada ritual “dabo rao” untuk dimakan bersama oleh keluarga sebagai tanda suka cita bahwa keluarga mereka telah tiba di nirwana. (jdz)

Ket Foto : Batu-batu Megalitikum yang menjadi tempat pemujaan kepada para dewa, sekaligus ritual bagi mereka yang sudah meninggal.