Mengharapkan DPR yang Bermutu

by -120 views

JAKARTA – Kualitas sebagian anggota DPR ibarat peribahasa ‘jikalau di hulu airnya keruh, tidak dapat tidak di hilirnya tentu keruh juga’, buruk karena perekrutannya juga buruk. Untuk menjadikan dewan lebih bermutu, perbaikan proses sejak dari sumbernya ialah sebuah kemestian.

Semangat itulah yang mengiringi Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilihan Umum yang kini terus dimatangkan pemerintah. Terdapat 13 poin krusial dalam rancangan tersebut, baik untuk memilih anggota dewan maupun presiden dan wakil presiden yang memang digelar serentak pada Pemilu 2019 mendatang.

Sejumlah ketentuan diajukan, beragam aturan disodorkan pemerintah untuk dibahas bersama DPR dengan satu tujuan, yakni menjadikan pesta demokrasi lebih berkualitas sehingga hasilnya lebih berkualitas pula. Terkait dengan sistem pemilu legislatif, misalnya, pemerintah hendak mengubahnya menjadi setengah terbuka atau terbuka terbatas. Sistem ini memungkinkan pemilih mengetahui nama-nama caleg yang diusung partai, dan partai dapat menentukan kader terbaik sesuai nomor urut.

Sistem itu merupakan jalan tengah antara sistem proporsional tertutup dan sistem proporsional terbuka yang pernah diterapkan. Harus kita katakan, sistem tertutup memang sulit menghasilkan anggota dewan sesuai yang diinginkan rakyat karena sepenuhnya ditentukan partai. Di lain sisi, sistem terbuka cenderung memimbulkan kampanye berbiaya tinggi dan persaingan tak sehat di internal partai.

Pengetatan syarat bagi kandidat juga jelas terlihat. Nantinya seseorang tak bisa tiba-tiba berkontestasi, tetapi harus menjadi kader partai politik minimal satu tahun. Tidak seperti yang sudah-sudah, mereka tak boleh sekonyong-konyong menjadi calon hanya bermodalkan popularitas dan kekayaan, padahal miskin pemahaman politik.

Meminjam istilah tim pakar dalam penyusunan RUU Pemilu, pesta demokrasi selama ini bagaikan ‘pasar hewan’. Artis atau pengusaha yang tak pernah belajar politik masuk partai politik, langsung diterima partai politik, lantas disorongkan sebagai caleg.

Dengan aturan segampang itu, tak mengherankan jika DPR dihuni banyak selebritas, pebisnis, atau sosok berpengaruh lain yang cuma mengandalkan ketenaran dan uang, tetapi minim pengetahuan, apalagi kemampuan, di bidang politik. Jangankan memperjuangkan kepentingan rakyat, tugas pokok sebagai wakil rakyat pun mereka tak paham.

Karena dihuni sembarang orang, DPR yang sejatinya merupakan lembaga terhormat terus menjadi cibiran rakyat. Wajah DPR kusam karena buruknya mutu anggota dewan. Istilah bahwa DPR hanya menjadi tempat lalu lalang tubuh, bukan tempat bertarungnya ide dan gagasan, melekat hingga sekarang. Tak aneh jika hasil survei konsisten menempatkan DPR di jajaran lembaga yang paling tidak kredibel di mata rakyat.

Apa pun, DPR tetap dibutuhkan Republik ini, tetapi tak boleh sekadar menjadi pelengkap demokrasi. DPR akan ideal jika dihuni orang-orang yang berkualitas. Pengetatan syarat menjadi caleg seperti di RUU Pemilu bisa menjadi awal untuk menuju arah itu. (mi/jdz)

Foto : Ilustrasi