Akhiri Saja Penjegalan Calon Perseorangan

by -141 views

JAKARTA – Politik di negeri ini dalam hari-hari terakhir kerap mempertontonkan kekonyolan. Sumbunya bersumber dari kehendak sejumlah elite politik untuk menghadang, bahkan menjegal, jalan seseorang menuju tampuk kepemimpinan nomor satu di daerah lewat jalur perseorangan. Demi menuruti syahwat menjungkalkan calon perseorangan dalam pemilihan kepala daerah tersebut, beragam cara terus diupayakan bahkan dengan menerobos prinsip taat asas. Padahal, taat asas merupakan salah satu prinsip terpenting dalam sistem ketatanegaraan di negara demokratis.

Dalam prinsip tersebut, institusi-institusi yang ada di negara ini tidak boleh saling mengintervensi, apalagi memaksakan kehendak, demi memenangkan kepentingan sempit para sekutu mereka. Namun faktanya, justru di prinsip itu banyak elite politik yang abai. Baik aturan maupun undang-undang diterobos seenaknya demi mengamankan kepentingan kelompok.

Nuansa itulah yang pekat terjadi saat Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah menggulirkan wacana keharusan adanya formulir standar bagi calon independen yang hendak maju dalam pilkada. Jika usul Fahri diterima, calon independen seperti Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok bakal kesulitan menempuh jalur tersebut karena harus mengulang pengisian formulir dukungan dari awal.

Wajar belaka bila banyak yang menilai permintaan itu tidak masuk akal untuk diimplementasikan karena waktunya terlalu mepet dengan perhelatan pilkada, termasuk Pilkada DKI Jakarta 2017. Lebih-lebih lagi, Undang-Undang Pilkada yang baru disahkan DPR tidak mensyaratkan perlunya standardisasi formulir untuk calon independen.
Karena itu, sulit untuk tidak menyebut bahwa keinginan tersebut bukan saja tidak masuk akal, melainkan sudah akal-akalan. Sulit pula untuk tidak menilai bahwa wacana tersebut merupakan bentuk penjegalan baru terhadap calon independen, khususnya untuk Ahok.

Setelah upaya menaikkan batas minimum dukungan bagi bakal calon independen kandas, gerilya penjegalan dilanjutkan dengan wacana perlunya penempelan meterai di tiap-tiap formulir dukungan. Ketika jalan penghadangan kedua juga kandas, muncul cara baru, yakni menjalankan verifikasi dukungan melalui sistem sensus per pendukung dalam kurun 14 hari. Upaya terakhir itu lolos setelah DPR memasukkan klausul itu ke Pasal 48 UU Pilkada. Begitu perangkat pilkada, yakni Komisi Pemilihan Umum, menyatakan siap melakukan verifikasi secara sensus dalam kurun 14 hari, muncullah ‘katup penjegal’ baru berupa standardisasi formulir dukungan calon independen.

Begitulah jika demokrasi tidak diletakkan dalam tujuan utamanya, yakni meraih kebaikan dan kebahagiaan bersama. Di tangan elite yang dibimbing syahwat kekuasaan yang kelewat dosis, demokrasi justru menampilkan wajah yang culas dan penuh intrik. Berkali-kali dalam forum ini kita menegaskan bahwa suara rakyat tidak bisa dibendung, hati nurani tidak bisa dibohongi. Akal waras publik akan terus melawan beragam upaya penjegalan yang menggerus esensi dan keutamaan demokrasi.

Karena itu, sudahi beragam taktik politik yang tidak bermutu dan membuat rakyat kian muak itu. Selama politik akal-akalan masih terjadi, mustahil muruah demokrasi akan terjaga. Rakyat sudah capai melihat aturan dibelok-belokkan menurut kehendak kelompok belaka. (mi/jdz)

Foto : Gubernur DKI, Basuki Tjahya Purnama alias Ahok.