Komunikasi dan Kerahiman: Suatu Perjumpaan yang Berbuah

by -165 views

(Pesan Paus Fransiskus Untuk Hari Komunikasi Sosial Sedunia ke-50, 8 Mei 2016)

TAHUN SUCI Kerahiman mengajak  kita untuk merefleksikan hubungan antara komunikasi dan kerahiman. Sesungguhnya Gereja, dalam kesatuan dengan Kristus sebagai penjelmaan yang hidup dari Bapa Yang Maha Rahim, dipanggil untuk mewujudkan kerahiman sebagai ciri khas dari seluruh keberadaan dan  perbuatannya. Apa yang kita katakan dan bagaimana kita mengatakannya,  setiap kata dan sikap, seharusnya mampu mengungkapkan kemurahan, kelembutan dan pengampunan Allah bagi semua orang. Kasih, pada hakikatnya, adalah komunikasi; kasih mengarah kepada keterbukaan dan kesediaan untuk berbagi. Jika hati dan tindakan kita diilhami oleh kasih, oleh kasih ilahi, maka komunikasi kita akan tersentuh oleh kuasa Allah sendiri.

Sebagai putra dan putri Allah kita semua dipanggil untuk berkomunikasi dengan semua orang, tanpa kecuali. Dengan cara yang khas, kata-kata dan tindakan Gereja dimaksudkan untuk menyampaikan kerahiman, menyentuh hati orang-orang dan  mendukung mereka dalam perjalanan menuju kepenuhan hidup sebagaimana Yesus Kristus , diutus Bapa, telah datang  untuk membawa kepada semua.  Ini berarti bahwa kita sendiri haruslah bersedia menerima kehangatan Bunda Gereja dan berbagi kehangatan itu dengan orang lain, sehingga Yesus semakin dikenal dan dikasihi; kehangatan itulah yang memberi hakikat kepada sabda iman dan yang menyalakan dalam pewartaan dan kesaksian kita “percikan” yang memberi hidup.

Komunikasi memiliki kekuatan untuk menciptakan penghubung, memampukan untuk perjumpaan dan penyertaan, dan dengan demikian memperkaya masyarakat. Betapa indahnya ketika orang-orang dengan hati-hati memilih kata-kata dan tindakan-tindakan, dalam upaya menghindari  kesalahpahaman, menyembuhkan kenangan-kenangan yang terluka dan membangun  perdamaian dan keharmonisan. Kata-kata dapat membangun hubungan antar pribadi-pribadi dan antar anggota keluarga, kelompok-kelompok sosial dan bangsa-bangsa. Hal ini bisa terjadi di  dunia nyata  maupun dunia digital. Kata-kata dan tindakan-tindakan kita harus tampak untuk membantu kita semua untuk keluar dari lingkaran setan yang selalu menyalahkan dan membalas dendam,  yang terus menerus menghantui manusia baik secara pribadi maupun dalam komunitasnya, yang memicu ungkapan-ungkapan  kebencian. Perkataan orang-orang Kristen haruslah terus-menerus mendukung bagi persekutuan dan, bahkan dalam hal di mana mereka harus mengutuk secara tegas kejahatan,  mereka seharusnya tidak sampai  memutus relasi dan komunikasi.

Untuk alasan ini, saya ingin mengajak semua orang yang berkehendak baik menemukan kembali daya kerahiman untuk menyembuhkan relasi yang terluka dan memulihkan perdamaian dan kerukunan dalam keluarga-keluarga dan komunitas-komunitas. Kita semua mengetahui bagaimana luka-luka lama dan dendam kesumat dapat menjerat manusia dan menghalangi untuk komunikasi dan rekonsiliasi. Hal yang sama terjadi juga dalam relasi antar bangsa-bangsa. Dalam setiap kasus, kerahiman selalu mampu menciptakan cara baru untuk berbicara dan berdialog. Shakespeare merumuskannya dengan elok ketika ia berujar: “Kualitas kerahiman tak terkekang. Ia turun dari surga bagaikan hujan yang menyejukkan di atas bumi. Kerahiman membawa berkat ganda: ia memberkati dia yang memberi dan dia yang menerima” (Saudagar Venisia, Lakon IV, Adegan I).

Bahasa politik dan diplomatik kita akan berhasil dengan baik jika terinspirasi oleh kerahiman, yang tidak pernah kehilangan harapan. Saya meminta mereka yang mengemban tanggung jawab institusional dan politik, dan mereka yang diberi amanat membentuk opini publik, untuk tetap memperhatikan secara khusus cara  berbicara kepada orang-orang yang berpikir atau bertindak secara berbeda, atau orang-orang yang mungkin telah bersalah. Sangatlah mudah menyerah pada godaan untuk mengeksploitasi situasi-situasi seperti itu yang dapat  menyulut api kecurigaan, ketakutan dan kebencian. Sebaliknya keberanian dibutuhkan untuk membimbing orang-orang menuju proses rekonsiliasi. Keberanian positif dan kreatif seperti itulah yang sebenarnya menawarkan solusi nyata untuk berbagai perseteruan yang mengesumat dan membuka peluang untuk membangun perdamaian abadi. “Berbahagialah orang yang murah hatinya, karena mereka akan beroleh kemurahan […] Berbahagialah orang yang membawa damai, karena mereka akan disebut anak-anak Allah” (Mat 5:7-9).

Betapa saya sangat berharap agar cara kita berkomunikasi, seperti juga pelayanan kita sebagai  gembala Gereja, jangan sampai memberi kesan superioritas yang angkuh dan sombong atas  musuh, atau merendahkan orang-orang yang dianggap dunia sebagai yang tidak berguna dan dengan mudah dicampakkan. Kerahiman dapat membantu meringankan berbagai kesulitan hidup dan memberi kehangatan kepada mereka yang hanya mengenal dinginnya penghakiman. Semoga cara kita berkomunikasi membantu mengatasi pola pikir yang secara tegas memisahkan para pendosa dari orang-orang benar. Kita bisa dan kita harus  menilai aneka situasi dosa – seperti kekerasan, korupsi dan eksploitasi – akan tetapi kita tidak boleh menghakimi pribadi-pribadi, karena hanya Allahlah  yang mampu melihat ke kedalaman hati manusia. Menjadi tugas kita untuk memperingatkan dan menegur mereka yang berbuat salah serta mengecam kejahatan dan ketidakadilan melalui cara-cara dan tindakan-tindakan tertentu, untuk membebaskan para korban dan membangkitkan mereka yang telah jatuh. Injil Yohanes mengatakan kepada kita bahwa “kebenaran itu akan memerdekakan kamu” (Yoh 8:32). Kebenaran itu pada akhirnya ialah Kristus sendiri, kerahiman-Nya yang lembut menjadi tolok ukur untuk menakar cara kita menyatakan kebenaran dan mencela ketidakadilan. Tugas utama kita adalah menegakkan kebenaran dengan kasih (bdk. Ef 4:15). Hanya perkataan yang diucapkan dengan kasih dan disertai dengan kelembutan dan kerahiman mampu menjamah hati kita yang sarat dosa. Kata-kata dan tindakan-tindakan yang keras dan moralistik beresiko mengasingkan orang-orang yang kita harapkan kepada pertobatan dan kebebasan, memperkuat rasa penolakan dan sikap defensif.

Sebagian orang merasa bahwa visi tentang sebuah masyarakat yang berakar  pada kerahiman adalah idealisme tanpa harapan atau berlebihan. Tetapi marilah kita mencoba dan mengingat kembali pengalaman pertama kita tentang relasi di dalam keluarga kita.  Orangtua kita telah mengasihi dan menghargai kita lebih karena siapa kita dan bukan semata-mata karena kemampuan dan kesuksesan kita. Para orangtua secara alamiah menginginkan yang terbaik bagi anak-anak mereka, namun kasih itu tidak pernah bergantung pada pemenuhan atas syarat-syarat tertentu. Rumah keluarga adalah salah satu tempat di mana anda selalu diterima (bdk. Luk 15:11-32). Saya ingin mendukung setiap  orang untuk memikirkan suatu masyarakat manusia bukan sebagai sebuah tempat di mana orang-orang yang tidak saling mengenal bersaing dan berupaya tampil di puncak, tetapi terlebih sebagai sebuah rumah atau sebuah keluarga yang pintunya pintu selalu terbuka dan setiap orang merasa diterima.

Untuk mewujudkan hal ini, maka pertama-tama kita harus mendengarkan. Berkomunikasi berarti berbagi, dan berbagi menuntut sikap mendengarkan dan penerimaan. Mendengarkan lebih bermakna dari mendengar. Mendengar adalah tentang menerima informasi, sedangkan mendengarkan adalah tentang komunikasi yang mensyaratkan kedekatan dan keakraban. Mendengarkan memungkinkan kita melakukan hal-hal yang benar, dan tidak sekadar menjadi  penonton, pengguna atau pemakai yang pasif. Mendengarkan juga berarti mampu berbagi aneka persoalan dan keraguan, berjalan beriringan, membuang semua klaim akan kekuasaan mutlak dan menempatkan kemampuan-kemampuan dan karunia yang kita miliki untuk melayani kesejahteraan umum.

Mendengarkan tidaklah pernah mudah. Terkadang lebih mudah untuk berpura-pura tuli. Mendengarkan berarti mengindahkan, kerelaan untuk memahami, menghargai, menghormati dan merenungkan apa yang orang lain katakan. Mendengarkan melibatkan semacam kemartiran, pengorbanan diri, seperti kita berusaha untuk meneladan Musa di hadapan semak bernyala: kita harus menanggalkan kasut ketika berdiri di “tanah yang kudus” dari perjumpaan kita dengan orang yang berbicara kepadaku (bdk. Kel 3:5). Memahami bagaimana untuk mendengarkan adalah sebuah karunia yang besar, maka karunia itulah yang perlu kita mohonkan untuk kemudian melatih diri dan melaksanakannya.

Juga surat elektronik (e-mail), sms, jejaring sosial dan chat dapat menjadi bentuk-bentuk komunikasi yang seutuhnya manusiawi. Bukanlah teknologi yang menentukan apakah komunikasi itu asli  atau tidak, melainkan hati dan kemampuan manusia untuk secara bijak memanfaatkan sarana-sarana yang dimiliki. Pelbagai jejaring sosial dapat menguatkan relasi dan memajukan kesejahteraan masyarakat, namun dapat juga menyebabkan pertentangan dan perpecahan yang lebih antar pribadi-pribadi dan kelompok-kelompok. Dunia digital adalah ruang umum terbuka, sebuah tempat pertemuan di mana kita bisa saling mendukung atau menjatuhkan, terlibat dalam diskusi sarat makna atau melakukan serangan yang tidak jujur. Saya berdoa agar  Tahun Yubileum ini, yang dihayati dalam kerahiman, “dapat membuka diri kita kepada dialog yang lebih bersungguh-sungguh sehingga kita bisa mengenal dan memahami satu sama lain dengan lebih baik: dan ini bisa melenyapkan berbagai bentuk kepicikan dan sikap kurang hormat, dan menghilangkan setiap bentuk kekerasan dan diskriminasi” (Misericordiae Vultus, 23). Internet dapat membantu kita untuk menjadi warga negara yang lebih baik. Akses ke jaringan digital membawa sebuah tanggung jawab atas sesama kita yang tidak kita lihat namun benar-benar nyata, dan yang memiliki martabat yang mesti dihormati. Internet dapat digunakan secara bijak untuk membangun sebuah masyarakat yang sehat dan terbuka untuk berbagi.

Komunikasi, tempat dan bentuknya telah membuka aneka cakrawala yang lebih luas bagi banyak orang. Ini adalah sebuah karunia Allah yang menuntut sebuah tanggung jawab besar. Saya ingin merujuk pada kekuatan komunikasi ini sebagai “kedekatan”. Perjumpaan antara komunikasi dan kerahiman adalah bermanfaat sejauh menghasilkan tahap di mana perjumpaan itu menghasilkan sebuah kedekatan yang peduli, memberi rasa nyaman, menyembuhkan, menyertai dan merayakan. Dalam sebuah dunia yang hancur, terbelah, dan bertentangan, berkomunikasi dengan kerahiman berarti membantu menciptakan sebuah kedekatan yang sehat, bebas dan bersaudara di antara anak-anak Allah dengan segenap saudara dan saudari kita dalam satu keluarga umat manusia.

Vatikan, 24 Januari 2016

Paus Fransiskus