Menindak Tegas Pengemplang Pajak

by -117 views

JAKARTA – Praktik pengemplangan pajak di negeri ini sejatinya bukan cerita baru. Di setiap masa, salah satu varian kejahatan di bidang pajak itu tiada berhenti. Beragam upaya wajib pajak menghindar dan mengemplang dari kewajiban terus saja terjadi.

Apa yang terkuak dalam laporan tim investigasi Media tentang penghindaran pajak oleh ribuan perusahaan asing yang beroperasi di Tanah Air semakin mengonfirmasikan bahwa praktik itu sudah sedemikian masif. Celakanya, pengemplangan masif itu bisa tetap tumbuh subur karena seolah ada pembiaran dari negara.

Betul bahwa modus yang dilakukan para perusahaan pengemplang pajak itu semakin canggih. Sebutlah transfer pricing dengan cara memanipulasi harga pembelian dan penjualan untuk menurunkan keuntungan perusahaan di atas kertas.

Mereka bahkan bisa mengakali agar terkesan perusahaan mengalami rugi demi menghindari pajak yang mesti disetor.

Modus-modus seperti itu memang tak bisa dihadapi dengan cara-cara biasa. Menjerat pelakunya tentu tak semudah meringkus para penunggak pajak biasa. Terbukti, sering kali Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kalah dalam persidangan lantaran mereka hanya bisa menunjukkan kesalahan dan modus, tapi tidak bisa membuktikan.

Akan tetapi, kecanggihan modus atau kehebatan rekayasa itu tentu bukan alasan bagi pemerintah untuk berhenti mengejarnya. Bisa dibayangkan potensi kerugian negara jika praktik itu dibiarkan terus berlangsung.

Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro pernah menyebut, gara-gara praktik tersebut, dalam 10 tahun terakhir negara kehilangan potensi penerimaan pajak hingga Rp100 triliun. Sumber lain bahkan menengarai potensi kehilangan negara bisa berlipat-lipat di atas angka itu.

Artinya, jelas bahwa DJP tak boleh menyepelekan hal ini. Tidak ada alasan bagi mereka berhenti bergerak dengan berlindung di balik ketidakmampuan mengimbangi ‘kecanggihan’ modus para pengemplang. Bukan saatnya lagi mereka terlalu banyak melempar dalih dan mesti segera mengonversikan potensi besar itu menjadi penerimaan negara yang riil.

Langkah seperti itu sesungguhnya lebih diterima publik ketimbang pemerintah melalui DJP dan semua aparat pajaknya sibuk menguber penerimaan pajak dari wajib pajak individual yang nilainya recehan. Itu tetaplah penting, tapi mestinya pemerintah bisa lebih bijak dalam menentukan prioritas.

Adilkah bagi rakyat ketika objek pajak mereka terus diperluas, tapi di sisi lain para pengemplang pajak bernilai triliunan rupiah justru dibiarkan melenggang tanpa jeratan? Adilkah bagi negara bila uang yang seharusnya dapat digunakan untuk membiayai pembangunan malah ‘dipersilakan’ terbang ke luar negeri?

Kita ingin mengingatkan pemerintah, pengemplang pajak ialah kelompok masyarakat yang tidak peduli kepada keadilan dan kesejahteraan. Dengan mengemplang, wajib pajak sama saja telah membiarkan negara kehilangan kemampuan membangun ekonomi dan mendistribusikan kemakmuran.

Tidak ada cara lain, perlakuan paling pas bagi mereka ialah tindakan tegas dan keras. Tindakan keras tidak saja akan menipiskan potensi kehilangan penerimaan pajak. Lebih dari itu, langkah tersebut menjadi pesan kuat bagi wajib pajak lain agar tidak coba-coba lagi berniat mengemplang pajak. (miol/jk)

Foto : Ilustrasi pajak