JAKARTA – Kehormatan sebuah lembaga negara bukan semata-mata karena keberadaan mereka diatur dalam konstitusi. Harkat dan martabat sebuah lembaga negara diakui juga karena hasil kerja mereka tidak pernah diragukan.
Salah satu lembaga negara yang kedudukannya diatur konstitusi ialah Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Mereka menjadi satu-satunya lembaga yang berhak mengaudit keuangan negara. Karena itu, mestinya, BPK menjadi lembaga terhormat yang hasil kerjanya diakui dan diterima dengan lapang dada.
Faktanya jauh panggang dari api. Ada sebagian, untuk tidak mengatakan seluruhnya, hasil audit BPK yang kebenarannya diragukan.
Ambil contoh hasil audit BPK terhadap penggunaan anggaran di sejumlah kementerian dan lembaga negara. BPK memberi opini wajar tanpa pengecualian (WTP), tetapi kenyataannya terjadi korupsi di kementerian dan lembaga tersebut.
Audit BPK termutakhir, yakni audit pembelian tanah RS Sumber Waras, tengah diuji. Ia menjadi semacam pertaruhan atas kredibilitas hasil audit BPK sekaligus lembaga BPK.
BPK menyebut ada kerugian negara dalam pembelian lahan RS Sumber Waras oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama tidak bisa menerima hasil audit BPK itu.
Basuki yang akrab disapa Ahok itu menilai BPK ngaco. Ia juga menilai hasil audit BPK itu menipu.
Soal siapa yang benar terkait dengan hasil audit RS Sumber Waras, kita serahkan sepenuhnya kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sedang melakukan penyelidikan. Penyelidikan itu didasarkan pada hasil audit BPK dan Ahok sudah dimintai keterangan oleh KPK.
Keprihatinan kita ialah kehormatan BPK yang seperti terjun bebas ke titik nol. Harus ada kemauan sungguh-sungguh untuk memulihkan wibawa BPK, bila perlu, disertai langkah-langkah radikal.
Pertama, anggota BPK yang saat ini berjumlah sembilan orang harus dikurangi. Sebagian dari mereka, diakui atau tidak, ialah partisan dan tidak memiliki latar belakang auditor. Cukup sulit mengawasi anggota yang begitu banyak dan bukan mustahil mereka bebas berkeliaran di lorong gelap transaksi opini WTP.
Kedua, mekanisme pemilihan anggota BPK yang kental dengan nuansa politik harus segera diubah. Pemilihan anggota BPK menjadi kewenangan DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD.
Sejauh ini, harus jujur diakui, kedekatan dengan legislatif dikedepankan daripada memilih anggota yang berintegritas dan kompeten. Peran partisipasi publik terkait dengan rekam jejak calon bahkan tidak menjadi pertimbangan dominan. Tidak mengherankan bila orang bermasalah duduk di BPK dan belakangan sebagian dari mereka menjadi terpidana.
Kita mengusulkan rekrutmen anggota BPK mengikuti mekanisme rekrutmen anggota KPK sehingga kepentingan politik saat pemilihan di DPR agak berkurang.
Jauh lebih penting lagi, ini usul ketiga, untuk menjaga kredibilitas dan menghindari tudingan main politik, mestinya BPK membuka seterang-terangnya setiap tahapan audit. Jika publik mudah mengakses hasil audit atas RS Sumber Waras, misalnya, BPK akan menuai kepercayaan yang luar biasa.
Kesan permainan politik sulit sekali dihindari dari hasil audit BPK terkait dengan RS Sumber Waras karena momentumnya tidak tepat. Audit Sumber Waras ramai diperbincangkan justru setelah Ahok menyatakan niat untuk maju melalui jalur independen dalam Pilgub DKI Jakarta 2017.
Kita percaya, sangat percaya, Ketua BPK Harry Azhar Azis mampu memulihkan kepercayaan publik terhadap lembaga yang dipimpinnya. Tentu saja, pada saat bersamaan, mantan anggota DPR dari Partai Golkar itu perlu juga menjelaskan soal namanya yang tercatat di dokumen Panama Papers. (miol/jdz)
Foto : Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama ‘Ahok’