Mengenang Duka di Larantuka

by -164 views

Menjelang Paskah, pesisir pantai bagian timur tanah Flores membuka kenangan lama tentang ritual Katholik di Indonesia yang bersemayam di sana.

LARANTUKA — Samar-samar terdengar suara tabuh diikuti dengan rapalan pada Jumat malam di jalan utama Kota Larantuka, Flores Timur. Ucapan-ucapan doa sayup merebak dari ujung Jalan Basuki Rahmat kota di kaki Gunung Ile Mandiri itu.

Lima orang Confreria tampak membuka jalan. Sebuah arak-arakan yang diikuti oleh ribuan umat siap berkeliling kota untuk mengisahkan karya penyelamatan Allah bagi umat Katolik.
Di muka perarakan, lima pria mengenakan jubah, berlukiskan tangan-tangan octopus atau gurita besar, membawa lilin dengan tongkat tinggi bak pemegang cahaya pembuka jalan. Di belakangnya, remaja-remaja Larantuka mengikuti dengan mengusung panji-panji penuh simbol.

Dari Gereja Katedral arakan itu dimulai menuju delapan armida atau persinggahan. Persisan, sebutan proses arak-arakan bagi orang Larantuka, tak hanya diikuti oleh umat Katolik dari kota di ujung timur pulau Flores ini. Banyak juga peziarah yang berasal dari luar kota hingga luar negeri berada di tengah-tengah barisan.

Perjalanan sepanjang kurang lebih tujuh kilometer itu mendatangi delapan tempat singgah yang masing-masing memiliki makna berbeda. Sambil melantunkan doa untuk sosok Bunda Maria, Yesus dan Bapak Yoseph, ribuan peziarah itu melintas di kedelapan armida.

Di sisi jalan yang dilintasi itu juga sudah tertancap potongan Pohon Kukung yang dijadikan tempat menaruh lilin penerang jalan. Mereka menamakannya dengan sebutan Tikam Turo.
Pada perhentian pertama yakni armida Amu Tuan Missericordia atau yang diterjemahkan sebagai Maha Rahim. Missericordia melukiskan kerinduan umat manusia menantikan janji penyelamatan Allah dalam diri Putra-Nya Yesus Kristus.

Armida Tuan Meninu (Tuan Bayi Anak), yang menjadi tempat kedua, merepresentasikan pemenuhan janji-janji Allah kepada umat manusia. Sedangkan di perhentian ketiga, armida Amu Tuan Mesias Anak Allah, menggambarkan hidup dan karya Yesus.

Di perhentian keempat, armida Amu Tuan Trewa atau Tuan Terbelenggu, dilukiskan penederitaan kristus demi keselamatan umat Katolik. Selanjutnya, ada perarakan berhenti di armida Amu Tuan Yesus Tersalib di Pantai Kebis. Di sini digambarkan Bunda Maria berduka cita, dan umat Katolik bersatu dalam penderitaan Yesus.
Perhentian keenam merupakan armida Pohon Siri, yang menjadi tempat perenungan saat Yesus dijatuhi hukuman mati tanpa bersalah. Sedang di armida ketujuh yakni armida Kuce, digambarkan wafatnya Yesus setelah disalib demi menebus dosa manusia. Perhentian terakhir perarakan terdapat di armida Tuan Ana, yang melukiskan diturunkannya Yesus dari salib dan dimakamkan. Dari sana, perarakan kembali ke Katedral. Lagu seruan seperti O Vos Omne Qui Transitis, Per Viam Attendite Et Videte, Si Est Dolor Sicut Dolor Meus, menjadi kidungan duka yang terdengar dalam arak-arakan yang berlangsung hingga pukul 01.30 WITA itu.

Kumandang lagu dan doa kedukaan penuh haru itu menelusup di jalan kota Larantuka. Di tengah-tengah barisan, beberapa peziarah tampak menyesapi kisah duka yang diceritakan oleh para Ana Muji Confreria.

Sosok Bunda Maria sebagai perempuan yang kuat menghadapi duka kematian anaknya bagai direalisasikan oleh peziarah kaum wanita Larantuka dalam setiap prosesi Jumat Agung. Banyak dari mereka yang membiarkan kulit tangannya terkena lelehan lilin yang menetes sepanjang perjalanan prosesi. (megiza/cnmindonesia.jdz)

Foto: Rombongan perarakan berhenti untuk mendengarkan khotbah dan bacaan doa di armida Tuan Meninu, Larantuka, pada Jumat(25/3). (CNN Indonesia/Adhi Wicaksono)