SBY Instruksikan Fraksi Demokrat Tolak Revisi UU KPK

by -139 views

JAKARTA – Fraksi Partai Demokrat (FPD) diminta menolak revisi Undang-undang (UU) 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam sidang paripurna DPR, Kamis (11/2). Permintaan itu merupakan perintah langsung Ketua Umum DPP Partai Demokrat (PD) Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

“Ketua Umum dengan tegas menyatakan bahwa sangat sensitif kalau sekarang kita membicarakan revisi UU KPK. Karena itu Partai Demokrat tidak setuju untuk di bawa ke paripurna sekarang,” kata Ruhut Sitompul, Kamis (11/2).

Sebelumnya, dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR pada Rabu (10/2), FPD sudah menyatakan persetujuan revisi. Pandangan mini fraksi dibacakan anggota Baleg dari FPD, Khatibul Umam Wiranu.

“Saya kemarin masih di Simalungun (Sumatera Utara) untuk pemenangan pilkada. Saya akan bicara nanti di paripurna bahwa kami menolak revisi,” ujar Ruhut yang juga anggota Baleg.

Selain Demokrat, dalam rapat Baleg kemarin, delapan fraksi lain juga menyetujui revisi UU KPK dilanjutkan menjadi inisiatif DPR. Hanya Gerindra yang menolak karena menganggap revisi ini melemahkan KPK.

Revisi yang sudah disepakati sejauh ini meliputi pembentukan dewan pengawas KPK, penyadapan dan penyitaan harus seizin dewan pengawas, pemberian wewenang bagi KPK untuk menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan.

Kemudian, larangan bagi pimpinan KPK yang mengundurkan diri untuk menduduki jabatan publik, serta pemberhentian bagi pimpinan KPK yang dijatuhi pidana berdasarkan vonis pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

Berbahaya

Wakil Ketua Umum Partai Gerindra Desmond J Mahesa mengatakan, belum melihat perubahan rencana revisi UU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk memperkuat atau melemahkan.

“Kita paham yang ditawarkan pemerintah dalam DPR itu 4 poin. Harusnya pengusul itu lebih detail kenapa ada perubahan terhadap 4 poin yang disepakati. Di sana ada logis mengenai alasan mengapa ada revisi. Penyidik itu kenapa dirubah, kenapa perlu pengawasan, penyadapan, SP3. Ini yang hari ini tidak dipahami oleh kami di Gerindra,” ujar Desmond di kompleks parlemen Jakarta, Kamis (11/2).

Atas kondisi itu, Desmond mengungkapkan, sangat berbahaya bila revisi tetap dilanjutkan. Sebab, ranah politik bisa mempersempit kewenangan KPK. Ia mencontohkan, harusnya dalam naskah akademik penyadapan itu harus jelas poinnya. Sampai hari ini Gerindra tidak memahami hal itu.

“Penyadapan itu akan menguatkan jika tiap pejabat negara yang disumpah, KPK berwenang melakukan penyadapan. Sekarang gak ada, ini harus dipertegas. Kalau itu yang dilakukan oleh pengusul perubahan maka kami setuju. Kalau penyadapan izin ini izin itu, luar biasanya KPK enggak ada lagi,” katanya.

Desmond juga mempertanyakan, unsur pengawas yang dibuat dalam draft revisi UU KPK. Apakah pengawasan internal tapi unsurnya harus dipilih. “Dewan pengawas dipilih oleh siapa gak jelas. bisa DPR bisa presiden. Atau gabungan seperti hakim MK ada pemerintah ada DPR.
Mekanisme ini harus terbuka,” ucapnya.

Sama halnya dengan SP3 yang harus dilihat secara jernih, apakah orang yang bermasalah itu memang terbukti atau tidak. “Kan banyak hari ini orang yang disangka tidak ada SP3. Nah orang yang tersangka ini kapan bisa tenang, untuk ini perlu kepastian hukum. Maka harus ada kategorisasi terkait SP3 harus jelas. Misalnya org itu tidak didukung penetapan dari bukti-bukti. Jangan SP3 itu jadi alat atau ATM yang hari ini kesannya di kepolisian dan lembaga seperti itu. Kalau sp3 di kepolisian bukan rahasia umum lagi ada lubang ATM ya SP3. Tentu KPK tidak seperti itu,” katanya.

Diisi Orang ‘Titipan’

Usulan DPR untuk membentuk dewan pengawas dinilai akan menggangu independensi KPK dalam menangani kasus korupsi. Dewan pengawas tersebut dikhawatirkan akan diisi oleh orang-orang ‘titipan’ yang berkepentingan dalam kasus korupsi yang tengah ditangani KPK.

“Kita khawatir, jangan-jangan dewan pengawas adalah orang-orang titipan,” kata Kepala Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan Indonesia Corruption Watch (ICW), Lalola Ester dalam diskusi revisi UU KPK di Kantor Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK), Jakarta, Kamis (11/2).

Apalagi, dewan pengawas yang diusulkan DPR memiliki kewenangan yang luas. Selain mengawasi tugas Pimpinan KPK, dewan pengawas ini juga diberi kewenangan untuk mengevaluasi kinerja pimpinan KPK setiap tahunnya. Tak hanya itu, penyadapan dan penyitaan yang dilakukan KPK harus seizin dewan pengawas.

“Dalam draf (revisi) yang sama kewenangan dewan pengawas itu sangat tinggi. Misalnya soal izin penyadapan dan penyitaan. Itu kan proses pro justicia,” katanya.

Sementara itu, Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia (TII), Natalia Subagyo menyatakan, pembentukan dewan pengawas tak diperlukan. Dikatakan, untuk memilih Pimpinan KPK saja diperlukan proses seleksi yang sangat ketat, cermat dan penuh kehati-hatian. Untuk itu, Natalia yang juga Panitia Seleksi Pimpinan KPK ini mengaku tak dapat membayangkan seleksi pemilihan anggota dewan pengawas yang memiliki kewenangan lebih tinggi dibanding pimpinan KPK.

“Proses pemilihan pimpinan KPK saja demikian cermat, dan lama, semua seluk beluk pribadi dibeberkan. Nanti harus cari dewan pengawas yang lebih tinggi lagi, saya tidak tahu lagi bagaimana (proses seleksinya),” kata Natalia.(sp/jk)

Foto : Ketua Umum DPP Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menghadiri acara Temu Kader Partai Demokrat Jawa Timur di Surabaya, Jawa Timur, 14 Oktober 2015.