Matinya KMP bukanlah matinya demokrasi bagi bangsa ini. Karena KMP tidak terbukti memperjuangkan hak-hak rakyat. Matinya, KMP hanya memperjelas pragmatisme partai politik di Indonesia. Bagi partai politik, kekuasaan hanyalah untuk mengeruk kekayaan bangsa ini, tidak lebih.
SATU per satu partai Koalisi Merah Putih (KMP) bergabung menjadi Kerja Sama Partai Politik Pendukung Pemerintah (KP3). KMP ketika berdiri sesumbar akan menjadi oposisi permanen ternyata umurnya tidak sampai dua tahun.
Tapi, bubarnya KMP tidak perlu disesali. Karena terbukti KMP bukanlah koalisi oposisi untuk kepentingan rakyat. Tingkah laku anggota partai KMP justru sering kali menyakiti hati rakyat. Mereka lebih membela kepentingan petinggi-petinggi partai dibandingkan kepentingan rakyat.
Lihat saja, sewaktu kasus papa minta saham merebak. Anggota KMP membela mati-matian mantan Ketua DPR, Setya Novanto. Dengan tidak tahu malu, mereka ingin memutarbalikkan fakta. Anggota KP3 juga tidak ada niat untuk membuka kasus tersebut secara tuntas. Tujuan utama mereka hanya menggusur Setya Novanto dari jabatannya, tidak lebih.
KP3 dan KMP juga selalu sepakat ketika akan melemahkan KPK. Awal tahun 2015 mereka sepakat menerima pencalonan Komjen Budi Gunawan menjadi Kapolri, walau KPK telah menetapkan Komjen Budi Gunawan menjadi tersangka.
Disamping itu, KP3 dan KMP juga sama-sama ingin wewenang KPK semakin lemah dengan merevisi Undang-Undang No 30 tahun 2002 tentang Komisi Pemberatasan Korupsi. Maklum, anggota DPR termasuk sering dicokok oleh KPK, ketika beraksi melakukan korupsi.
KP3 dan KMP juga sepakat untuk menyingkirkan kandidat komisioner KPK terbaik, seperti Johan Budi dan M. Busro Muqoddas. Mereka lebih memilih komisioner KPK dari orang-orang yang belum mempunyai rekam jejak bagus dalam pemberatasan korupsi.
Dalam penyusunan APBN, KMP juga mudah diamankan bila diberikan hadiah. Seperti dalam penyusunan APBNP 2015 mulus karena Pemerintah memberikan pinjaman Rp 781 miliar untuk membayar korban lumpur Sidoarjo. Jaminannya, mungkin lumpur Lapindo.
Sedangkan APBN 2016, dapat diterima oleh KMP karena Pemerintah menganggarkan uang untuk pembanguan gedung DPR. Karena pimpinan DPR dikuasai oleh anggota DPR dari KMP, tentunya mereka akan berpesta ketika anggaran proyek senilai Rp 1,6 triliun cair.
Jadi matinya KMP bukanlah matinya demokrasi bagi bangsa ini. Karena KMP tidak terbukti memperjuangkan hak-hak rakyat. Matinya, KMP hanya memperjelas pragmatisme partai politik di Indonesia. Bagi partai politik, kekuasaan hanyalah untuk mengeruk kekayaan bangsa ini, tidak lebih.
Demokrasi di Indonesia rusak bukan karena DPR nya sakit, tapi karena partai politiknya sudah mati suri. Parpol hanyalah kepanjangan tangan dari kepentingan segelintir elit. Untuk membuat demokrasi di Indonesia sehat, tidak ada cara lain selain menggusur elit-elit tersebut dari singgasananya.
Selain itu, parpol juga merupakan kepanjangan tangan dari konglomerat di Indonesia. Maklum, pendanaan parpol banyak dibantu oleh mereka. Imbal baliknya, kepentingan bisnis para konglomerat akan dilindungi oleh parpol.
Tidak ada cara lain, untuk membuat parpol kembali memperjuangkan kepentingan rakyat, undang-undang parpol harus dibuat. Bila tidak, maka demokrasi di Indonesia hanyalah menjadi permainan segelintir elit saja. (indrev/jdz)
Foto : Petinggi Partai Amanat Nasional dan Hanura ketika menyatakan dukungan ke Pemerintahan Jokowi-JK dan keluar dari KMP.