Tak cuma Etika, Hukum pun Bekerja

by -154 views

JAKARTA — Mencatut nama presiden dan wakil presiden demi kepentingan pribadi ialah kesalahan tingkat tinggi yang mesti disikapi dengan ketegasan tingkat tinggi pula. Pun demikian jika benar Ketua DPR Setya Novanto mencatut nama Presiden Joko Widodo dan Wapres Jusuf Kalla untuk mengincar 20 persen saham PT Freeport Indonesia.
Dugaan pencatutan nama Jokowi dan JK itulah yang dalam tiga hari terakhir ini menyita atensi publik. Ia menjadi sorotan tajam setelah Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Sudirman Said melaporkan dugaan itu ke Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) DPR. Sudirman melapor ke MKD karena dugaan pencatutan nama Jokowi dan JK melibatkan orang dalam DPR.
Sudirman bahkan mengiakan ketika ditanya juru warta apakah nama Setya Novanto alias SN yang dilaporkan ke MKD. Selain Novanto, ada pula pengusaha kakap di bidang perminyakan yang diduga juga terlibat dalam pencatutan nama Jokowi-JK. Kita sungguh mengapresiasi langkah Menteri Sudirman yang dengan penuh keberanian membawa persoalan tersebut ke MKD.
Dugaan pencatutan nama Presiden dan Wapres memang bukan persoalan ecek-ecek. Ia masalah besar, sangat besar, sebab menyangkut nama-nama besar sekaligus bisa berdampak besar bagi bangsa jika laku culas itu membuahkan hasil. Bayangkan jika PT Freeport akhirnya setuju memberikan 20 persen saham sebagai syarat perpanjangan kontrak seperti yang diinginkan para pencatut nama RI-1 dan RI-2.
Bayangkan pula jika PT Freeport bersedia menghadiahkan 49 persen saham PLTA Urumuka yang akan dibangun di Papua, sekaligus membeli listrik yang dihasilkannya. Pencatutan nama presiden dan wapres merupakan cerminan titik terendah etika dan moral pejabat negara. Sekali lagi, jika benar mencatut nama Jokowi dan JK, Novanto telah melakukan pelanggaran etika superberat sebagai Ketua DPR.
Ia ibarat pembalap liar yang ugal-ugalan menerabas segala aturan. Tak ada kata lain, MKD wajib mengganjarnya dengan sanksi level tertinggi jika memang terbukti. Itulah ajang pembuktian bagi MKD, apakah mereka pemberani atau memang lekat dengan cap pengecut selama ini ketika dihadapkan pada persoalan dewan.
Kasus dugaan pencatutan nama Jokowi dan JK pun tak cukup dituntaskan dalam koridor etika. Ia harus dibawa ke ranah hukum agar para pencatut itu diganjar hukuman lebih konkret jika memang terbukti bersalah. Benar bahwa tidak ada pasal spesifik yang mengatur tindak pencatutan nama. Namun, ada sejumlah celah yang bisa dimanfaatkan untuk menyeret para pencatut Jokowi dan JK ke meja hijau.
Mereka, misalnya, bisa dijerat delik penipuan dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Apalagi, percobaan penipuan yang dituduhkan kepada sang pencatut menyangkut kepentingan umum. Mereka juga dapat dibidik dengan pasal pencemaran nama baik. Dalam hal ini, karena sifatnya delik aduan, Jokowi atau Kalla harus membuat laporan ke polisi.
Wajar, amat wajar, jika Jokowi dan JK marah besar karena nama mereka dibajak. Namun, akan lebih berfaedah jika kemarahan itu dilampiaskan dengan membawa persoalan tersebut ke ranah hukum. Publik pun akan menggelontorkan dukungan jika Presiden dan Wapres mau melakukan itu demi pembelajaran kepada para pemegang kuasa untuk tidak lagi ugal-ugalan.
Sudah terlalu lama Republik ini dikuasai para pejabat tapi bertabiat seperti penjahat. Mereka tak segan menggunakan segala cara, mengagungkan kuasa dan pengaruh, bahkan membajak nama pejabat lain, untuk menekan korporasi demi keuntungan pribadi. Kebiasaan culas tersebut jelas harus segera dipungkasi dan inilah momentum untuk mengakhirinya. (*/net)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *