Sudah Salah Arahkah Dunia Pendidikan Kita?

by -137 views

Hampir semua hasil penelitian di dalam maupun luar negeri membuktikan, mutu pendidikan kita sangat memprihatinkan. Bahkan Mendikbud Anis Baswedan melihat, kondisi pendidikan kita sudah sangat gawat!

Menarik bila kita cermati paparan yang disampaikan oleh Anis Baswedan pada Silaturahmi Kementerian dengan Kepala-kepala Dinas, 1 Desember 2014, yang berjudul “Gawat Darurat Pendidikan di Indonesia.” Selain be!iau mengungkap perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan, beliau juga mengungkap kenyataan pahit standar mutu pendidikan kita berdasarkan penelitian tentang standarisari pendidikan di dunia.

Mulai dari standar layanan minimal pendidikan yang tidak dipenuhi oleh 75% sekolah di Indonesia, nilai rata-rata uji kompetensi guru yang di bawah standar, sampai pada urutan buncit dalam hasil pemetaan akses dan mutu pendidikan pada tahun 2013 dan 2014 dari 40 negara.

Yang menarik dalam paparan Anis, di balik kemajuan pesat Reformasi Pendidikan yang dilakukan Finlandia dalam tiga dekade terakhir, mereka menerapkan apa yang menjadi prinsip-prinsip pendidikan Ki Hajar Dewantara.

Dalam paparan itu disebutkan, pola pendidikan Finlandia sama dengan pemikiran Ki Hajar Dewantara . “Jangan menyeragamkan hal-hal yang tidak perlu atau tidak bisa diseragamkan. Perbedaan bakat dan keadaan hidup anak dan masyarakat yang satu dengan yang lain harus menjadi perhatian dan diakomodasi,” tutur Anies.

Ki Hajar Dewantara juga mengatakan. “Anak-anak tumbuh berdasarkan kekuatan kodratinya yang unik, tak mungkin pendidik ‘mengubah padi menjadi jagung, atau sebaliknya.” Sistem Pendidikan Finlandia ternyata juga sama. Di negara Eropa ini standardisasi kaku dan berlebihan dianggap musuh kreativitas.

Begitu pula dalam pemberian nama sekolah, Ki Hajar Dewantara dan Finlandia sama-sama memakai kata ‘taman.’ Inilah mengapa Ki Hajar memberi nama sekolah yang ia dirikan dengan nama Taman Siswa. Dasar pemikiran pemerintah Finlandia juga sama dengan, Ki Hajar Dewantara yang percaya bahwa “Bermain adalah tuntutan jiwa anak untuk menuju ke arah kemajuan hidup jasmani maupun rohani.”

Ironis memang, kita sebagai pewaris sah Bapak Pendidikan kita sendiri tidak mampu melaksanakannya.

Melihat kebelakang, dalam sejarah kita, perkembangan sekolah formal di Nusantara dimulai sejak masa kompeni dan kolonial (abad 16-17), baik oleh Portugis maupun Belanda. Pada awalnya sekolah pemerintah terbatas hanya untuk memenuhi kebutuhan administrasi pemerintah kolonial sehingga para murid hanya diajari baca tulis dan berhitung pada tingkat dasar. Di saat yang sama sesungguhnya juga bermunculan sekolah-sekolah yang dibiayai oleh lembaga-Iembaga agama Kristen dan Katholik. Tapi semua sekolah ini kebanyakkan hanya diperuntukkan para priyayi atau bangsawan. Mereka yang kelas bawah tak diberi tempat.

Sekolah yang lebih serius, Hollandsch-lnlandsche School (HIS) dibuka pada awal abad 20 karena kebutuhan akan dunia pendidikan. Inipun tidak menjawab keinginan masyarakat. Oleh para tokoh pendidikan Indonesia, HIS dianggap tidak bermutu dan hasil pendidikannya melahirkan anak-anak bertabiat kasar, kurang memiliki rasa kemanusiaan sehingga tumbuh menjadi sosok individualistik.

Oleh Ki Hajar Dewantara, Engku Muhammad Sjafei (Pendiri INS Kayu Tanam) dan lain-lain, HIS terlalu materialistik, dan pada kenyataannya sangat berbeda dengan sistem pendidikan yang ada di negeri Belanda sendiri. Hal ini dikarenakan HIS hanya diperuntukkan menjawab pemenuhan kebutuhan pegawai rendahan kantor kolonial Hindia Belanda.

Celakanya, banyak pengamat pendidikan dan pendidik kita menilai, sistem pendidikan kolonial masih perlu dilanjutkan hingga sekarang. Mereka beranggapan pola indoktinisasi, dan standardisasi yang kaku diperlukan untuk membangun persatuan dan kesatuan nasional. Mereka tak peduli bahwa sistem tersebut bisa mematikan kreatifitas anak karena menitikberatkan pada kuantitas bukan kualitas. Kenyataan ini membuat pendidikan budi pekerti menjadi kurang penting.

Lebih celaka lagi, pergantian kurikulum yang telah 10 kali terjadi sejak jaman kemerdekaan, sangat sarat dengan kepentingan politik. Di masa Orde Baru misalnya, pendidikan diarahkan untuk memuja pemerintah sebagai juru selamat bangsa. Hal inl mengakibatkan anak didik kurang sensitif terhadap berbagai masalah sosial, ekonomi, dan politik yang berkembang di masyarakat.

Ki Hajar Dewantara, Engku M. Sjafei yang merupakan mantan Mendikbud ketiga kabinet Sjahrir II, Mohammad Thamrin, Pastor Wabbe dari perguruan Katholik, R.M. Sutomo Suryokusumo, R.M.H. Suryoputro dan masih banyak tokoh-tokoh pendidikan nasional sesungguhnya telah melihat bahwa sistem pendidikan semacam itu harus ditinggalkan. Mereka menghendaki agar setiap pelajaran mengandung unsur pendidikan moral.

Taman Siswa sendiri mencita-citakan terciptanya pendidikan nasional, dimana pendidikan Taman Siswa akan mengikuti garis kebudayaan nasional dan berusaha mendidik angkatan muda di dalam jiwa kebangsaan. Pendidikan Taman Siswa dilaksanakan berdasar Sistem Among, yaitu suatu sistem pendidikan yang berjiwa kekeluargaan dan bersendikan kodrat alam dan kemerdekaan. Dalam sistem ini orientasi pendidikan adalah pada anak didik, yang lebih didasarkan pada minat dan potensi apa yang perlu dikembangkan pada anak didik, bukan pada minat dan kemampuan yang dimiliki oleh pendidik.

Sedangkan INS Kayutanam merumuskan pendidikannya ke dalam tiga bidang pengajaran, yakni Akademik (otak), Kreatifitas (tangan) dan Akhlak Mulia (hati). Tiga hal yang dalam setiap pelaksanaannya tidak pernah dipisahkan. Ketiganya harus saling mengisi dan saling menopang dalam wacana menciptakan inteletual berakhlak mulia, berintegritas dan beretos kerja keras. Pada penerapannya, dalam kegiatan keterampilan, siswa dididik mampu menilai pekerjaannya sendiri untuk melatih yang bersangkutan melakukan koreksi terhadap dirinya sendiri; kemudian menilai pekerjaan teman, sebagai bagian untuk melatih kejujuran dan kemampuan kritis siswa, yang nantinya juga melatih diri untuk dapat menerima baik setiap kritik yang diterima atas pekerjaan yang telah dilakukan; lalu mendokumentasi hasil apa yang telah dihasilkan saat itu.

Bila kita cermati bersama, potongan-potongan kecil yang telah dirumuskan para tokoh-tokoh pendidikan kita dahulu, rasanya kita harus sadar bagaimana sudah salah arahnya pendidikan kita sekarang. Betapa terlalu materialistik pendidikan kita sekarang, yang membuktikan bahwa para perancang pendidikan kini, tidak berkemampuan untuk mengimbangkan sistem sesuai tuntutan zaman.

Kini, bahkan pelajaran agama pun rasanya tidak menjadikan anak-anak kita lebih bermoral dan berbudi pekerti, karena terpisahnya antara pelajaran agama dengan perilaku sehari-hari. Dalam arti anak didik tidak terbiasa menerapkan ajaran-ajaran agama yang diperoleh di sekolah. Pelajaran seolah sekedar menghafal ayat dan cara baca. Moralitas hanya sekedar cerita-cerita dongeng para nabi.

Apakah kita mau membiarkan diri dalam lingkaran setan seperti ini? Apakah kita bangga kalau kebudayaan kita dan tokoh pendidikan kita dihormati oleh orang tapi tidak oleh bangsa sendiri? Kita tentu harus berkaca pada Ki Hajar Dewantara yang ternyata sudah jauh lebih dulu dan lebih maju ketimbang di Finlandia, yang sistem pendidikannya  diakui dunia memiliki sebagai salah satu tempat pendidikan terbaik. Sampai kapan kita akan terpaku pada sistem pendidikan Kolonial Hindia Belanda, yang sesungguhnya ditujukan untuk menghasilkan tenaga-tenaga pegawai rendahan ?

Jawabannya ada di kita semua, seharusnya rakyat Indonesia mampu membangun sistem pendidikan yang bisa membawa kemajuan bangsa. Demi masa depan generasi yang lebih baik lagi! (indonesianreview.com/jdz)

Foto : Ilustrasi

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *