Menkeu: Dana Rp 273 Triliun ‘Nganggur’ di Daerah

by -130 views

JAKARTA — Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro melaporkan, hingga Juni 2015, terdapat Rp 273,5 triliun dana transfer ke daerah yang masih disimpan di perbankan dan belum dibelanjakan untuk pembangunan. Jumlah itu mencakup 42 persen dari total anggaran dana transfer ke daerah tahun ini yang totalnya mencapai Rp 643,8 triliun.

Dana Rp 273,5 triliun tersebut diduga idle bukan karena konflik kepala daerah dengan DPRD, melainkan lebih disebabkan lambannya bupati, walikota, atau gubernur untuk mengeksekusi lantaran takut terjerat korupsi. Dugaan lainnya, sebagian kepala daerah petahana (incumbent) baru akan mengeksekusinya saat musim kampanye pemilihan umum kepala daerah (pilkada) pada akhir 2015.

Penyerapan anggaran yang rendah di pemda turut memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional yang tahun ini ditargetkan 5,2 persen. Apalagi masih ada sekitar Rp 214 triliun atau sekitar 85 persen anggaran belanja modal di kementerian dan lembaga (K/L) yang belum direalisasikan. Ekonomi kuartal II-2015 secara tahunan (year on year/yoy) hanya tumbuh 4,67 persen, melambat dibanding kuartal II-2014 maupun kuartal I-2015 yang masing-masing tumbuh 5,03 persen dan 4,72 persen. Konsumsi pemerintah hanya berkontribusi 2,28 persen.

Menurut Menkeu, untuk mendorong penyerapan belanja modal di pemda dan K/L, pemerintah akan menerapkan mekanisme penghargaan dan sanksi (reward and punishment). “Masih adanya dana idle di daerah menjadi concern kami. Tadi saya sampaikan kepada presiden. Kami mau menyiapkan mekanismenya supaya belanja di daerah bisa dipercepat, salah satunya melalui sistem reward and punishment,” kata Bambang Brodjo usai bertemu Presiden Joko Widodo (Jokowi) di Istana Negara, Jakarta, Kamis (6/8).

Menkeu mengakui, lambatnya pencairan anggaran di daerah dimungkinkan karena agenda pemilihan kepala daerah (pilkada) jatuh pada akhir tahun. Para petahana ditengarai sengaja menahan pencairan anggaran hingga memasuki masa kampanye. “Pilkada kan kampanye mulai September, mungkin setelah itu penyerapan anggaran akan melonjak. Tapi mudah-mudahan pengeluarannya benar dan tepat sasaran,” ujar dia.

Bambang Brodjo menambahkan, dalam mekanisme reward and punishment itu, pemda atau K/L yang penyerapan anggarannya rendah bisa diberi sanksi. Sebaliknya, pemda atau K/L dengan kinerja penyerapan anggaran tinggi diberi penghargaan. “Mekanisme konretnya seperti apa, akan kami godok,” tutur dia, saat didesak lebih jauh.

Dalam kesempatan terpisah di Kementerian Keuangan (Kemenkeu), kemarin, Menkeu juga mengungkapkan, pihaknya tengah menggodok aturan percepatan serapan belanja modal, baik di pemerintah pusat (K/L) maupun pemda. “Ini sebagai komitmen pemerintah untuk mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi dan berkualitas,” tandas Menkeu.

Bambang Brodjo menjelaskan, kebijakan tersebut bukan untuk menghukum K/L atau pemda. “Itu masih digodok. Yang pasti bukan hukuman, hanya reward and punishment saja,” tegas dia.

Dalam pertemuan dengan wartawan sebelumnya, Menkeu mengemukakan, belum semua dana transfer ke daerah dieksekusi. Transfer daerah terdiri atas Rp 311,3 triliun dana perimbangan, Rp 5,1 triliun dana otonomi khusus, Rp 400 miliar dana keistimewaan daerah Yogyakarta, serta Rp 57,8 triliun dana transfer lainnya.

Tak Efektif
Pengamat ekonomi Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto kepada Investor Daily mengatakan, mekanisme reward and punishment bisa diterapkan, namun belum tentu efektif jika hanya berorientasi sanksi dan penghargaan semata.

“Mekanisme reward and punishment harus diikuti pendampingan karena tak semua pemda, terutama di luar Jawa, yang governance-nya bagus. Selain kualitas SDM-nya berbeda, persoalan masing-masing daerah juga tidak sama. Standarnya pun berbeda. Apalagi kinerja belanja modal lebih banyak berkaitan dengan perencanaan,” ujar dia.

Jika hanya berlandaskan kinerja penyerapan saja, menurut Eko, mekanisme reward and punishment justru bisa kontraproduktif. Mekanisme ini bisa memicu semakin lebarnya ketimpangan antardaerah. Soalnya, daerah-daerah tertinggal bisa terus terkena sanksi pemangkasan anggaran, sehingga mereka tak punya anggaran yang cukup untuk membangun. Sebaliknya, daerah-daerah kaya bakal semakin sejahtera karena akan terus mendapat limpahan kenaikan anggaran lantaran penyerapan APBD-nya bagus.

“Daerah tertinggal notabene belum memiliki governance yang bagus. Jika terus-menerus terkena sanksi, makin lama anggaran pembangunannya semakin habis. Sebaliknya, daerah yang governance-nya bagus akan semakin makmur karena anggaran dari pusat terus bertambah. Daerah yang punya governance bagus biasanya daerah yang sudah maju,” papar dia.

Agar adil, kata Eko, mekanisme reward and punishment harus diikuti penyetaraan standar. “Caranya, Bappenas dan Kemenkeu lebih proaktif mendorong good governance di kalangan pemda melalui pendampingan, baik dari sisi administrasi dan manajemen anggaran, maupun dalam hal perencanaan dan eksekusi proyek. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) juga perlu dilibatkan,” ucap dia.

Pengamat ekonomi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Latif Adam mengungkapkan, sistem reward and punishment bisa merangsang perbaikan kualitas penyerapan anggaran di pemda dan K/L yang akhirnya berdampak nyata terhadap ekonomi daerah bersangkutan.

“Bahkan bila perlu, kepala daerah atau menteri mendapat insentif berupa uang atas keberhasilan mereka. Di pihak lain, menteri atau kepala daerah yang penyerapan anggaran daerahnya sangat rendah dapat diberi punishment berupa pengurangan anggaran tahun berikutnya,” ujar dia.

Namun, kata Latif, penyerapan anggaran yang rendah di pemda dan K/L perlu pendampingan khusus. “Sesama instansi pemerintah saja masih ada kerancuan dalam menggunakan uang negara, sehingga menimbulkan rasa takut,” tutur dia.

Agar kepala daerah atau pengelola anggaran tak takut terjerat korupsi, Latif mengusulkan lembaga pengawas seperti Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) dilibatkan sejak awal dalam penyusunan anggaran. Begitu pula DPR atau DPRD. “Bila semua instansi satu persepsi dan tetap berada dalam koridor administrasi yang benar, penyerapan anggaran pasti bisa lebih besar,” tegas dia.

Dia mengingatkan,infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Realisasi belanja modal infrastruktur tak hanya akan membuat ekonomi tumbuh lebih pesat, tapi juga lebih berkualitas. Itu karena pembangunan infrastruktur menyerap banyak tenaga kerja, menciptakan konektivitas, dan menekan ekonomi biaya tinggi, sehingga pertumbuhan ekonomi yang dihasilkannya akan lebih akseleratif.

Capex BUMN
Sementara itu, Kementerian BUMN menargetkan realisasi belanja modal (capex) hingga akhir tahun ini sekitar Rp 320 triliun. Hingga semester I, realisasinya baru mencapai Rp 119,3 triliun atau sekitar 37 persen dari target sepanjang tahun.

Menurut Menteri BUMN Rini Soemarno, realisasi capex BUMN akan berdampak besar terhadap perekonomian nasional karena merupakan bagian dari investasi swasta. “Itu dicatatkan dalam pembentukan modal tetap bruto (PMTB). PMTB berkontribusi 3,6 persen terhadap pertumbuhan ekonomi sepanjang semester I,” kata dia. (investor daily/jdz)

Foto : Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang Brodjonegoro.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *