Drama Mengerikan Pengungsi Rohingya 41 Hari di Tengah Laut

by -172 views

Hidup seolah hanya menunda kematian bagi para pengungsi Myanmar dan Bangladesh. Mereka tidak tahu harus ke mana lagi untuk bertahan. Maka, jadilah mereka manusia perahu yang terombang-ambing gelombang ketidakpastian.

SAYIDUL Islam, 17, dan Muhammad Rafiq, 21, adalah remaja etnis Rohingya yang sebelumnya hidup di kamp pengungsi UNHCR di Kutupalong, Bangladesh. Hidup jadi orang miskin yang terasing di negeri orang lain amat menyiksa.

Karena itu, saat agen perdagangan manusia, Nurul Haq, datang menggoda untuk menjadi imigran gelap ke Malaysia, dengan sigap mereka menerima tawaran tersebut, meski harus merogoh kocek 4.000–5.000 ringgit (Rp 14 juta–Rp 18 juta) per orang.

’’Saya dapat uang dengan menjual segala apa yang dimiliki keluarga kami,’’ kata Rafiq menyambut ketika saya temui di tempat penampungan Kuala Langsa, Kota Langsa, Aceh Utara, Jumat (22/5).

Suatu hari pada akhir Januari 2015, pukul tujuh pagi Rafiq dan para pengungsi Rohingya berangkat dengan menggunakan perahu kecil berkapasitas delapan orang dari Kota Chittagong –kota kecil sekitar 242 kilometer dari ibu kota Dhaka– menuju tengah laut.

Butuh waktu empat jam perjalanan sebelum mereka dipindah para smugglers (penyelundup orang, Red) ke boat yang lebih besar dan mampu diisi 25 orang. Perahu sedang itu amatlah sederhana. Hanya kain terpal yang menjadi tudung pelindung dari sengatan matahari dan hujan. Dengan perahu motor itu, mereka semakin menjauh dari daratan, menuju tengah-tengah Teluk Bengala. ’’Katanya, waktu perjalanan ke Malaysia sehari semalam,’’ lanjutnya.

Siapa sangka, di tengah laut yang mahaluas itu, mengambang perahu besar yang siap membawa imigran ke tanah harapan. Para smugglers memang memaksa para imigran Bangladesh tersebut melakukan transit berkali-kali untuk mencegah penangkapan aparat.

’’Mereka (smugglers) bukan takut ditangkap. Tapi, takut diperas polisi dan tentara di Bangladesh dan Myanmar yang terkenal korup. Lewat radio, kapten kapal beberapa kali kontak dengan tentara Myanmar meminta agar jangan terlalu mahal dalam meminta sogokan,’’ ungkap Rafiq.

Kapal besar itu ternyata bermuatan 363 pengungsi Rohingya yang terusir dari Myanmar. Saat itu, kata Rafiq, kapal dalam kondisi kosong. Jangkarnya dilepas, mesin dimatikan. Kapal itu tidak akan berangkat sebelum muatannya penuh. Alhasil, yang naik duluan –seperti para pengungsi Myanmar itu– paling menderita karena harus menunggu berhari-hari lamanya.

’’Kami sendiri tinggal di kapal sampai 21 hari menunggu perahu-perahu kecil berdatangan. Kadang sehari ada 10 orang naik, kadang 20 orang yang bergabung di kapal itu. Kapten memutuskan berangkat jika kapal sudah penuh,’’ ujar Rafiq.

Hari ke-22, mesin menderu dan kapal melaju ke perairan Thailand. Dibutuhkan waktu tujuh hari tujuh malam sebelum mereka sampai di perbatasan. Kontak dengan militer Thailand terjadi, tapi kapal dilarang masuk ke perairan Negeri Gajah Putih itu. Terungkitnya kasus sindikat perdagangan manusia di Songhkla membuat pemeritah Thailand memperketat penjagaan di wilayah perairan.

Buntutnya, para imigran itu kembali terombang-ambing selama 41 hari di Laut Andaman. Selama dua bulan kurang itu, mereka amat menderita. Kapal yang sesak membuat mereka tak bisa bergerak leluasa. ”Kami tak bisa bergerak atau berdiri. Kami hanya bisa jongkok. Dari hari ke hari, minggu ke minggu, kami memandang laut dengan penuh keputusasaan.”

Beruntunglah mereka yang berada di dek kapal karena ada udara laut segar yang bisa dihirup. Lain halnya dengan mereka yang membayar murah dan ditempatkan di dalam lambung kapal. Ada tiga tingkat ruangan untuk mereka. Selisih tingkat per tingkat hanya 1,5 meter. Saat berdiri, otomatis kepala mereka akan terbentur atap kayu.

Bukan hanya itu, kondisi ruangan tersebut amat pengap. Sempit dan bau tidak keruan. Sebab, aktivitas kencing atau buang kotoran dilakukan para penumpang di sekitar mereka berdiri. Kondisi itu dialami para pengungsi Rohingya yang sudah dua bulan terkatung-katung di tengah laut.

Terlebih ketika kapal itu mendapat limpahan 558 penumpang baru dari tiga kapal kecil dari Bangladesh. Total lebih 900 penumpang dalam satu kapal yang seharusnya hanya bisa menampung 400 orang. Begitu berjejalan!

Pada hari ke-70 pukul 7 malam, kata Rafiq, mesin kapal dihidupkan kapten kapal berkebangsaan Thailand itu. ”Kalian semua akan pergi ke Malaysia,” ucap sang kapten, lalu disambut sukacita seluruh penumpang. Namun, setelah empat jam berlalu, kapal kembali berhenti. Semua orang terdiam dan saling bertanya-tanya. ”Ada apa ini? Ada apa?”

”Dor…dor…dor…” Tanpa diduga, kapten kapal mengeluarkan pistol revolver yang terselip di pinggangnya dan menembak para penumpang yang memprotesnya dan banyak omong. Hanya lelaki dewasa yang dibunuh karena perempuan dan anak-anak berada di belakang kapal.

Tindakan kapten itu diikuti lima anak buahnya. ”Ada 70–80 orang yang mereka tembak. Saya tak bisa menghitungnya,” ucap Muhammad Tayyub Ali, 25.

Penderitaan semakin menjadi setelah si kapten memilih kabur bersama anak buahnya. Tersiar kabar, si kapten dan anak buahnya lari karena akan ditangkap tentara AL Thailand. Dia memilih meninggalkan para pengungsi terkatung-katung di Laut Andaman.

Untung, salah seorang pengungsi bisa mengendalikan perahu. Dia adalah Muhammad Ami, 46, yang mampu membawa perahu itu berjalan sehari semalam tanpa tujuan. Kapal kembali terhenti karena kehabisan bahan bakar. Saat itulah, datang kapal Angkatan Laut Thailand. Namun, begitu mengetahui yang terdampar kapal pengungsi Rohingya, kapal Thailand tak bersedia mendekat. Mereka hanya mengamati dari kejauhan, kemudian pergi.

Pukul 12 siang (Tayyub lupa tanggalnya), datanglah empat nelayan Indonesia yang berbaik hati memberikan bantuan makanan, minuman, dan bahan bakar. Bahkan, mereka mengajari para pengungsi itu mengemudikan kapal secara benar.

”Di mana ini? Kami ingin ke Malaysia,” ujar Tayyub kepada nelayan Indonesia itu.

”Ini adalah perbatasan Indonesia. Dan, itu di sana Malaysia,” jawab nelayan tersebut seperti ditirukan Tayyub.

Setelah nelayan pergi, kapal kembali bergerak. Namun, karena tak tahu arah, kapal malah mengarah ke wilayah Indonesia. Saat malam kapal itu dihentikan kapal patroli TNI-AL dan polisi air yang mendekat. Kapal TNI-AL memberikan bantuan 10 dus air mineral, 10 dus mi instan, dan 2 boks biskuit untuk para pengungsi. Tetapi, setelah itu, kapal patroli Indonesia tersebut menggeret kapal pengungsi Rohingya ke luar wilayah Indonesia menuju Malaysia. Perjalanan itu memakan waktu sehari semalam.

Sampai di wilayah teritori Malaysia, kapal pengungsi ditinggal pergi. Selang esoknya, datanglah tiga kapal imigrasi dan Tentera Laut Diraja Malaysia.

”Tuan, kami benar-benar dalam masalah. Anak-anak dan para perempuan menangis semua. Kami kelaparan dan kehausan, berbulan-bulan kami di lautan,” kata Tayyub kepada tentara Malaysia itu.

”Oke-oke, kami akan mengedrop kalian ke kapal di belakang dan membawa ke Malaysia,” ucap seorang tentara seperti ditirukan Tayyub.

Tambang kapal pun kembali dikaitkan. Saat senja, perjalanan menuju Malaysia dimulai. Selama 12 jam di tengah gelap gulita malam, para pengungsi merasa senang karena hampir sampai tujuan.

Tapi, harapan yang sudah di ubun-ubun itu ternyata hanya ilusi. Sebab, ternyata tentara Malaysia tersebut membawa kapal pengungsi tersebut kembali ke perairan Indonesia. Setelah kapal pengungsi tiba di wilayah Indonesia, mereka memotong tali kaitannya dan melenggang pergi, meninggalkan pengungsi yang kembali linglung di tengah laut.

”Para penumpang pun menangis dan berteriak histeris. Ya Allah… Ya Allah… Mereka tahu ini bukan Malaysia. Sejauh mata memandang hanya ada laut, laut, dan laut. Apa salah kami kepada mereka? Sudah tiga kali kami diperlakukan dan dibohongi,” ucap Tayyub lirih.

Beberapa penumpang yang stres dan frustrasi akhirnya memilih menceburkan diri, berenang menyeberangi lautan luas. Entah bagaimana nasib mereka selanjutnya. (aqwam hanifan/jpnn/jk)

FOTO : MANUSIA PERAHU — Para pengungsi Rohingya, Myanmar, dan Bangladesh menumpang kapal untuk mencari penghidupan baru di negara lain. Mereka akhirnya terdampar di Aceh, Rabu (20/5). (S. Yulinnas/AP Photo).

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *